Dua Puluh Lima

1.2K 113 2
                                    

Kelima remaja sekolah menengah atas itu tiba di kamar rawat Alfa saat anak itu tengah duduk bersandar pada kepala brankar rumah sakit. Awalnya Alfa terkejut karena kedatangan dua siswi tersebut, namun setelahnya ia justru merasa senang karena sudah dijenguk Fara.

"Gimana keadaan lo Al?" Tanya Fara yang saat ini sedang duduk di kursi samping brankar Alfa.

"Baik. Apalagi sekarang udah dijengukin sama lo." Balas Alfa yang membuat kedua pipi Fara bersemu merah.

"Masih aja gombal, lagi sakit juga." Celetuk Dani yang sedang sibuk mengupas kacang.

Alfa tidak menanggapi. Ia hanya tersenyum lantas memejamkan kedua maniknya ketika rasa sakit itu kembali hadir.

Anak itu menggigit bibir bagian dalamnya agar rintihan kecil tak dapat keluar dari mulutnya.

"Lo kenapa Al?" Tyas yang dari tadi fokus dengan ponselnya tidak sengaja memandang Alfa singkat dan ternyata anak itu terlihat tengah kesakitan.

Ketiga siswa yang semula duduk di karpet tebal itupun lantas bergegas mendekati Alfa. Kedua orang tua Alfa dan kakaknya sedang keluar, jadi anak itu adalah tanggung jawab mereka.

Bian mengisyaratkan Fara agar gadis itu berpindah dari posisinya. Lantas laki-laki tersebut duduk di kursi yang digunakan Fara tadi.

Alfa masih setia memejamkan kedua mata dengan kerutan halus yang muncul dikeningnya. Keringat dingin juga terlihat mengalir dari pelipisnya.

"Al, lo denger gue?" Tangan Arbi bergerak mengelus rambut lepek Alfa sedang tangannya yang lain menggenggam jemari Alfa yang sedari tadi meremat selimut.

"S-sa-kit." Rintihan itu akhirnya keluar dari mulut Alfa yang sudah pucat. Bahkan tangan yang tertancap jarum infus itu sudah bergerak menjambak rambutnya sendiri.

"Hei Alfa. Jangan dijambak rambutnya." Bian berusaha setenang mungkin menghadapi Alfa yang tengah kesakitan.

Bahkan sekarang Bian sudah berpindah duduk ke atas brankar dan memeluk Alfa dengan erat. Ia menenggelamkan Alfa di dada bidang miliknya. Untung saja anak itu sudah tidak memakai alat bantu pernafasan, jadi Bian lebih mudah ketika memeluknya.

Keempat remaja yang lain itu masih mematung di tempatnya. Bahkan tidak ada satupun dari mereka yang bergerak seincipun. Hingga satu teriakan dari Bian membuyarkan lamunan mereka semua.

"Panggil dokter!!!"

---

Fara dan Tyas sudah pulang terlebih dahulu memakai taksi online setelah Alfa tertidur akibat pengaruh obat yang diberikan oleh dokter. Sedangkan ketiga teman Alfa yang lain masih duduk di luar kamar rawat Alfa.

Tadi ketika Dani berlari keluar untuk memanggil dokter yang tak segera datang, dirinya berpapasan dengan Arbi dan kedua orang tua Alfa. Lantas tiga orang itu bergegas menuju kamar rawat Alfa dan menemukan anak itu sudah tidak sadarkan diri di pelukan Bian.

Dan setelah dokter Sani keluar dari ruang rawat Alfa, dirinya mengajak Bunda dan Ayah untuk ke ruangan dokter itu guna membicarakan kondisi Alfa yang semakin menurun.

Dokter Sani mengatakan jika memungkinkan, lusa akan dilakukan operasi untuk mengangkat sel kanker tersebut.

Hari sudah semakin petang namun sepertinya Alfa masih betah menutup mata. Bahkan ia tidak terusik sedikitpun ketika Arbi memainkan poni rambutnya yang sudah memanjang.

"Bangun Dek, gak baik tidur waktu maghrib." Ujar Arbi yang saat ini sedang memainkan jari-jari Alfa.

Beberapa jam lalu ia dibuat jantungan dengan pemandangan Alfa yang sudah pingsan dalam dekapan Bian. Wajah anak itu memucap dengan keringat dingin yang membanjiri keningnya.

Arbi beralih mencubit pelan pipi adiknya yang sudah tidak sebesar dahulu. "Emang hobi banget ya bikin gue jantungan. Bisa mati muda gue lama-lama."

Enghhh

Alfa melenguh pelan kala bibir tebal Arbi menempel di dahinya. Kedua matanya masih mengantuk namun sepertinya kakaknya itu sengaja melarangnya tertidur.

"Bangun Adek. Udah maghrib jangan tidur." Ucap Arbi yang dibalas Alfa dengan menguap.

Cklekk

Kedua orang dewasa itu tersenyum ketika melihat dua jagoannya sudah berinteraksi seperti biasa.

"Kakak udah sholat belum?" Tanya Bunda yang melihat Arbi masih memainkan anak rambut Alfa.

Arbi hanya menyengir kuda lantas menggeleng pelan. Seketika remaja itu berlari menuju kamar mandi untuk berwudhu.

---

Pagi ini Bian dan kedua temannya berangkat bersama ke sekolah. Ketiga remaja tampan itu berjalan santai melewati koridor sekolah dan sesekali tersenyum ramah dengan siswa lain.

"Bian!!" Ada suara cempreng dari seorang gadis berkucir kuda yang berlari menghampiri ketiga laki-laki tersebut.

Gadis itu menormalkan kembali pernafasannya setelah dirinya tiba di hadapan Bian.

"Alfa gimana?" Tanya gadis itu langsung setelah dirinya sudah bisa bernafas dengan normal.

Bian tersenyum melihat ekspresi gadis itu yang baru saja berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. "Udah gak papa. Besok mau operasi. Doain ya."

"Besok?"

Bian mengangguk lantas pamit untuk berjalan ke kelas mereka dengan kedua temannya.

Setelah kepergian tiga siswa itu, Fara masih mematung di tempatnya. Ia masih tidak menyangka kalau sosok yang selama ini dirinya kagumi menderita penyakit separah itu.

Bahkan sosok itu masih saja tetap tersenyum meskipun terkadang anak itu tiba-tiba kambuh.

"Ra." Fara terkejut dan kembali sadar dari lamunannya ketika sebuah tangan menepuk bahu sebelah kanannya. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Tyas. Sahabatnya dari kecil.

"Masih pagi Ra, ntar kesambet." Ujar Tyas menatap Fara yang dari tadi berdiri mematung.

"Besok Alfa operasi." Pelan ucapan Fara membuat Tyas mengernyit bingung.

"Alfa besok mau dioperasi Yas." Ulang Fara membuat kedua bola mata Tyas membulat sempurna.

"Ha? Serius lo?"

"Dan gue gak yakin Yas. Kata bokap gue, operasi buka tengkorak itu resikonya besar." Balas Fara yang saat ini sudah meneteskan air matanya.

Tyas mengangguk lantas membawa tubuh bergetar Fara ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap pelan punggung kecil Fara yang semakin bergetar akibat menangis.

"Alfa itu kuat. Gue yakin dia pasti berhasil." Ucap Tyas pelan di telinga Fara agar gadis itu dapat tenang.

Tanpa mereka ketahui ada sosok laki-laki yang sedari tadi memerhatikan dua gadis tersebut. Siswa itu tampak tersenyum sangat tipis lantas menghela nafas lemah.

"Lo kuat Dek. Adek gue pasti bisa." Batin Arbi dalam hati lantas bergegas menuju ruang kelasnya ketika bel sekolah sudah berbunyi.

BAGASKARA (COMPLETED)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang