Hidupnya tanpa warna, namun ia adalah mentari di tengah awan mendung.
---
Di ruangan serba putih, seorang remaja terbaring dengan mata terpejam erat. Bahkan suara seorang wanita berhijab yang sejak tadi memanggil namanya tak ia hiraukan. Mungkin laki-laki itu sedang bermimpi bertemu bidadari. Entahlah.
Satu hal yang membuat wanita cantik itu kecewa dengan putra bungsunya. Ingkar janji. Alfa yang sudah berjanji dengan Bunda, dengan Ayah juga dengan Arbi untuk tidak bermain salah satu cabang olahraga itu akhirnya mengingkarinya. Bila saja keadaan tidak seperti ini, mungkin Ayah juga Bunda telah marah besar dengan Alfa.
Kedua bola mata yang awalnya terpejam itu perlahan bergerak-gerak lantas terbuka sempurna dengan pandangan sayu.
"Adek, adek udah bangun?" Pertanyaan retorik yang dilontarkan oleh Bunda hanya dibalasnya dengan genggaman Alfa pada jemari Bunda.
Lalu, ketiga orang itu bergerak mundur ketika seorang dokter berserta perawat datang untuk memeriksa keadaan Alfa.
"Nafas kamu masih sesak. Jadi harus pakai nassal canula dulu. Jangan banyak pikiran ya Alfa." Ucap Dokter Sani seraya mengacak lembut rambut pasiennya. Dokter spesialis penyakit dalam itu merupakan sahabat Ayah semasa kuliahnya. Tiga tahun yang lalu, anak laki-lakinya juga mengidap penyakit yang sama dengan Alfa namun berakhir kematian. Dan sekarang, ia bertekad untuk dapat menyembuhkan Alfa bagaimanapun caranya.
"Iya Om." Balas Alfa sangat pelan bahkan hampir seperti bisikan.
Setelah sang dokter mengundurkan dirinya, lantas Bunda maju terlebih dahulu menghampiri Alfa yang tengah tersenyum kepadanya.
"Adek, suka banget bikin Bunda khawatir." Ujar Bunda lantas mencium kening Alfa yang sedikit hangat.
"Maaf." Jawab Alfa pelan. Lantas memalingkan wajahnya ketika Arbi berdiri di sebelah Bunda.
"Dek." Panggil Arbi lembut lalu memegang jemari Alfa yang langsung ditepis oleh sang empu meskipun dengan gerakan lemah.
"Pergi!" Ucap Alfa datar tanpa mengalihkan pandangannya untuk menatap Arbi.
"Dek, Kakak mau minta maaf." Saat dirasa kedua putranya memerlukan waktu sendiri, Bunda dan Ayah beranjak dan memilih duduk di sofa yang berada di pojok ruangan.
"Pergi!" Tolak Alfa sekali lagi dengan kilatan tajam mengarah pada kakaknya.
"Dek, tolong maafin Kakak." Ucap Arbi lantas mencoba menggenggam telapak tangan adiknya namun segera ditepis oleh Alfa.
"Pergi! Pergi! Kakak jahat! Pergi!" Balas Alfa yang sudah bergerak acak lantas Bunda dan Ayah langsung menghampiri dan menenangkannya.
"Dek, hei ssttt tenang. Iya Kakak udah pergi, ini Bunda sayang." Ujar Bunda lantas mendekap tubuh bergetar Alfa dan Arbi sudah beranjak keluar karena diajak oleh Ayah.
"Bu-bunda." Balas Alfa dengan suara bergetar.
"Iya ini Bunda. Adek istirahat aja ya. Bunda di sini." Ujar Bunda lantas membaringkan kembali tubuh lemas anaknya.
---
"Ayah, maaf. Maafin Arbi." Kedua laki-laki beda usia itu tengah duduk di sebuah kursi panjang depan ruang rawat Alfa.
Lantas Ayah hanya membalasnya dengan helaan nafas kasar. Ia membetulkan sedikit letak kacamata yang bertengger pada kedua maniknya lalu membawa tubuh putra sulungnya dalam dekapan.
"Gak perlu minta maaf sama Ayah, yang penting kamu bisa dimaafin sama Adek. Kamu ingetkan kata Om Sani tadi?"
"Penderita kanker biasanya cenderung lebih sensitif. Ia akan mudah tersinggung meskipun hanya dengan ucapan dan perbuatan yang sedikit. Maka dari itu kita harus membuat dia senyaman mungkin dan juga jangan sampai dia memikirkan hal-hal yang berat."
Arbi ingat. Ia ingat betul ucapan dari dokter tersebut. Bahkan ucapan itu dilontarkan oleh dokter seminggu setelah adiknya divonis penyakit kanker. Namun kekhawatirannya malah membuat adiknya tertekan dengan segala sifat protektifnya.
---
"Dek, makan dulu." Bunda berucap setelah melihat putra bungsunya hendak memejamkan mata.
Lalu anak itu hanya menggelengkan kepala tanda ia tak ingin menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Bunda hanya menghela nafas kasar lantas ia meletakkan kembali mangkuk berisi bubur itu kemudian tangannya terangkat mengusap dahi sang putra yang penuh keringat.
"Maaf." Ucapan singkat itu keluar dari mulut mungil Alfa dengan pandangan sayu menatap sang Bunda.
"Gak perlu minta maaf dek, Bunda cuma mau Adek makan, habis itu minum obatnya." Wanita itu masih setia mengelus kening putranya, mengusap keringat yang terus menerus keluar dari kulit pucat Alfa.
"Maaf Kakak." Bukan pertanyaan Bunda yang ia jawab, justru permintaan maaf kepada kakaknya yang sekarang tidak berada di ruangan itu.
Lantas Bunda menggenggam jemari kurus Alfa dengan sangat erat.
"Adek mau ketemu Kakak?" Tanya Bunda yang langsung dibalas anggukan oleh putranya."Iya, abis ini Kakak bakal ke sini, tapi Adek makan dulu ya." Bunda masih berusaha untuk membujuk anaknya.
"Gak ma-"
"Kakak di sini Dek."
Balasan Alfa untuk Bunda langsung terpotong oleh ucapan seorang laki-laki yang baru saja membuka pintu diikuti oleh pria dewasa beranak dua.
Ketika Arbi dan Ayah hendak membuka pintu, mereka mendengar suara si bungsu yang menolak untuk makan dan malah menginginkan untuk bertemu dengan kakaknya. Lantas tanpa pikir panjang, kedua laki-laki beda usia itu masuk ke dalam ruangan tempat seseorang yang amat mereka sayangi dirawat.
---
"Maaf." Ujar Alfa dengan kedua tangan memilin ujung selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan pandangan ke arah benda itu.
Kemudian Arbi duduk di pinggiran brankar adiknya dan membawa kedua tangan Alfa untuk digenggamnya.
"Justru Kakak yang harusnya minta maaf. Kakak udah gagal jadi Kakaknya Adek. Maaf. Kakak bener-bener minta maaf." Genggaman itu semakin erat dirasakan oleh Alfa dan setelahnya ia merasakan matanya panas seperti akan ada cairan bening yang keluar.
"Hey kok nangis sih, kenapa dek? Ada yang sakit?" Tanya Arbi bertubi-tubi dengan tangan yang tergerak mengusap air mata adiknya.
Alfa hanya menggelengkan kepala lantas tangannya membalas genggaman Arbi dengan seulas senyum tersemat di bibir pucatnya.
"Maaf." Ucap Alfa sekali lagi lantas matanya mengerjap polos. Kemudian tubuhnya dibawa Arbi ke dalam pelukan hangat seorang kakak.
Bunda dan Ayah yang hanya melihat interaksi kedua anaknya itu tersenyum hangat. Mereka selalu bersyukur memiliki dua jagoan yang saling menyayangi. Arbi dengan sifat tegas namun lembut dan Alfa terkesan cuek tetapi selalu dapat menghangatkan suasana.
"Ya udah sekarang Adek makan dulu ya. Kan udah ada Kakak." Suara Bunda mengalihkan kedua remaja itu dari keheningan yang baru saja terjadi.
"Besok Al gak mau makan bubur. Rumah sakit gak pernah punya garam." Tutur Alfa dengan membenarkan letak nasal canula yang sedikit bergeser akibat pelukannya dengan Arbi.
"Terus mau makan apa jagoan?" Ayah yang sedari tadi diam lantas menghampiri bungsunya dan mencium gemas kedua pipi berisi Alfa.
"Pizza." Balas Alfa semangat dengan menampilkan deretan gigi putihnya.
Ketiga sosok yang lain itu hanya menggelengkan kepala lantas salah satu dari mereka tersenyum jahil dan kedua tangannya terangkat untuk menggelitiki perut remaja empat belas tahun tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA (COMPLETED)√
Teen FictionSosok remaja yang seumur hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam, putih dan kelabu. Selalu berangan untuk dapat menyaksikan semburat oranye yang tampak pada langit ketika matahari ingin bersembunyi di ufuk barat.