Siang nanti Alfa akan mengikuti salah satu pengobatan yang sudah direncanakan beberapa minggu lalu. Harusnya pengobatan itu akan dilaksanakan tiga hari yang lalu, namun karena ada kejadian itu semua rencana harus ditunda dari jadwal aslinya.
Anak itu tengah duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit dengan semangkok alpukat campur susu di pangkuannya. Tangan kanannya bergerak perlahan untuk menyuap sedikit demi sedikit buah itu ke dalam mulutnya.
Ayah menghela nafas ketika melihat cara makan anaknya yang sangat lambat. Sebenarnya pria itu sudah memaksa Alfa agar berkenan untuk disuapi, tapi anak itu lebih banyak punya cara untuk menolak.
"Hhh, biar Ayah suapin Dek." Untuk kesekian kalinya pria itu mencoba membujuk putra kecilnya.
Alfa menelan alpukat yang sudah dikunyahnya lantas menatap sinis ke arah Ayah. "Al punya tangan Yah."
"Ayah gak sabar liat kamu makan lama banget."
"Ya udah jangan diliatin. Suruh siapa ngliatin Al." Balas Alfa dengan tatapan sengit.
'Untung anak gue.' Batin Ayah.
Beberapa menit hening menguasai ruangan itu hingga suara sendawa dari Alfa membuat Ayah sedikit terkejut.
"Alhamdulillah. Udah kenyang Dek?" Tanya Ayah yang dibalas anggukan oleh Alfa.
"Yah."
Ayah yang baru saja menaruh bekas makan Alfa di nakas itu langsung menoleh ketika si bungsu memanggilnya.
Alfa masih terdiam dengan kedua tangan sibuk memilin selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. "Sakit gak Yah?"
Ayah mengernyit bingung dengan pertanyaan ambigu dari Alfa.
"Apanya Dek?"
"Sakit gak kalo kemo?" Tanya Alfa dengan kedua mata yang memandang lekat kedua iris pekat sang Ayah.
Kedua tangan Ayah meraih jemari Alfa yang lebih kecil darinya lantas menggenggamnya erat. "Gak papa, kan ada Ayah. Ada Bunda, ada Kakak."
"Kalo dibatalin aja gimana?" Ucap Alfa dengan kepala tertunduk dalam.
"Alfa takut." Cicitnya pelan.
Sebelah tangan Ayah terangkat untuk mengelus kening Alfa yang sedikit terasa hangat.
"Hei. Katanya mau sembuh. Mau ya diobatin biar gak sakit." Balas Ayah dengan suara yang lembut agar si bungsu tidak merasa takut.
Seketika satu sisi kelopak mata Alfa mengeluarkan setetes air yang langsung diusap Ayah perlahan.
"Kok nangis? Anak Ayah ini kan kuat." Ucap Ayah lantas membawa tubuh kurus Alfa ke dalam pelukannya. Pria itu juga mengusap pelan punggung Alfa yang terlihat bergetar.
"Adek itu kuat. Ayah sayang Adek." Bisik Ayah di telinga Alfa.
---
Pukul 13.00, Arbi beserta ketiga teman Alfa sudah datang ke rumah sakit. Mereka sampai sekitar lima menit setelah kedatangan Bunda.
Hari ini sekolah dibubarkan lebih cepat karena akan ada rapat para guru beserta kepala sekolah. Sehingga mereka bisa lebih cepat datang ke rumah sakit untuk menemani Alfa sebelum anak itu mengikuti prosedur pengobatan kemoterapi.
"Yan." Bian yang sedang membalas satu pesan di gawainya itu langsung melihat Alfa ketika merasa dirinya dipanggil.
"Kenapa Al." Balas Bian lantas mendekati Alfa dan duduk di pinggiran kasur anak itu.
"Genta?" Tanya Alfa.
Bian menghela nafas sekali lantas kedua tangannya menggenggam erat jemari Alfa yang terlihat lebih kurus. "Genta udah aman di penjara. Jadi lo gak perlu khawatir."
Alfa mengedipkan kedua maniknya polos. "Gue kasian sama dia."
"Udah gak usah dipikirin. Inget nanti sore lo ada kemo, gak usah macem-macem." Balas Bian.
"Kalo lagi kemo gue gak kuat terus tiba-tiba meninggal gimana?" Ucap Alfa polos.
"Ngaco lo. Udah sana istirahat, ngelantur mulu dari tadi ngomongnya." Ujar Bian yang sudah jengah dengan ucapan aneh dari Alfa.
"Dek, makan buah dulu." Ucap Bunda yang baru saja selesai memotong apel untuk dimakan Alfa. Sedangkan Ciko, Dani dan Arbi tengah asyik dengan permainan PS mereka.
"Gak pengen Bunda." Tolak Alfa lirih.
"Dikit aja ya." Bujuk Bunda lantas wanita itu duduk di kursi yang berada di samping ranjang Alfa.
Bian juga sudah beranjak untuk bergabung bersama tiga remaja yang terlihat sangat serius dengan permainan mereka.
---
Sudah dua jam setelah Alfa menjalani kemoterapi dan sekarang anak itu sedang memuntahkan isi lambungnya yang tidak seberapa. Bahkan sejak selesai kemo tadi anak itu belum memakan apapun namun perutnya terasa mual dan terus memuntahkan cairan putih dari lambungnya.
Dengan telaten sang Bunda memijat pelan belakang leher Alfa. Serta Ayah yang menyangga tubuh anak itu agar tidak terjatuh, juga Arbi yang sejak tadi memegangi sebuah wadah stainless untuk tempat muntah Alfa.
Bunda juga mengoleskan minyak kayu putih pada punggung serta perut Alfa, agar anak itu tidak terlalu merasa mual.
"Ssa-kit." Sebuah likuid bening turun dari kelopak mata Alfa. Anak itu menangis karena sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang menyerang seluruh tubuhnya. Bahkan sekarang Alfa merasa sangat kedinginan. Hingga dirinya menggigil dengan tangan yang meremat jemari besar Ayah.
"Tidur aja ya biar sakitnya ilang." Ucap Bunda dengan tangan yang setia mengelus kening Alfa.
Sedangkan Arbi sedang membersihkan bekas muntahan Alfa tadi.
Alfa terus menangis hingga dirinya merasakan sesak yang tiba-tiba datang dan membuat anak itu kepayahan untuk meraup oksigen.
"Hah..hah. Sse-ssak."
Arbi yang baru keluar dari kamar mandi dan melihat keadaan adiknya itu langsung berlari keluar untuk memanggil dokter Sani serta Bunda bergegas memencet tombol yang ada di sisi brankar Alfa.
Hingga tak lama dokter itu datang beserta kedua suster yang langsung memeriksa keadaan Alfa. Salah satu suster itu langsung memasangkan alat bantu pernafasan untuk Alfa agar anak itu tidak kesulitan bernafas.
"Alfa tenang ya, jangan nangis nanti tambah sesak." Ujar dokter Sani lembut dengan mengelus dada Alfa yang terlihat naik turun tak beraturan.
"Ssa-kit." Ucap Alfa pelan di balik masker oksigen yang dipakainya.
Bunda yang menyaksikan itu dari pojok ruangan menangis histeris lantas dirinya dipeluk oleh Ayah agar wanita itu tidak melihat keadaan kacau si bungsu. Bahkan Arbi juga ikut meneteskan air mata namun dirinya mencoba tetap terlihat baik-baik saja.
'Ya Allah, sembuhkanlah anakku.' Batin Ayah lantas dirinya juga membawa tubuh bergetar Arbi ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA (COMPLETED)√
Teen FictionSosok remaja yang seumur hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam, putih dan kelabu. Selalu berangan untuk dapat menyaksikan semburat oranye yang tampak pada langit ketika matahari ingin bersembunyi di ufuk barat.