{38. Pasar Seni}

564 51 1
                                    

Kelas makin ramai usai Pak Anjar menyampaikan tugas Seni Budaya yang akan dikumpulkan minggu depan, banyak seruan protes mengudara sebab tugas kali ini cukup sulit.

"Tugas ini harus dikumpulkan minggu depan, tidak boleh telat atau ada yang beralasan lupa," peringat Pak Anjar.

Ara menguap mendengar suara Pak Anjar yang kembali mengingatkan mereka untuk mengumpulkan tugas, ia bertopang dagu, bosan. Guru satu itu paling sulit diajak negosiasi soal tugas, sekali besok ya besok. Tidak bisa mundur walau sehari saja.

"Ra ...."

Gadis itu menoleh, dilihatnya Jeidan yang menggeser duduknya semakin mendekat. Ara mengernyit, kalau Pak Anjar tahu Jeidan berulah, bisa-bisa mereka kena hukum seperti dulu.

"Udah ada rencana buat tugas ini?" tanya Jeidan berbisik, matanya menatap awas guru berperawakan tinggi besar di depan sana.

Ia menggeleng ragu. "Belum, sih. Bingung nyari ke mana, lo tau nggak?"

Bel istirahat menjeda pembicaraan mereka, suasana kelas berubah drastis begitu guru Seni Budaya itu meninggalkan kelas. Banyak gerutuan terdengar, masih saja para murid itu tidak terima dengan tugas kali ini.

"Di dekat kompleks rumah gue ada, mau ke sana?"

Tentu Ara mengiyakan. Jika ada yang mau membantu, kenapa ditolak? Ia juga sadar tugas ini agak berbeda dari biasanya dan Ara tidak paham apa pun yang diterangkan Pak Anjar tadi.

Ara bangkit, membenarkan roknya yang sedikit tersingkap. Ia memalingkan muka, menatap Jeidan yang masih duduk merapikan buku di meja.

"Dan, ke kantin nggak? Lanjut bahas sambil makan aja," usul Ara.

Jeidan berdiri. "Boleh, deh."

Kedua remaja itu berjalan berdampingan di koridor yang ramai, tidak ada pembicaraan yang terjadi antara mereka. Ara sesekali curi pandang ke arah cowok itu, tetapi tidak jarang Jeidan menangkap basah Ara yang meliriknya.

"Gue tau gue ganteng, nggak usah diliat terus," ujar Jeidan tiba-tiba.

Ara membuang muka, malu karena ketahuan. "E-enggak! Siapa yang liatin lo? Pede banget, sih," ketusnya.

"Kalo nggak terpesona, terus apa?"

Jika saja Ara berani menatap Jeidan, ia akan melihat senyum tipis dari cowok itu yang begitu teduh. Sangat tulus dan jarang terlihat.

"Gue cuma takut aja." Pandangan Ara lurus ke depan. "Takut kedekatan kita ini cuma mimpi gue, gue takut waktu gue bangun ... lo masih diemin gue."

Jeidan dan Ara menepi dari padatnya koridor, mereka berhenti di tepi taman yang lengang. Kepala gadis itu menunduk, perkataan Ara entah kenapa membuat Jeidan terkekeh pelan.

"Ra." Gadis itu tertegun saat telapak tangan Jeidan mengacak-acak rambutnya, ia mematung sembari menatap Jeidan tanpa berkedip. "Lo kok jadi lucu, sih?" Jeidan terkekeh geli.

"A-apaan, sih, Dan!" Ara buru-buru menepis tangan Jeidan. Jantungnya dalam bahaya, Ara bisa merasakan debarannya yang menggila. "Jadi berantakan rambut gue," katanya sambil mengerucutkan bibir.

Walau kesal karena surainya berantakan, tetapi jauh di dalan diri Ara ia sangat senang. Senang bisa kembali berhubungan dengan Jeidan, selesainya perang antara mereka. Dan Ara bersyukur bisa mengenal Jeidan saat ini.

"Udahlah, ayo ke kantin," ajak Jeidan.

Kedua remaja itu kembali menerobos kerumunan di koridor, berdesakan sampai ke kantin untuk mengisi perut yang berdemo meminta diisi.


Motor sport Jeidan melaju dengan kecepatan sedang, jalanan tengah ramai-ramainya siang itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Motor sport Jeidan melaju dengan kecepatan sedang, jalanan tengah ramai-ramainya siang itu. Di bawah terik matahari yang menyorot tajam, juga sepoi angin yang menampar tubuh.

Jeidan melirik spion, terlihat seorang gadis tengah memejamkan mata menikmati sepoi angin yang menerbangkan anak-anak rambutnya.

"Pegangan, Ra."

"Hah? Apa, Dan?" Kepala Ara sedikit maju.

Ara menanti Jeidan mengulang perkataannya, tetapi cowok itu diam saja. Ia terperanjat saat tangan Jeidan menarik tangannya dan melingkarkan ke pinggang Jeidan, untuk sesaat Ara mematung.

"Pegangan, gue mau ngebut!" seru Jeidan berharap Ara dapat mendengarnya.

Ragu-ragu Ara melingkarkan tangan satunya, keadaan canggung. Entah itu hanya perasaan Ara atau bukan, yang jelas Jeidan mulai berani memperlihatkan perhatian kepadanya. Ara merasa wajahnya memanas saat memikirkan hal itu.

Dua puluh menit dalam diam, akhirnya mereka sampai tujuan. Pasar seni, pasar yang menyimpang puluhan karya seni dari para seniman jalanan. Jeidan memarkirkan motor di depan sebuah rumah kecil bergaya kuno, terlihat seorang wanita berusia sekitar lima puluhan tengah duduk di teras.

"Bu Minah, saya titip motor sebentar, ya?" Jeidan tersenyum sembari menundukkan kepala. Di sampingnya, Ara tersenyum kecil.

"Iya, Nak Jeidan. Biar Ibu jagain," jawab wanita itu balas tersenyum.

Hari mulai beranjak sore saat kedua remaja berseragam putih abu-abu itu menginjakkan kaki di pasar seni, keadaan pasar kian sepi saat awan kelabu menampakkan diri. Cuaca yang tidak menentu membuat Ara ketar-ketir kalau hujan menyapa.

"Lo sering ke sini, Dan? Kok ibu tadi kayak akrab banget sama lo."

Jeidan menedang kerikil di dekat kakinya lalu mengendikkan bahu. "Ya lumayan, sebulan sekali, sih," jawabnya.

Kios-kios yang terdapat di tepi jalan masuk terlihat lengang, jalanan becek dan berlubang tampak di sepanjang mata memandang. Jalan dengan lebar tidak kurang dari semeter itu ditutupi terpal di atasnya agar cahaya juga hujan tidak masuk dan menambah parah jalan setapak itu.

Gadis itu memperhatikan jalan, takut jika air keruh itu mengotori bajunya. Bukannya sok bersih, Ara hanya tidak suka baju putihnya terkena noda membandel.

"Masih jauh, ya, Dan?" Ara bertanya, matanya memindai sekitar dengan tatapan menilai. Matanya sejak tadi melihat patung berukuran kecil dipajang di depan kios.

"Lo mau cari apa? Biar gue tunjukin tempatnya."

Selama ini, Jeidan tidak pernah mengajak seseorang ke sini. Bahkan Juan dan Arvin tidak pernah tahu bahwa ia suka melihat dan berinteraksi dengan orang-orang seni.

"Awas!"

Jeidan menarik Ara ke dekapannya. Netra itu menatap tajam seorang lelaki yang tengah kesulitan membawa beberapa figura, figura berukuran besar itu hampir saja menimpa Ara jika Jeidan tidak bergerak cepat.

"K-kenapa?" tanya Ara, ia mendongak dan mendapati rahang Jeidan mengeras tanpa sebab. "Lo kenapa?"

"Mas, hati-hati kalo bawa. Untung temen saya nggak kena figura tadi." Jeidan memperingati, bisa saja bukan hanya Ara. Mungkin orang lain yang kebetulan lewat juga bisa tertimpa figura itu.

"Maaf, Mas. Tadi saya buru-buru, sekali lagi saya minta maaf." Orang itu menunduk dalam, setelahnya ia membenarkan letak figura dan lanjut membawa benda itu ke sebuah kios di ujung jalan.

Jeidan mengalihkan pandang pada Ara, dilihatnya gadis itu tengah membuang muka. "Lo nggak pa-pa, 'kan?"

"Nggak pa-pa." Ara melepaskan diri dari dekapan Jeidan, ia berdeham pelan. Canggung, Ara jadi serba salah.

Kembali keduanya melangkah menyusuri kios yang sebagian mulai tutup. Harusnya mereka datang saat pagi atau menjelang siang, kalau sore seperti ini banyak toko yang tutup karena hari mulai malam.

Kesempatan mereka untuk mencari lukisan sedikit sulit, sebab tidak banyak pilihan dan tidak semua penjual paham apa arti dari benda seni yang mereka jual.

"Lo harusnya nggak usah marahin dia, lagian dia tadi juga nggak sengaja," ucap Ara saat keheningan menghampiri mereka.

Cowok itu melempar pandang tidak suka. "Terus lo mau kena figura tadi? Kalaupun bukan lo yang kena, bisa aja orang lain."

Ara mengerucutkan bibir, kalah dengan Jeidan.

"Kita cari lukisan aja, ya? Gue tau tempatnya, tapi bukan di sini."

Jelas Jeidan mengalihkan topik pembicaraan, cowok itu paham Ara akan lebih kesal jika mereka melanjutkan perdebatan.

"Boleh, deh." Ara pasrah saja, lagipula ia juga sudah lelah. Sejak tadi mereka belum beristirahat, dari sekolah langsung ke sini.

Jeidan memandu Ara semakin masuk ke area pasar, banyak lukisan, patung, juga benda-benda dengan nilai seni tinggi yang ia lihat. Bukan itu saja, Ara melihat kerajinan kaligrafi yang terbuat dari kulit sapi begitu indah terpajang di pintu masuk sebuah toko.

Merasa Ara tidak mengikutinya, Jeidan berbalik. Ia melihat gadis itu tengah menatap beberapa benda dengan mata berbinar, hal itu membuatnya geleng-geleng. Jeidan memundurkan langkah, diraihnya tangan Ara lalu diajaknya gadis itu berjalan lagi.

"Jangan suka berhenti sembarang, lo mau tersesat di sini?" Jeidan berucap ketus, wajahnya datar saat didengarnya Ara terkekeh pelan.

Mereka akhirnya sampai di ujung jalan, jalan raya tepat di depan mereka sehingga langkah Jeidan otomatis berhenti dan diikuti Ara.

"Tempatnya di mana, sih? Perasaan nggak sampai dari tadi." Ara menghela napas panjang, kakinya mulai lelah diajak berjalan sejak tadi. "Gerimis, Dan!" serunya panik.

Sepertinya hujan rindu dengan bumi, karena itu airnya mulai menyapa dan membasahi setiap benda yang dilewatinya. Firasat Ara terbukti, awan kelabu tadi sudah mengincarnya dan mungkin saja berdoa agar ia sakit lagi.

Jeidan mendongak, dilihatnya rintik-rintik air menyapu wajahnya. Buru-buru ia menyeret Ara menyeberang jalan, akhirnya mereka memilih meneduh di teras ruko.

"Untung tas gue nggak basah," ucap Ara sembari mengibaskan tasnya, tidak lupa surainya ia rapikan.

"Lo kehujanan, Ra?" Jeidan bertanya, kedua tangannya meremas bahu Ara. "Sori, gue nggak bermaksud bikin lo kehujanan," sesalnya.

"Nggak, Dan. Santai aja, ini cuma gerimis." Ara terkekeh, berusaha membuat rasa bersalah Jeidan hilang. Namun, Ara salah. Raut wajah cowok itu tidak berubah sedikit pun.

Tiba-tiba Ara merasa kedua bahunya menghangat, ia melirik ke kanan dan menemukan sebuah jaket bertengger manis di sana. Napas Ara tercekat.

"Dan ..."

Cowok itu tersenyum tipis. "Gue tau lo nggak kuat kalo kena hujan, lo pake aja."

Jeidan tidak melepaskan tatapannya pada Ara, justru semakin dalam saja Jeidan menelisik ke netra gadis itu. Ara sampai gugup berdiri dengan jarak sedekat itu.

"Kita lanjut besok aja yang cari, lagian waktunya masih lama." Jeidan berucap setelah keheningan melanda mereka. "Gue anter pulang kalo udah reda, gue nggak mau lo sakit lagi."

Hari ini, Ara merasa ada yang salah dengan hatinya. Jantungnya juga bekerja tidak beres dengan berdebar terlalu kencang, apa-apaan ini? Ia menggeleng, mengusir pikiran aneh yang berseliweran di kepalanya.

Entah mengapa, Jeidan terlihat berbeda hari ini. Atau mungkin ... sejak dulu Jeidan memang berbeda?

 sejak dulu Jeidan memang berbeda?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Oleh visator01 dan marbook98

Tsundere Couple ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang