Dua Puluh Delapan

1.3K 129 4
                                    

Hari ini masih tetap sama seperti tiga hari yang lalu. Sosok itu masih terpejam erat dengan berbagai alat medis menempel pada tubuh kurusnya. Seorang wanita berhijab yang masih duduk di samping sosok itu juga tidak pernah berhenti merapalkan doa untuk kesembuhan si bungsu.

Jemari lentik seorang ibu tersebut enggan berhenti untuk mengusap ujung kepala anaknya yang sudah tidak dipenuhi rambut sehelaipun. Takut jika kasar sedikit saja, putranya akan dalam keadaan bahaya.

"Udah empat hari ini Adek tidur terus. Gak kangen ya sama Bunda? Padahal Bunda kangen banget sama Adek. Kangen suara Adek, kangen senyuman Adek, kangen manjanya Adek juga." Ujar Bunda.

Ada setetes likuid bening yang terjatuh dari salah satu manik indah sang Bunda. Disusul dengan tetesan lainnya hingga menjadi aliran yang turun perlahan sampai mengenai tangan sang anak.

Beberapa menit berlalu hanya diisi oleh bunyi alat pendeteksi jantung yang dihubungkan dengan tubuh Alfa. Hingga tiba-tiba jemari kurus anak itu bergerak-gerak kecil serta kedua maniknya yang berusaha untuk terbuka perlahan.

Kedua mata Bunda melebar dengan senyum yang terlukis di bibir ranumnya. Dengan cepat wanita itu memencet tombol emergency yang berada di sebelah brankar Alfa untuk memanggil dokter.

"Sayang. Adek hebat." Ujar Bunda sambil menciumi tangan Alfa yang masih berada dalam genggaman.

Kedua mata Alfa masih terlihat sayu dan belum sepenuhnya fokus pada apa yang anak itu lihat. Tak lama kemudian dokter beserta dua perawat masuk ke dalam ruangan itu. Langsung saja Bunda berjalan keluar ruangan agar mereka dapat memeriksa bungsunya tanpa terganggu.

"Bunda kok di luar? Adek kenapa Bun?" Tanya Ayah yang baru saja sampai di rumah sakit bersama putra sulungnya.

Bunda masih terdiam lantas memeluk tubuh tegap Ayah. "Adek udah bangun. Adek sadar Yah."

Pria itu langsung mengucapkan syukur berkali-kali serta semakin mengeratkan pelukannya pada sang istri.

Arbi pun sama. Mulut anak itu terus bergumam mengucapkan syukur dan berdoa agar suatu hal yang buruk tidak menimpa adik kesayangannya setelah ini.

---

"Maaf, Alfa benar-benar mengalami amnesia. Dia tidak mengingat hal apapun sebelum operasi waktu itu." Terang dokter Sani kepada Ayah dan Bunda yang masih duduk berhadapan.

Kedua tangan Ayah mengepal kencang. Ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Mengapa justru ini yang terjadi? Bungsunya selalu mendapat cobaan yang berkali-kali lipat. Dan sekarang anak itu tidak mengingat apapun lagi bahkan termasuk dengan keluarganya sendiri.

"Sorry Bim, gue kira hal ini gak akan terjadi sama Alfa. Tapi ternyata-" Dokter tampan itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Bahkan setetes air bening juga terlihat jatuh dari kelopak matanya.

"Ini bukan salah lo San. Ini udah takdir." Balas Ayah diiringi dengan lelehan air mata yang mengalir dari kedua maniknya.

"Amnesia ini gak bersifat permanen Bim. Suatu saat pasti Alfa bakal inget lagi."

Sang Ayah hanya mengangguk mantap. Lantas kedua orang tua Alfa berpamitan undur diri untuk menemui Alfa yang sudah dipindahkan ke ruang rawat.

---

Laki-laki yang masih duduk di sebuah kursi di samping brankar rumah sakit itu masih setia mengusap lembut pucuk kepala plontos adiknya. Sedari tadi anak itu masih terdiam dengan pandangan bingung. Bahkan ucapan kakaknya itu juga tak ada satupun yang dibalasnya.

"Dek, ini kakaknya Adek, Kak Arbi. Adek inget?" Tanya Arbi memandang lekat kedua manik sayu Alfa.

Alfa hanya menggeleng pelan. "Ma-af." Balas Alfa terbata. Anak itu juga sedikit mengalami kesusahan berbicara sehingga hanya mampu berucap dengan singkat.

Arbi lantas menggeleng brutal. "Enggak. Adek gak salah. Kakak sayang Adek. Makasih ya udah mau bertahan buat Kakak."

Cklek

Seorang wanita berhijab itu masuk ke dalam ruang rawat sang anak bersama suaminya. Setelah mengucap salam, keduanya bergegas menghampiri Alfa yang masih memandang mereka dengan tatapan bingung.

Sang Bunda langsung menerjang si bungsu dengan pelukan yang sangat erat. Alfa yang masih tidak mengerti tersebut hanya terdiam dan membiarkan wanita itu memeluk erat dirinya.

"Makasih Dek." Ujar Bunda dengan mencium kening Alfa berulang kali.

"S-si-apa?"

Senyuman Bunda langsung lenyap ketika mendengar pertanyaan Alfa yang membuat hati wanita itu terasa diremas kuat.

"Dek, ini Bunda. Terus itu Ayah. Orang tua Adek." Bukan Bunda ataupun Ayah yang menjawab, melainkan Arbi. Ia sebisa mungkin menjelaskan dengan perlahan terkait sesuatu yang sudah tidak teringat lagi dalam memori Alfa.

Alfa lantas mengangguk perlahan dengan kerutan halus yang masih tersemat di keningnya. "Ma-af. Aku gak i-nget."

"Gak apa Dek, yang penting sekarang Adek udah bangun." Balas Bunda yang sudah duduk di atas brankar menghadap putra bungsunya.

Bunda lantas memeluk erat tubuh Alfa yang masih terbaring di atas tempat tidur. Mencium aroma khas putra bungsunya yang membuatnya tenang. Berharap sosok itu masih selalu bisa bersamanya dan tidak akan pernah meninggalkannya.

---

Tiga remaja laki-laki berseragam putih abu-abu itu terlihat berjalan tergesa-gesa menuju ruang rawat VIP bertuliskan angka 20A. Mereka datang ke tempat tersebut untuk menjenguk salah satu teman yang telah sadarkan diri dari koma sejak kemarin.

Setelah pintu ruangan tersebut dibuka oleh seorang wanita berhijab, mereka langsung menghampiri sosok berkepala botak yang masih duduk bersandar di atas brankar rumah sakit.

"Alfa!!" Panggil Bian lantas dirinya langsung menerjang anak itu dengan pelukan yang sangat erat.

"Kamu siapa?"

Perkataan itu langsung membuat pelukan Bian sedikit merenggang. Dilepasnya dekapan tersebut lantas dirinya menatap lekat kedua iris Alfa yang masih nampak sayu.

"L-lo, gak inget sama gue?" Pertanyaan Bian hanya dijawab dengan gelengan pelan oleh Alfa.

"M-maaf, aku gak inget." Balas Alfa pelan dengan kepala yang tertunduk.

Bian dan Ciko saling pandang dengan tatapan yang sama-sama bingung. Mereka langsung berasumsi bahwa sesuatu yang dikatakan Arbi waktu lalu ternyata menjadi kenyataan. Alfa amnesia dan tidak mengingat apapun lagi termasuk persahabatan mereka.

Bian menghirup oksigen yang justru membuat dadanya terasa sesak. "Gak papa Al. Ya udah kita kenalan lagi aja ya. Kenalin gue Bian. Temen sebangku lo waktu di kelas."

Alfa lantas mengangguk dan tersenyum. Ada perasaan bersalah yang menghinggap di dadanya ketika maniknya menatap tiga pasang mata di depannya yang terlihat sendu.

"Oh ya, kenalin juga, gue Ciko. Temen sekelas lo juga. Tapi beda bangku. Tapi kalo ke kantin kita pasti sebangku lho." Ujar Ciko yang membuat bibir Alfa terangkat membentuk senyuman.

"Ekhem, giliran gue nih. Kenalin gue Dani. Manusia tampan dan rupawan yang menjadi teman sekelas lo sekaligus merangkap jadi sahabat lo." Ucap Dani dengan sangat percaya dini hingga sebuah sentilan kecil mendarat di keningnya dari seorang laki-laki bernama Ciko.

"Pede amat hidup lo!"

Alfa lantas tersenyum hingga kedua maniknya membuat garis seperti bulan sabit. Ia berharap dapat mengingat kembali kenangan masa lalunya bersama orang-orang terkasih. Semoga.

BAGASKARA (COMPLETED)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang