Arbi sudah sampai di rumah terlebih dahulu. Ia juga sudah bertanya pada satpam rumah apakah Alfa telah pulang atau belum. Namun kata pria itu dirinya belum melihat kedatangan Alfa.
Kemudian Arbi memutuskan untuk masuk ke kamarnya setelah diberitahu salah satu asistennya jika Bunda tengah berada di butik milik wanita itu.
Remaja itu sudah berganti pakaian berupa celana pendek selutut serta kaos abu polos. Ia berjalan menuju ruang makan karena perutnya terasa kosong dan butuh asupan.
Baru saja Arbi menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, Alfa beserta ketiga temannya berjalan dari pintu utama dan hendak menuju kamar Alfa.
"Bunda mana Kak?" Tanya Alfa ketika sudah berhadapan dengan Arbi.
"Lagi di butik. Lo kenapa baru sampe?" Balas Arbi.
"Ciko nyetirnya kayak siput." Jawab Alfa mengarang lantas berjalan terlebih dahulu menaiki anak tangga. Dirinya tidak mungkin memberitahu Arbi jika tadi ia sempat menemani Fara di halte sekolah.
---
"Kenapa gak langsung ditembak?" Ujar Bian to the point ketika Alfa baru saja keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian.
"Ah?" Kedua dahi Alfa mengkerut bingung dengan pertanyaan Bian. Dani dan Ciko juga terkejut dengan pertanyaan aneh dari Bian.
Bian lantas menghela nafas pelan lalu duduk di atas tempat tidur Alfa.
"Fara. Lo, suka kan sama dia?" Tanya Bian dengan pandangan yang menatap lekat kedua manik Alfa. Sedangkan Dani dan Ciko memilih diam dengan kedua tangan yang tetap bermain game di ponselnya. Namun bisa dipastikan telinga mereka masih dapat mendengarkan percakapan Alfa dan Bian.
Alfa berjalan mendekat ke arah Bian. Lantas merebahkan tubuhnya di samping tempat Bian. Mengelus permukaan kasur yang terasa dingin dengan menghirup udara sebanyak mungkin.
"Gue gak mau nyakitin Fara". Balas Alfa dengan kedua mata yang memandang lurus ke atas.
"Nyakitin?"
"Lo bisa bayangin gak kalo misalnya gue nembak Fara terus kita pacaran. Tapi nanti tiba-tiba gue pergi gitu aja. Gimana perasaannya Fara?" Ucap Alfa sendu.
"Gue gak suka lo ngomong gitu. Gue yakin lo pasti sembuh." Ciko yang semula asyik dengan game di ponselnya kini sudah ikut duduk di atas kasur.
Alfa hanya mengangguk ragu. Bahkan ia tidak yakin dengan dirinya sendiri apalagi dengan orang lain?
Anak itu kemudian menutup kedua maniknya hingga tak lama dengkuran halus terdengar darinya.
---
Arbi memasuki kamar Alfa tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu tentunya. Kedua matanya langsung menangkap sosok Alfa yang masih berkutat dengan buka serta pulpen digenggamannya.
Setelah makan malam tadi Alfa bergegas masuk ke kamar padahal anak itu hanya sedikit memakan makanannya.
"Dek." Panggil Arbi yang langsung mengundang tatapan Alfa.
Alfa hanya mengangguk lalu kembali fokus dengan buku yang ada di meja belajarnya. Menutup buku itu lantas menyimpannya pada laci.
"Udah jam segini kok belum tidur?" Arbi melihat sekilas jarum jam yang sudah menunjukkan angka 9 lebih.
"Tadi abis bikin tugas." Balas Alfa lantas anak itu bangkit dari duduknya.
Sshh
Namun tiba-tiba anak itu meringis pelan dengan sebelah tangan yang memegangi kepalanya.
Dengan sigap Arbi menghampiri adiknya dan menahan tubuh itu agar tidak terjatuh ke lantai. Kakak laki-laki itu menuntun Alfa untuk berjalan menuju kasur yang jaraknya hanya beberapa langkah saja.
Hingga di langkah kedua Alfa meluruhkan tubuhnya karena rasa sakit yang mendera di kepalanya serta lemas menguasai kedua kakinya.
"Astaghfirullah!! Adek!" Arbi terkejut kala melihat adiknya yang tiba-tiba terjatuh dengan kedua tangan menarik-narik beberapa helai rambut anak itu.
Laki-laki itu memeluk tubuh ringkih Alfa dan menahan anak itu untuk tidak menjambak rambutnya sendiri.
"Dek tenang. Jangan dipukul. Jangan dipukul kepalanya." Arbi kalut. Bahkan saat ini seluruh tubuhnya bergetar hebat dengan kedua tangan yang tetap mendekap erat adiknya.
"Ssa-kkitt." Sebuah kristal bening terjun dari kelopak mata Alfa yang terlihat memerah. Bahkan sedari tadi Alfa terus menggigit bibir bagian dalamnya untuk menyalurkan rasa sakit yang tiada henti menghujam tubuhnya.
"AYAH! BUNDA!" Arbi berteriak keras untuk memanggil kedua orang tuanya. Untungnya tadi dia tidak menutup pintu kamar Alfa jadi kemungkinan Ayah dan Bunda akan mendengar teriakannya.
Alfa masih bergumam tidak jelas dengan air mata yang turut menghiasi kedua pipinya yang memerah. Kedua manik anak itu juga sudah terpejam meskipun sebenarnya Alfa masih berada diambang kesadaran.
"Adek!!!" Kedua orang tua tersebut berlari menerjang kedua anak mereka yang salah satunya sedang berjuang untuk tetap bertahan.
Sang Ayah bergerak cepat dengan mengangkat tubuh Alfa lantas membawanya berlari menuju pintu utama dan memanggil sopir pribadi untuk mengantarkannya ke rumah sakit.
"Adek tahan ya. Kita obatin Adek biar gak sakit." Alfa masih mendengar samar ucapan Ayahnya kala dirinya berada dalam gendongan pria itu. Hingga perlahan kedua kelopaknya benar-benar tertutup rapat dan kesadarannya menghilang.
---
Pukul 23.00 WIB.
Remaja tampan itu masih asyik dengan pejamnya. Mungkin sampai esok. Karena kata dokter yang menangani, Alfa masih terlelap karena obat tidur yang diberikannya pada anak itu.
Satu jam yang lalu mereka sampai di rumah sakit. Dan para tim medis langsung membawa Alfa ke dalam UGD. Bahkan anak itu sempat kejang saat dokter tengah menanganinya.
Dan sekarang Alfa masih tertidur dengan Arbi serta Bunda yang setia menemaninya. Sedangkan Ayah sedang pulang untuk mengambil beberapa keperluan Alfa di rumah sakit.
Sebenarnya Bunda dan Ayah sudah menyuruh Arbi untuk pulang karena besok anak itu harus bersekolah. Namun laki-laki itu menolak dengan alasan masih ingin menunggu adiknya untuk bangun. Padahal ucapan sang dokter tadi mengatakan bahwa kemungkinan Alfa akan bangun pada esok hari.
"Lo bikin gue jantungan mulu Dek." Ujar Arbi yang dari tadi terus memainkan jemari Alfa.
"Kalo gini caranya, lama-lama gue bisa mati jantungan gara-gara lihat kondisi lo yang naik turun." Arbi masih asyik berbicara sendiri tanpa ada yang menjawab.
Sedangkan Bunda, wanita itu sudah tertidur di sofa besar yang ada pada pojok ruangan.
Untuk kesekian kalinya, bolehkah Arbi meminta agar Tuhan tetap mempertahankan adiknya? Ia hanya tidak ingin sosok itu pergi dari jangkauannya. Ia tak mau jika harus menjadi anak tunggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA (COMPLETED)√
Teen FictionSosok remaja yang seumur hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam, putih dan kelabu. Selalu berangan untuk dapat menyaksikan semburat oranye yang tampak pada langit ketika matahari ingin bersembunyi di ufuk barat.