[3] XYZ

374 41 0
                                    

Zhavia bangun cepat. Dia tahu tidak mudah hidup di kota lain yang sama sekali tidak dia kenal. Bermodal pakaian hitam putih, Zhavia berjalan menuju lobi Dreaming Inn. Dia memesan grab. Sambil berkirim pesan pada keluarganya di Jakarta, ia menunggu ojek online itu datang.

Memang Banda Aceh tidak semacet Jakarta. Namun, sebagai peserta ujian, datang cepat adalah sebuah kebijakan. Sekaligus dia bisa mengecek lokasi kampusnya berada. Ini zaman mencari pekerja bukan sekedar nilai bagus, kompetensi personalitas juga menjadi alasan kuat untuk dipilih atau ditendang.

Kata orang, bekerja di bawah instansi penerintah tidak sedisipilin di perusahaan swasta. Bisa lebih santai dengan rupiah mengalir tiap awal bulan ke rekening. Meskipun sudah lulus CAT, Zhavia tidak bermain-main soal disiplin. Lama bekerja di lembaga non pemerintahan menempanya menjadi pribadi yang disiplin dan terus berkembang setiap waktu. Termasuk saat memutuskan pindah ke Aceh dan memulai lembaran baru.

Sama halnya ketika driver Grab telat menjemput 5 menit, Zhavia sedikit merasa kesal. Belum lagi si supir dengan entengnya meminta Zhavia menyebrang dengan alasan kelamaan dan susah untuk mutar mobilnya.

Argh!!!

Siapa yang melayani dan dilayani. Kesan pertama berhadapan dengan pelayanan umum di Banda Aceh sukses membuat Zhavia geleng-geleng kepala. Bahkan ketika tiba di lokasi ujian, si supir memaksa mengambil kembalian dua ribu rupiah. Memang tidak seberapa, tapi cara tidak elegan yang membuatnya kesal.

Ini juga mengingatkan Zhavia pada Rama. Saat lelaki itu selalu berkomentar negatif tentang pelayanan di daerah. Zhavia selalu bertolak belakang dengan omongan Rama. Bagi Zhavia, Rama tidak berhak menyamaratakan pelayanan di daerah. Toh Rama belum keliling Indonesia. Setiap perjalanan dinas ke luar daerah pun, Rama selalu difasilitasi transportasi kantor yang bebas dia atur kemana tujuannya.

Kekesalan Rama memang terbukti hari ini. Namun Zhavia masih tidak mau membenarkan apa yang dikeluhkan Rama. Dia baru menemukan satu orang begini. Nanti belum tentu dia mendapatkan pelayanan buruk begini.

Sita memang menawarkan diri untuk menjemput dan mengantar. Zhavia menolak denga alasan terlalu pagi. Nanti siang bolehlah, sepulang ujian. Dia akan menerima tawaran jemputan Sita. Bahkan kalau dipikir-pikir, tidak perlu dijemput juga boleh. Zhavia bisa berjalan kaki ke Dreaming Inn dari kampus.

[^_^]

"Ibu Xa... Viera Yolan.. Dra Zhavira?" Tanya lelaki berkulit hitam manis yang bertugas memverifikasi berkas di pintu masuk ruang ujian.

"Zhavia, pak."

"Oh, maaf. Xaviera Yolandra Zhavia."

Zhavia mengangguk.

Lelaki yang bertugas verifikasi itu menconteng namanya. Lalu menyodorkan lembaran yang harus dia tanda tangan.

"Inisialnya XYZ ya, bu?!" Canda lelaki itu. Zhavia tersenyum. Mengangguk. Memang, inisial ini sangat paten diperbincangkan di kalangan pertemanan Zhavia.

"Bapak XYZ juga?" Pertanyaan basa basi saja, Zhavia berharap bisa luwes berada di sini.

"Bukan. Saya hanya ZH. Ada teman saya inisialnya XYZ. Bahkan nama depannya sama."

Mata Zhavia melebar. Kaget. "Xaviera juga?"

"Karena lelaki, namanya Xavier."

Mulut Zhavia membulat. Oh, pertanda apakah ini? Nggak mungkin jodoh kan, ya?!

Zhavia tertawa kecil sambil masuk ke ruangan. Dia mencari namanya yang ditempel di kursi. Jelas namanya tertulis di sana dengan ukuran besar. Nomor ujian dan nama. Lengkap.

Zayn ZhaviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang