Zhavia mengeluarkan ponselnya. Selagi Zayn sedang membaca buku tebal di hadapannya, dia mengetik pesan cepat untuk Izzy.
Zy, gue masih rapat. Kayaknya bakalan lama, nih. Lo duluan aja makannya. Nggak usah nunggu gue. See you at evening.
"Kamu serius kita akan bahas Covid-19? Ini isu sensitif, lho. Saya tidak mau terhambat dan mengeluarkan modal banyak. Kecuali kalau kamu mau menyelesaikan penelitian ini dengan zero amount. Buat saya itu biasa. Saya akademisi, tapi kamu kan..."
"Nggak masalah buat saya, pak. Saya seorang humas yang selalu mengedepankan kualitas daripada kuantitas," potong Zhavia cepat.
Mereka sepakat akan melakukan penelitian di Rumah Sakit Provinsi tentang kesiapsagaan RSU terhadap isu Virus Corona. Penelitian ini didasarkan pada temuan awal bahwa sebagian besar mahasiswa Aceh di China berbasis di Wuhan. Zayn punya akses, Zhavia punya teori dan metode yang baik. Mereka merasa cocok untuk melanjutkan isu ini.
Zayn bukan ragu dengan hasil yang mereka peroleh. Zayn khawatir jika Zhavia tidak mendapatkan apa-apa jika dana penelitian sebesar 30 juta habis untuk proses penelitian.
"Baiklah, saya lebih tenang sekarang. Syukurlah, teamwork saya tidak materialistis." Ujar Zayn nyinyir.
"Materialistis ada di pikiran Anda, Pak. Setiap orang pada dasarnya butuh materi untuk hidup. Toh, cinta saja tidak cukup untuk menghidupi Anda," tutur Zhavia. Ia terkejut menyebut kata cinta pada Zayn.
Zayn juga begitu. Pikirannya berkelana kemana-mana. Soal apa ini?
"Maksud saya, kalau orang sudah menikah nggak cukup dengan cinta. Kalau orang bekerja, nggak cukup dengan terima kasih. Manusia butuh sesuatu untuk membarter kehidupannya. Uang dibarter dengan kebutuhan hidup. That's all. Jangan ge-er!" Jelas Zhavia. Kali ini ia terkagum dengan pembenarannya.
Zayn mengangguk. Pembelaan cerdas. Ia kagum.
"Sepakat!" Zayn menutup perbincangan mereka.
Saat pembahasan mereka sedang serius, ia melihat seseorang melintas. Kiara Halmahera, dia melihat Zayn di sana bersama Zhavia. Zayn pura-pura tidak melihat Kiara.
Sebuah ide gila melintas di kepala Zayn. Dia mendekatkan kursi lebih dekat pada Zhavia. Dia yakin, dari luar keduanya terlihat sangat intim. Sementara Zhavia terus berbicara menjelaskan idenya, Zayn memandang lekat ke arah gadis itu. Bagi Zhavia, Zayn terlihat memperhatikan kalimatnya. Dari sisi Kiara, terlihat seperti Zayn sedsng mengagumi Zhavia.
Sempurna.
Zayn sangat puas saat melihat Kiara membuang muka dengan air mata menggenang dan berjalan meninggalkan jendela ruangannya.
"Jadi, bagaimana?" Tanya Zhavia mengacaukan semua konsentrasi Zayn. Zayn kelagapan. Bingung harus menjelaskan apa. Otaknya berpikir keras untuk menjawab.
"Sebentar," kata Zhavia. Tangannya meraih ponsel di atas meja. Nama Izzy muncul di layar. Memanggil. Dia menggesek tanda hijau ke atas dan mulai berbicara.
"Lo mau makan dimana? Sekitar sepuluhan menit lagi gue udah sampe di kampus lo. Kalau belum selesai lo santai aja. Gue bisa nunggu, kok." Di seberang sana, Izzy berkata.
"Gue bisa dimana saja, sih. Dimana enaknya lo aja. Eh, gue seriusan, ya, sama rencana semalam."
"Gue udah hubungi teman gue yang kerja di situ. Katanya, barangnya ready. Kalau lo mau lihat, bisa cek ke toko. Kalau lo mau, kita bisa datang nanti. Setelah makan siang. Lo sibuk?"
"Nggak. Eh, Zy. Kayaknya gue perlu cari beberapa baju. Gamis gue kan limited banget. Kita ke pasar biasa saja, deh. Standar gue untuk saat ini nggak bisa main di butik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zayn Zhavia
RomanceZayn tidak percaya perasaannya bisa berubah saat bertemu Zhavia. Baginya, janji terucap 5 tahun lalu cukup kuat sebagai pondasinya. Ia tidak akan menikah sebelum Kiara menikah. Namun, saat ia merasakan masa depan dari Zhavia, haruskah ia melanggar j...