{40. Harus Memilih}

609 46 0
                                    

—Kehidupan memang berisi pilihan-pilihan sulit. Kita ditantang menjawab soal yang kunci jawabannya hanya berada pada waktu. Jika tidak tepat, maka sesal akan jadi makanan.—

📖

Hari Minggu sangat cocok digunakan untuk mengistirahatkan tubuh dari padatnya aktivitas sekolah, tugas dan kegiatan sosial kemarin begitu menguras tenaga. Minggu adalah hari rehat dari penatnya pikiran dan hati yang retak.

Tubuh gadis itu berguling di atas ranjang, matanya sesekali terbuka dan kembali menutup saat sinar mentari menyorot langsung wajahnya. Tirai jendela sudah dibuka, pasti mama gadis itu yang membukanya. Ara kembali menenggelamkan tubuh di balik selimut, godaan untuk kembali tidur begitu kuat.

Sekujur tubuhnya pegal, kegiatan kemarin membuat Ara mengeluarkan tenaga secara berlebihan. Kegiatan itu baru berakhir saat azan berkumandang, Ara sampai di rumah pukul enam tiga puluh diantar Jeidan.

"Hah ... masih capek," keluhnya, "tumben mama nggak bangunin."

Ara menyibak selimut, menendangnya sampai ke ujung ranjang sampai nyaris jatuh ke lantai. Rambut sebahunya berantakan, tubuhnya berbalut piyama berwarna biru.

Mandi tidak, ya? Mandi adalah hal haram untuk dilakukan di Minggu pagi, Ara akan melenyapkan kata itu untuk hari ini saja.

Kaki telanjang gadis itu berhenti di depan pintu kamar, tangan kanannya meraih knop pintu lalu memutarnya. Terlihat suasana rumah tanpa kehidupan, hening. Mata gadis itu mengerjap, berusaha tersadar sepenuhnya.

Mengabaikan keheningan itu, Ara meluncur ke dapur. Perutnya berdemo meminta diisi. Masih dengan wajah terkantuk-kantuk, Ara membuka kulkas, ia mengambil apel merah lalu memakannya.

"Orang rumah pada ke mana, sih? Pergi nggak bilang-bilang,” oceh gadis itu sendirian.

Decit kursi beradu dengan lantai keramik terdengar jelas di telinganya, bokong gadis itu nyaris menyapa permukaan kursi jika saja bel rumah tidak bersuara dan memecah keheningan.

Ara berdecak keras, siapa yang bertamu di hari tenang seperti ini?

Mulut gadis itu penuh dengan apel saat kakinya menghentak lantai, langkahnya lebar-lebar menuju ruang depan. Ia ingin sekali mendamprat orang itu dan mengusirnya pergi, tetapi semua itu hanya akan ada di angan Ara. Karena saat membuka pintu, bukannya menyuruh sang tamu masuk, ia malah mematung dengan mata nyaris menggelinding keluar.

"Sa-satria ...." Lidah Ara kelu, kata yang ingin terucap tertahan di ujung lidahnya. Ia seakan lupa seluruh kosa kata. Saat ini otak gadis itu terlalu banyak menebak sampai tidak bisa berpikir dengan baik.

Satria tersenyum tipis. Bahkan setelah menghilang seminggu lebih, cowok itu masih berani menampakkan batang hidungnya di depan Ara dengan ekspresi seperti sekarang. Tersenyum dan tampak baik-baik saja.

"Hai, Ra," sapa Satria seperti biasa.

Tangan kiri Ara menggenggam apel kuat, rasa ingin menghajar cowok di hadapannya sangat menggoda untuk dilewatkan begitu saja. Namun, Ara menghela napas panjang menahan segala letusan amarah. Gadis itu masih bungkam. Benar-benar terkejut dan tidak bisa menebak jalan pikiran Satria.

"Gue boleh masuk? Ada yang mau gue omongin sama lo," ucap Satria lagi saat dirasa Ara tidak akan membalas perkataannya.

Tanpa berucap, Ara memiringkan tubuhnya membiarkan Satria masuk ke ruang tamu. Cowok itu duduk di sofa memandangi Ara yang masih terpaku di depan pintu.

"Ra, sini ...."

Satria menepuk sofa di sampingnya, mengisyaratkan agar gadis itu mendekat. Ara tersentak, ia buru-buru menghampiri Satria dan memposisikan diri di samping cowok itu.

"Ke-napa ke sini?" tanya Ara setelah menguatkan hati, ia harus siap mendengar segala penjelasan Satria karena Ara butuh alasan atas apa yang telah cowok itu lakukan. Ara tidak boleh sembunyi dari pikirannya sendiri lagi.

"Gue mau jelasin semuanya, tentang kita dan Aresha ...." Mata Satria menghindari tatapan intens Ara. Bola mata cowok itu berpindah ke tengah, jadi menghadap tembok kosong di depannya. "Gue harap lo mau dengar semuanya."

"Gue udah nunggu lo jujur, Sat, jadi silakan."

Semoga hatinya kuat. Ya, Ara harus kuat seperti sebelumnya.

"Jujur, selama ini gue suka sama Aresha, tapi sayangnya dia nggak bisa bales perasaan gue. Sampai akhirnya dia punya pacar. Secara kebetulan gue ketemu lo. Lo yang ceria dan selalu buat gue ketawa karena tingkah lo yang buat gue gemes sendiri." Kekehan geli menguar dari mulut Satria.

"Awalnya gue berpikir mungkin kalau gue jadian sama lo, rasa suka gue ke Aresha bakal lenyap diganti sama lo. Tapi setelah beberapa bulan kita pacaran, ternyata hati gue masih buat Aresha, Ra. Gue nggak tau mau gimana, di satu sisi gue nggak mau kehilangan Aresha. Tapi di sisi lain gue nggak mau nyakitin lo ...."

Tanpa dapat dicegah, bulir-bulir air mata lolos membasahi pipi Ara. Gadis itu terguncang, bibirnya terkatup rapat. Tidak ada suara isakan, hanya air mata yang kian deras mendengar pengakuan Satria, pacarnya.

Ternyata benar, selama ini hanya Ara yang menikmati hubungan mereka. Hanya Ara yang remuk redam di hubungan ini, ternyata ....

“Tapi, Ra, yang perlu lo tau. Dari awal gue nggak pernah ada niat sedikit pun buat jadiin lo pelampiasan doang. Gue berniat untuk serius dan sayang sama lo. Gue sudah nyoba itu, Ra,” jelas Satria, berusaha agar Ara dapat menangkap maksudnya dengan baik. “Tapi seiring berjalannya waktu, niat gue supaya hati gue cuma buat lo ternyata gagal. Aresha masih yang utama di hati gue, Ra.”


"Jahat lo, Sat!" seru Ara dengan suara parau.

Tiba-tiba Satria meraih tangan Ara lalu menggenggamnya erat, ia tidak suka melihat seorang gadis menangis di depannya, apalagi karena dirinya.

"Sori, Ra. Gue udah ber—"

Ucapan Satria terputus setelah sebuah tangan melayang mengenai pipi kirinya keras. Wajahnya sampai tertoleh ke samping. Rasanya panas dan pedas. Akan tetapi Satria tidak masalah jika dengan menamparnya Ara bisa merasa jadi lebih baik.

Ara menatap Satria nanar. Sebenarnya ia juga terkejut dengan reaksi tubuhnya sendiri. Tangannya sampai terasa kebas saking kuatnya menampar cowok itu.

Rasanya sudah cukup ia mendengar kebenaran dari rasa yang tumbuh di hatinya. Ara benar-benar hancur. Selama ini, cowok yang selalu ia bela di hadapan teman-temannya, sampai ia bertengkar dengan teman sekelasnya—Jeidan—adalah orang yang menyakitinya sedalam ini.

Ara menatap Satria muak, kekecewaan terlihat jelas di kedua netranya. Ara menghapus air mataanya kasar, isakan berusaha ia tahan agar tidak keluar.

"Pergi," usir Ara seraya menunjuk pintu. "Gue bilang pergi!"

Satria berusaha meraih tangan Ara lagi. "Tapi, Ra—"

"Kita putus!"

Dua kata, dua kata itu membuat tubuh Satria membeku. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka tanpa ada suara yang keluar. Ia tahu dan sadar kesalahannya fatal, tetapi saat mendengar keputusan Ara, ia tiba-tiba merasa kosong. Bukan karena sudah tidak menjadi pacar Ara lagi, karena faktanya perasaan Satria lebih condong pada Aresha. Akan tetapi karena sudah tidak akan ada lagi kecerewetan gadis itu di hidupnya. Ara gadis baik, Satria merasa buruk sudah melukainya.

Cowok itu bangkit, bahunya merosot turun. Dipandangnya Ara yang membuang muka, jujur Satria merasa sangat bersalah karena melukai hati Ara. Tetapi Satria juga tidak bisa egois dan mempertahankan hubungan mereka.

"Sekali lagi gue minta maaf, makasih sudah mau jadi pacar gue. Ra, gue pamit ...."

Suara langkah Satria menjauh diikuti pintu yang tertutup.

Tubuh Ara luruh ke lantai, tangisnya pecah seketika. Ternyata sesakit ini cinta bertepuk sebelah tangan, sesesak ini hati yang diremukkan tanpa ada penawarnya. Ara merasa dunianya runtuh. Ara sadar itu berlebihan, tetapi kenyataannya ia memang merasa sesakit itu.

Tsundere Couple ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang