Bunyi bel pulang baru saja terdengar nyaring di seluruh penjuru sekolah elit tersebut. Para siswa langsung berhamburan keluar dan hendak meninggalkan sekolah. Namun berbeda dengan keempat remaja laki-laki yang masih duduk dibangku mereka masing-masing. Keempat siswa itu memilih untuk menunggu sampai keadaan sekolah sedikit sepi dan baru akan berjalan keluar.
"Yok Al ke ruangan bokap lo." Alfa yang baru saja selesai memasukkan alat tulisnya ke dalam tas menoleh kepada Bian yang sudah akan beranjak.
"Ngapain?" Balas Alfa yang juga ikut berdiri.
"Kan tadi kata Kak Arbi lo harus nunggu di sana kalo gak mau minta jemput sopir." Jawab Bian lalu mengambil tas punggungnya.
"Kak Arbi gak pulang?" Sahut Dani yang bingung sendiri karena menyimak percakapan kedua sahabatnya itu.
"Mau latihan basket dulu Dan. Elah lo tadi waktu istirahat juga Alfa udah bilang." Balas Ciko yang tidak mengerti mengapa memiliki sahabat pelupa seperti Dani.
"Jadi?" Tanya Bian yang melihat Alfa hanya diam memerhatikan interaksi Dani dan Ciko. Baginya kedua sahabatnya itu sangat lucu, entah kenapa alasannya ia pun tak mengerti.
"Gue mau main basket." Alfa berucap lantas berjalan meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih diam. Ia berjalan menuju lapangan basket yang terletak lumayan jauh dari tempat latihan basket kakaknya. Di sekolah itu memang memiliki dua lapangan basket yang sangat luas.
"Eh lo gila, kalo Kak Arbi tau, bisa abis lo." Bian berkata setelah menyamakan langkahnya dengan Alfa.
Namun Alfa hanya diam dan tetap melanjutkan langkahnya. Sudah dua minggu sejak vonis itu dinyatakan dan selama itulah ia tak pernah menyentuh bola basket karena dilarang oleh keluarganya. Tapi entah kenapa hari ini ia ingin melanggar aturan itu. Aturan yang membuatnya merasa terkekang karena tak bisa bebas seperti teman-temannya.
---
Bunyi peraduan antara bola berwarna oranye dengan lantai dasar lapangan terdengar ketika Alfa mulai mendribel benda bulat itu. Kemeja seragamnya yang sudah dilepas dan berganti dengan kaos putih itu mulai terlihat basah karena keringat yang sudah keluar dari tubuh Alfa.
Demi persahabatan, akhirnya ketiga remaja itu mengikuti permainan basket Alfa. Mereka tidak memikirkan jika nantinya akan dimarahi oleh Arbi, karena baginya kebahagiaan Alfa itu lebih penting.
Tiga puluh menit mereka bermain bola memantul itu dan sekarang keempat remaja itu tengah beristirahat di pinggiran lapangan.
"Jangan bilang Kak Arbi." Ucap Alfa tiba-tiba setelah meneguk setengah botol air mineral.
Ketiga remaja yang lain hanya mengangguk namun di dalam hati mereka timbul keraguan karena tidak mungkin mereka akan berbohong dengan kakak sahabatnya itu.
Hingga getaran dari salah satu ponsel mengalihkan atensi mereka yang sedang terdiam.
"Halo Kak." Telepon itu berasal dari handphone milik Alfa.
"Halo dek, lo di mana? Gue cari di ruangan Ayah kok gak ada?"
Deg.
"Gu-gue, gue masih di kelas Kak." Jawab Alfa yang terpaksa berbohong dengan kakaknya.
"Bener? Ya udah gue susulin ke kelas lo ya."
"Em gak usah Kak, ini gue sama temen-temen, abis ini mau langsung ke parkiran, lo tunggu di sana aja."
"Oke. Gue tunggu."
Setelahnya sambungan itu langsung diputuskan sepihak oleh Arbi.
"Tumben banget tu anak betah di kelas." Monolog Arbi lantas ia bergegas keluar dari ruangan Ayahnya menuju parkiran.
Arbi sebenarnya merasa aneh dengan jawaban yang diberikan adiknya saat telepon tadi. Anak itu seperti menyembunyikan sesuatu dan Arbi tidak suka jika ia dibohongi oleh adiknya sendiri.
---
"Abis dari mana?" Ketika melihat keempat adik kelasnya itu berjalan mendekat, Arbi langsung menodongnya dengan pertanyaan yang sebenarnya ia sudah mengerti jawabannya.
"Kelas Kak." Jawab Alfa dengan menundukkan kepala.
"Bener? Kalian dari mana? Lo dari mana Yan?" Tanya Arbi ketika ketiga sahabatnya itu hanya diam. Karena ia tahu, seorang Bian tak akan pernah berbohong.
"Ki-kita abis main basket Kak." Jawab Bian dengan menundukkan kepala serta kedua jemari tangannya yang saling meremat.
"Masuk dek." Perintah Arbi kepada adiknya yang masih diam.
"Ta-"
"Masuk!!" Bentak Arbi ketika adiknya itu ingin mengatakan sesuatu.
"Ikut gue." Ucap Arbi dan beranjak untuk sedikit menjauh dari mobilnya.
"Kalian tau kan, Alfa gak boleh kecapean?" Setelah berada agak jauh dari mobil, Arbi berucap kepada tiga remaja itu dan hanya dibalas anggukan oleh mereka.
"Kenapa kalian ngebolehin adek gua main basket?" Tanya Arbi sekali lagi.
Setelah hening beberapa detik akhirnya Bian mengeluarkan suaranya.
"Lo yang gak ngerti Kak. Lo gak ngerti gimana terkekangnya adek lo dengan semua aturan yang harus dia ikuti. Lo gak tau gimana hancurnya dia waktu dia divonis kanker setelah vonis buta warna yang tak akan pernah sembuh dari dia kecil. Gue cuma mau Alfa seneng Kak." Jawab Bian dengan menatap tajam ke arah Arbi.
Lantas mereka hanya diam dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga sebuah suara seorang laki-laki mengalihkan atensi mereka. Dia adalah Juan, sahabat serta satu tim basketnya Arbi yang mengatakan jika Alfa pingsan setelah anak itu hendak berjalan keluar dari mobil untuk menemui kakaknya.
"Dek, Adek bangun dek." Arbi memangku kepala Alfa lantas menepuk-nepuk pipi putih remaja tersebut.
"Bawa ke rumah sakit aja Bi." Ucap Juna yang melihat sahabatnya itu sudah menangis histeris dengan memeluk tubuh lemas Alfa.
Arbi menggendong tubuh Alfa ala bridal stylenya lantas masuk ke dalam mobil dengan Juna yang menjadi pengemudi.
Ketiga sahabat Alfa juga mengikutinya dengan menaiki motor mereka masing-masing.
"Dek bangun. Maaf. Maafin gue. Gue bodoh dek, gue emang bodoh. Gue udah tinggalin lo sendiri di mobil. Maaf dek. Maaf. Please bangun." Racau Arbi ketika berada di mobil dan memeluk tubuh Alfa yang sudah tergolek lemas.
Ia merasa salah. Ia merasa bodoh. Dan ia merasa sudah menjadi kakak yang gagal dan buruk di waktu bersamaan. Seharusnya ia langsung mengajak adiknya pulang. Seharusnya ia tidak perlu membuang waktu untuk memarahi ketiga sahabat adiknya. Dan seharusnya ia tidak meninggalkan Alfa yang merasa kesakitan setelah mendapat bentakan dari dirinya. Banyak kata seharusnya yang memenuhi pikiran seorang kakak tersebut, hingga ia tidak mengerti apakah ia hidup dalam bayang-bayang kata seharusnya atau memang dalam kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA (COMPLETED)√
Teen FictionSosok remaja yang seumur hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam, putih dan kelabu. Selalu berangan untuk dapat menyaksikan semburat oranye yang tampak pada langit ketika matahari ingin bersembunyi di ufuk barat.