Tujuh

2.4K 193 2
                                    

Jarum jam sudah berhenti tepat diangka tujuh, terlihat seorang remaja laki-laki baru saja memasuki rumah mewah dan langsung disambut dengan pelukan hangat dari wanita cantik berhijab biru.

"Sayang, kamu dari mana aja, Bunda khawatir banget. Ayah kamu juga udah uring-uringan dari tadi. Apalagi Kakak kamu." Wanita itu berucap seraya kedua tangannya masih mendekap erat anak bungsunya.

Alfa memang tidak langsung pulang ke rumah setelah selesai sekolah. Ia bersama ketiga sahabatnya memilih untuk berkunjung ke panti asuhan yang dimiliki oleh keluarga Bagaskara.

Namun karena Alfa tidak ingat untuk mengisi daya baterai handphonenya, anak itu tidak bisa memberi kabar kepada keluarganya.

"Baru pulang lo! Ke mana aja? Belum juga seminggu pulang dari rumah sakit udah kelayapan aja. Untung masih ada temen-temen lo yang bisa gue hubungi." Suara itu, berasal dari seorang laki-laki yang masih berjalan menuruni anak tangga dan menghampiri adik serta ibunya.

"Gue gak kelayapan! Dan handphone gue lowbat. Gue cuma ke panti. Salah?" Jawab Alfa dengan suara yang cukup lantang.

Lantas Bunda menarik Alfa untuk menjauh dari Arbi, kemudian mendudukkan tubuh anak itu di atas sofa ruang tengah yang sudah ada kepala keluarga di ruangan itu.

"Alfa." Panggil Ayah dingin tak seperti biasanya.

Anak yang dipanggil itu hanya mendongak lalu menundukkan kepalanya lagi ketika melihat sorot tajam dan kecewa manik Ayahnya.

"Kamu dari mana? Kenapa baru pulang?" Tanya Ayah dengan suara yang mulai melembut karena takut anaknya akan tertekan mengingat Alfa adalah anaknya yang istimewa.

"A-alfa dari panti Ayah. Maaf." Anak itu masih enggan untuk menatap manik Ayahnya.

"Alfa, lihat Ayah." Ucapnya dengan mengangkat dagu Alfa agar mau menatapnya.

"Kamu tau kan kalo kamu itu gak boleh kecapean. Terus kamu inget kalo kamu baru aja keluar dari rumah sakit? Kamu mau drop lagi hem?" Ayah bertanya dengan sangat lembut dan perhatian. Ia tidak mau sedikitpun menambahi beban Alfa yang sudah keberatan dengan beban hidupnya sendiri.

"Maaf." Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulut mungil Alfa.

Lantas Bunda menuntun anak itu menuju kamar Alfa setelah Ayah menyuruh si bungsu untuk beristirahat.

"Kamu jangan terlalu kasar dengan adek kamu Kak. Kasihan dia." Ucap Ayah ketika kedua punggung istri serta bungsunya sudah tidak terlihat.

"Maaf Yah, aku cuma takut Adek kenapa-napa." Jawabnya dengan menundukkan kepala.

"Iya, Ayah ngerti. Ya udah Ayah ke kamar Adek dulu." Pamit Ayah lantas berjalan agak tergesa menuju lantai dua tempat kamar Alfa berada.

---

Alfa terus memuntahkan semua isi perutnya setelah dua jam ia tertidur. Sudah selama lima belas menit ia berdiri di depan wastafel dalam kamar mandi pribadinya.

Bahkan anak itu kini sudah terduduk lemas dengan bersandar pada dinding kamar mandi. Nafasnya juga sudah putus-putus.

Ia butuh sesuatu yang dapat menyelamatkan kesadarannya. Obat. Hanya itu yang kini tengah berada dalam pikiran Alfa. Namun kembali lagi pada keadaan jika tubuhnya sudah terasa lemas. Jangankan untuk berjalan ke kamar, berdiri pun ia sudah tidak kuat.

Alfa hanya berharap Tuhan mengirim seseorang untuk datang ke kamarnya dan melihatnya tengah berada diambang kesadaran dalam kamar mandi.

Hingga samar-samar ia mendengar suara pintu terdorong kasar dan teriakan histeris dari seorang wanita yang amat dicintainya.

"Adek!!!" Suara itu masih sanggup didengar oleh Alfa sebelum semuanya terlihat gelap dan tubuhnya terjatuh dalam pelukan hangat Bundanya.

---

"Gimana keadaan anak gue San?" Dokter Sani sengaja dipanggil untuk datang ke rumah mewah itu. Sang Ayah memang tidak membawa putra bungsunya ke rumah sakit karena ia tahu jika Alfa sangat tidak menyukai tempat tersebut. Apalagi baru beberapa hari lalu, anaknya itu keluar dari sana. Jadi tak mungkin mau jika hari ini Alfa kembali menjalani rawat inap di rumah sakit.

"Alfa cuma kelelahan, tapi.."

"Tapi apa San?" Ayah langsung memotong perkataan dokter tersebut.

"Kayaknya anak lo lagi banyak pikiran jadi gampang drop gini. Untung aja gak sampai collapse. Oh ya satu lagi, jangan terlalu membuat Alfa merasa terkekang. Penderita kanker bukan cuma harus dijaga fisiknya, namun psikisnya juga penting." Jawab Sani lantas ia bergegas keluar dari kamar Alfa setelah merapikan semua barang-barangnya.

Selepas kepergian dokter itu, Ayah langsung menghampiri istrinya yang tengah duduk di tepi kasur Alfa seraya mengelus surai hitam Alfa.

Di samping Alfa juga sudah ada Arbi yang juga tengah tertidur miring menghadap Alfa.

"Yah, Adek gak papa kan?" Ujar Bunda ketika merasa bahunya disentuh oleh Ayah.

Sang Ayah menghela nafas lemah lantas mendudukkan tubuhnya di kursi belajar Alfa.

"Adek gak papa Bun. Anak kita kuat." Balas Ayah kepada istrinya.

Lantas, Ayah mengajak wanita yang dicintainya itu untuk keluar dari kamar Alfa dan membiarkan kedua anak itu beristirahat.

---

Pukul 01.35, Alfa membuka kedua matanya ketika merasakan ada sesuatu yang bergejolak dalam perutnya. Lantas ia berusaha untuk mendudukkan tubuh lemasnya dan ternyata ada seseorang yang juga tidur di dalam kamarnya.

"Kenapa Dek?" Baru saja Alfa berhasil mendudukkan tubuhnya, suara berat sang kakak sudah terdengar. Ia memang sengaja tidak membangunkan Arbi karena masih merasa kecewa serta marah dengan ucapan kakaknya semalam.

"Hei Alfa!" Sebelum membalas ucapan Arbi, anak itu sudah berlari menuju kamar mandi yang terletak di pojok ruangan itu. Kemudian Arbi memilih untuk menyusul adiknya dan mendapati anak itu tengah berdiri di depan wastafel dengan keringat sebesar biji jagung mengalir pada pelipisnya. Serta mulut anak itu terus mengeluarkan cairan-cairan putih dari dalam lambungnya, mengingat Alfa tidak memakan apapun setelah pulang dari panti kemarin.

"Kalo udah gak ada yang mau keluar, jangan dipakasain. Nanti malah sakit Dek." Ujar Arbi dengan tangannya yang sudah terlebih dahulu mengurut bagian leher belakang Alfa.

"Mu-al K-" Belum sempat Alfa menyelesaikan ucapannya, anak itu sudah mengeluarkan cairan lagi dari mulutnya.

Setelah kira-kira sepuluh menit kedua remaja itu berdiri di depan wastafel, akhirnya Alfa sudah tidak merasa mual seperti beberapa waktu lalu. Dan saat ini Alfa tengah tertidur di kasurnya dengan Arbi yang masih sibuk mengolesi minyak angin pada tangan serta kaki adiknya.

"Maaf Dek, gue belum bisa jadi Kakak yang baik buat lo." Monolognya lantas ia ikut membaringkan tubuh lelahnya di samping Alfa yang sudah sibuk menjelajahi alam mimpi.

BAGASKARA (COMPLETED)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang