Hari ini ruangan bernuansa putih itu tampak ramai dengan suara tawa dan canda dari keempat remaja laki-laki yang salah satunya tengah duduk bersandar pada brankar rumah sakit.
Satu hari Alfa tidak berangkat sekolah membuat ketiga remaja itu merasa sangat rindu katanya. Terlalu lebay menurut Alfa. Tapi itulah persahabatan mereka. Jika sehari saja tidak bertemu, maka akan ada sesutau yang kurang dalam diri mereka.
"Aduh say, sehari lo kagak masuk berasa kayak sayur tanpa garem gue." Ujar Dani lantas memeluk tubuh Alfa yang masih nyaman bersandar.
"Lebay. Terus lo anggep gue garem gitu?" Tolak Alfa tidak terima dengan ucapan temannya.
"Elah bukan gitu say, sensi banget dah." Balas Dani dengan memajukan sedikit bibir merahnya yang malah membuat ketiga remaja lain merasa jijik. Mungkin.
Hal itu justru membuat yang lain tertawa geli karena melihat Dani memonyongkan mulutnya seperti bebek.
"Yan, maaf ya." Ujar Alfa ketika sudah meredakan tawanya.
Bian yang sedari tadi berdiri agak jauh dari jangkauan Alfa lantas mendekat kemudian duduk di sebuah kursi yang baru saja di tempati Ciko.
"Kenapa minta maaf?" Dengan tangan yang sudah terangkat mengusap kening Alfa, Bian bertanya sembari menggenggam jemari Alfa yang lebih kecil darinya.
"Lo pasti dimarahi Kak Arbi." Jawab Alfa dengan kepala yang menunduk dalam.
Namun tak ada suara yang membalasnya hingga beberapa saat. Dan sebuah pelukan erat menyadarkan anak itu lantas mendongak guna melihat siapa orang yang sudah mendekapnya.
"Lo gak perlu minta maaf dek, gue rela ngelakuin apapun buat lo, biar lo bisa seneng. Lo sahabat gue, adek gue." Tak terasa setetes air jatuh dari pelupuk mata indah milik Alfa dan langsung mengenai bahu tegap Bian.
"Makasih Kak, makasih dan maaf." Jawab Alfa setelah terlepas dari dekapan Bian.
Keempat remaja itu masih saling melempar candaan setelah Alfa dan Bian menyelesaikan acara pelukannya. Hingga suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka.
Terlihat tiga pria beda usia serta seorang wanita berhijab yang terlihat cantik meski usianya sudah hampir kepala empat.
---
"Om, pulang." Rengekan itu keluar dari mulut Alfa ketika baru saja diperiksa oleh dokter.
Alfa itu sebenarnya penakut. Ia sangat takut dengan yang namanya jarum suntik. Mungkin kalau dalam keadaan sadar, kemarin ia tak akan mau untuk dipasangkan infus. Ia juga tidak betah untuk berlama-lama di tempat ini meskipun ruangan itu terlihat sangat mewah karena pemilik rumah sakit tersebut adalah orang tua Alfa sendiri.
"Jangan sekarang ya Al, kamu masih butuh perawatan di sini." Tolak Sani dengan sehalus mungkin.
Lantas Alfa hanya menggelengkan kepala, bahkan kedua manik indah itu sudah berkaca-kaca. Kemudian Bunda mendekat dan membawa tubuh putra bungsunya ke dalam pelukan.
Alfa itu cengeng. Ia sebenarnya mudah menangis. Apalagi kalau di rumah dan bersama orang-orang terdekatnya. Ketiga sahabatnya pun sudah mengetahui semua yang ada dalam diri Alfa.
"Jelek banget lo kalo nangis dek." Sebuah suara mengalihkan atensi mereka untuk melihat siapa sosok yang sudah berbicara itu. Dan ternyata Arbi pelakunya. Alfa juga tidak menyadari kalau kakaknya itu sudah berada dalam kamar rawatnya.
"Gak malu sama temen-temennya tuh?" Arbi mulai menggoda adiknya. Karena baginya menjahili Alfa sama saja seperti menjahili seorang anak berumur lima tahun.
"Kakak!!" Bentak Alfa namun masih dengan suara sesenggukan karena baru saja menangis dalam pelukan Bunda.
Sedangkan ketiga remaja SMA yang lain hanya tersenyum. Mereka sudah hafal dengan tingkah sahabatnya itu. Kadar manjanya akan berkali-kali lipat ketika sedang sakit. Dan mereka memakluminya karena Alfa memang yang paling muda dari mereka, serta Alfa adalah sosok yang harus dilindungi dan disayangi.
"Kakak udah jangan godain adeknya. Lagi sakit juga." Itu suara Ayah. Jika Ayah sudah turun tangan, maka dipastikan Arbi langsung menurut dengan perintahnya.
Kemudian Arbi hanya tersenyum lantas menghampiri adiknya dan membawa tubuh yang lebih kecil darinya itu ke dalam pelukan. Ia juga mencuri satu ciuman di salah satu pipi berisi Alfa lantas beranjak menuju sofa di pojok ruangan sebelum mendapat amukan dari singa kecilnya.
"Kakak!!!!" Teriak Alfa dengan suara cemprengnya yang membuat semua orang dalam ruangan itu menggelengkan kepala.
Dan Arbi, ia malah cengengesan dengan menampilkan deretan gigi putihnya.
---
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya siang ini Alfa sudah diperbolehkan pulang dengan catatan harus menuruti semua perintah sang dokter.
"Inget Alfa, jangan kecapean, jangan banyak pikiran, terus jangan lupa makan yang teratur sama obatnya juga diminum. Oh ya satu lagi, jangan sekolah dulu sampai dua hari. Kalo kamu gak nurut, Ayah kamu bakal langsung seret kamu ke sini lagi." Perintah serta ancaman dari dokter yang merawat Alfa.
Sedangkan Alfa, ia hanya menganggukkan kepala dengan malas karena mendengar nasehat dari dokter yang sudah seperti amanat pembina upacara di sekolah.
"Adek!" Bunda yang melihatnya merasa kesal sendiri dengan bungsunya itu karena tak membalas apapun ucapan dari Sani.
"Iya."
"Iya Om, Alfa bakal nurut semua sama Om." Sambung Alfa yang sudah akan bangun dari duduknya."Pake kursi roda aja ya dek. Masih lemes gitu." Ujar Ayah yang membantu putra bungsunya untuk berdiri.
"Gak mau Yah, nanti malah tambah lemes." Tolak Alfa dengan kedua kaki yang sudah berdiri sempurna namun masih sempoyongan. Hingga beberapa detik tubuhnya limbung ke samping dan langsung ditangkap oleh Sani yang kebetulan berdiri di sana.
Dengan atau tanpa persetujuan dari Alfa, anak itu langsung didudukkan di atas kursi roda yang sudah tersedia dalam kamar rawatnya. Lantas Ayah mendorong kursi roda tersebut meninggalkan ruangan serba putih yang sudah menjadi rumah kedua bagi putra bungsunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA (COMPLETED)√
Teen FictionSosok remaja yang seumur hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam, putih dan kelabu. Selalu berangan untuk dapat menyaksikan semburat oranye yang tampak pada langit ketika matahari ingin bersembunyi di ufuk barat.