[8] Langkah Awal

253 31 3
                                    

Pesawat Garuda Indonesia mendarat di bandara Soekarno Hatta pada pukul sembilan pagi. Zhavia menarik kopernya dan melenggang keluar dari bandara. Selain para supir taksi yang memaksa jasa, Qanita ikut memanggil histeris dari dalam mobilnya yang terparkir di depan kedatangan.

Zhavia masuk ke mobil dan menghempaskan tubuhnya lelah. Qanita melajukan mobilnya melewati jalanan Jakarta yang masih padat.

"Lo capek banget, ya?! Banyak yang pengen gue ceritain. Salah satunya tentang perkembangan gue sama cowok Aceh itu, Zha. Lo harus tahu. This is exclusive information, Zha!" Qanita bercerita heboh.

"Oh," Zhavia tampak tidak tertarik. Masih terbayang ketika dia di Aceh dan berhadapan dengan Zayn. Lelaki Aceh dengan sikap dinginnya. Apa menariknya lelaki Aceh jika bersedekah dengan senyuman saja pelit.

"Rama juga nyariin lo," Qanita memberi informasi dengan suara datar. Tidak seheboh ketika bercerita tentang lelaki Acehnya.

Berbicara soal Rama, seperti tanaman yang diberi vitamin. Zhavia menoleh semangat, "Dia nyariin gue? Ngomongin apa, Ta?!"

"Cuma antar undangan dan bilang... Tolong sampein sama Zhavia. Pikirkan lagi meninggalkan Jakarta. Karirnya bagus di sini. Aceh cuma mengekang karirnya," Qanita berkata tidak semangat. Kalau bukan karena amanah, dia tidak akan peduli dengan  pesan tidak penting Rama.

Zhavia menghembuskan napas berat. Selalu begitu. Rama yang dia kenal tidak berubah. Mungkin saja tidak akan brubah sampai kapanpun. Suka meremehkan orang lain. Padahal dia tahu benar jika setiap daerah punya potensi.

"Gue nggak butuh nasehat dia. Lo bilang?" Paksa Zhavia.

Qanita mengangguk, "Begitulah."

"Kenapa, sih? Dia masih hubungi gue? Dia kan mau merit? Bisa nggak, sih, dia itu diamin gue. Nggak usah ikut campur hidup gue. Dia minta gue ikhlas. Dia sendiri yang buat gue nggak ikhlas dengan cara dia. Jangan sampe gue jadi jahat dan menjadi pelakor!"

"Astaghfirullah, Zha. Istighfar, Zha. Lo ngomong apaan?!" Qanita mengerem mobil mendadak. Untung di belakang tidak ada kendaraan lain.

Detik berikutnya suara isak Zhavia terdengar.

"Lo tuh perempuan hebat dan kuat yang pernah gue kenal. Lo ingat waktu di Tokyo, terus papa lo meninggal? Lo kuat, Zha. Lo ingat waktu adek lo kecelakaan sampe koma? Saat semua orang kehilangan harapan atas hidupnya, lo satu-satunya orang yang bertahan, Zha. Lo yakin dia sembuh dan sadar. Keyakinan lo buat dia sembuh. Nah, sekarang? Cuma karena Rama datang dengan undangan terus lo kacau begini? Ngomong ngelantur suka hati? Ini bukan Zhavia yang gue kenal, Zha! Mana Zhavia gue? Xaviera Yolandra Zhavia."

Hening.

"Lo berdoa agar lulus di Aceh. Lo pindah ke Aceh dan mulai hidup baru di sana. Temukan cinta sejati lo di sana. Lo nggak mesti nikah sama orang Aceh. Gue yakin banyak orang Jakarta nyasar di sana. Di Aceh. Salah satu dari mereka bisa jadi jodoh lo, Zha." Qanita melanjutkan ceramahnya.

Zhavia masih menangis.

"Lo tahu? Gue orang pertama yang berdoa lo lulus sebagai ASN tahun ini di Aceh. Meskipun sebelum berangkat gue orang pertama yang menolak lo ke sana. Karena apa? Karena gue nggak mau Rama mendekati lo lagi, Zha," Qanita tidak yakin kalimatnya mengena.

Zhavia menarik tissue dan mengusap air mata.

"Zha, lo tuh berhak bahagia dengan siapa saja. Untuk saat ini gue nggak mau lo bahagia dengan Rama. Dia tuh nggak pantas buat lo. Sorry, Zha. This is so mean for you," Qanita menstarter kembali mobilnya.

Keduanya diam sampai mobil Qanita memasuki halaman rumah Zhavia. Zhavia turun dan memeluk Qanita.

"Ta, thanks banget sudah berada di pihak gue," ungkapnya tulus.

"This is best friend have to be, Zha." Qanita membalas pelukan Zhavia erat.

❤️❤️❤️

Seminggu di Jakarta, pengumuman kelulusan CPNS diisukan akan disebar malam. Tengah malam. Zhavia berharap, tapi tidak ingin kecewa. Ketika status orang-orang berucap hamdalah di beranda, Zhavia baru ingin mengecek bagaimana dengan dirinya.

Ponselnya berdering menyanyikan lagu Traveling Light dengan volume keras. Zhavia melirik ponselnya. Di layar muncul nama Qanita Raishaya Salihah.

"Ha.."

"Zhaaaaa!!! Selamaaattt!!!" Pekikan Qanita di seberang sana memotong kata sapaan Zhavia. Bahkan Zhavia harus menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Apaan, sih?" Tanya Zhavia kesal.

"Selamat, Zha!!!" Qanita sesenggukan, "Lo lulus, Zha! Lulus! Selamat! Gue bangga banget, Zha."

"Lulus? Serius?" Titik air mata Zhavia mulai berjatuhan. Tidak pernah dia seharu ini. Bahagia.

❤️❤️❤️

"Ini dia yang ditunggu, bu XYZ." Zur tersenyum lebar ketika Zhavia duduk di kursi dan berhadapan dengan lelaki berkulit gelap dengan senyum menawan.

"XYZ?" Zhavia merasa heran ada yang tahu inisialnya.

"Iya, singkatan nama ibu XYZ, kan? Di kampus kami ada juga yang namanya XYZ. Lelaki, masih lajang, tampan, dan baik hati."

Tanpa bertanya, Zhavia tahu siapa yang dimaksud oleh Zur. Pastilah lelaki dingin dan sombong teman si Xing itu. Apanya yang baik? Toh dia masih membuat Zhavia kesal dan merasa nyaman.

Ups! Zhavia mencubit tangannya sendiri. Tidak semestinya Zhavia berpikir soal kenyamanan. Memangnya siapa dia?

"Bu, sudah beres. Sekarang ibu ke bapak yang itu," Zur menunjuk lelaki dengan rambut belah tengah berwajah Asia Selatan. Dia juga memanggil lelaki itu, "Jae, ibu rumah di surga, Jae!"

Dalam hati Zhavia geli sendiri. Sepertinya dia akan menemukan suasana kerja yang lumayan di sini. Auranya masih semangat.

"Ibu ada kembaran di sini," ujar Jae tersenyum lebar.

"Siapa?!" Tetap saja dia bertanya meski sudah menebak.

"Pak Safir," senyum Jae semakin lebar dan kilat matanya senang sekali.

"Oh," dia tidak bersemangat. Sialnya, saat itu pula dia melihat Zayn masuk dengan map warna warni.

Mata mereka beradu beberapa detik. Zayn segera mengalihkan pandangan dengan ekspresi kaku dan dingin. Ada sesuatu yang menyakitkan di hati Zhavia.

"Pak, boleh saya minta tolong untuk dijilid berkasnya?" Zhavia menyerahkan map yang dia pegang. Lembaran terpisah di dalamnya cukup mengganggu.

"Boleh, bu, dengan senang hati."

Zayn berdehem, "Bu, Anda boleh saja mantan pemimpin. Meskipun begitu, Anda tidak boleh seenaknya memerintah orang seperti ini. Hal-hal seperti ini bisa ibu kerjakan sendiri. Kenapa meminta bantuan? Apa Anda diajarkan untuk manja di ibukota sana?!"

Zhavia tercengang. Kaku. Terdiam.

Zayn bilang apa?

"Maksudnya, pak? Maaf, saya tidak mengerti," suara Zhavia serak, bergetar. Ia merasakan tangannya juga bergetar.

"Saya bicara cukup jelas. Tidak perlu diulang," Zayn meletakkan map yang dibawa ke depan Jae, lalu berbalik meninggalkan mereka.

Air mata Zhavia hampir saja terjatuh. Kalau saja dia tidak berpikir ini tempat umum.

"Maaf, bu. Pak Safir memang suka becanda agak sadis. Sebenarnya niatnua nggak jelek. Dia orangnya baik, kok," Jae merasa tidak enak dengan sikap Zayn.

Di sisi lain dia juga merasa geram. Dendamnya terhadap wanita belum padam. Tidak seharusnya dia menyamakan semua wanita sama di matanya. Zhavia baru datang dan tidak tahu apa-apa. Bukan saja soal Zayn, dia bahkan awam soal kampus ini. Tempat kerja barunya.

Zhavi tidak tahu harus bagaimana lagi.

❤️❤️❤️

Dear Olivers,
Sebal banget sama si Zayn alias Safir itu. Kenapa pula dia ngomongnya nyelekit gitu. Zhavia salah apa, Ya Allah?!

Salam Sayang,

_Olivia Ailinna_

Zayn ZhaviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang