"Udah sehat Al?" Genta menyambut kedatangan Alfa di parkiran mobil dengan pertanyaannya. Ia sengaja berdiam diri di sana untuk menanti kehadiran Alfa di sekolah.
"Iya Ta." Jawab anak itu dengan tersenyum.
Arbi yang baru turun dari mobil mewahnya berpamitan dengan kedua remaja itu untuk terlebih dahulu masuk ke kelasnya.
"Sorry ya, kemarin gue gak ikut ke rumah lo. Gue ada urusan mendadak." Ucap Arbi tersenyum segan.
"Urusan apa?" Tanya Alfa dengan raut penasaran.
"Ada lah. Gak terlalu penting kok." Jawab lelaki tersebut seraya tersenyum meyakinkan kepada Alfa.
Sedangkan Alfa hanya mengangguk. Masa bodoh dengan urusan Genta. Lagi pula, orang itu tidak menceritakannya pada Alfa. Pikirnya.
Di dalam koridor sekolah, mereka melihat Bian, Ciko dan Dani yang tengah bercengkrama dengan duduk di sebuah kursi panjang. Lantas Alfa langsung mendudukkan tubuhnya di antara Bian dan Dani.
"Lo udah sembuh Al?" Tanya Bian dengan tangan yang terangkat untuk menyentuh kening Alfa.
"Kalo gue masih sakit, gue gak bakal ada di sini kali." Balas Alfa seenaknya.
"Syukur deh kalo lo udah sembuh. Ntar bilangnya 'gue gak papa, tenang aja' eh tau-tau tumbang aja." Itu Dani yang mengatakan dengan nada yang disamakan seperti gaya berbicara Alfa.
Alfa hanya merotasikan bola matanya malas mendengar ocehan salah satu temannya itu. Lalu ia memilih bangkit dan meninggalkan keempat remaja tampan tersebut bersama kebingungan.
"Lo sih Dan! Ngambek kan dia!" Ujar Bian sedikit jengah dengan kelakuan Dani yang memang selalu menggoda Alfa hingga anak itu berakhir marah.
"Elah, gue lagi disalahin. Orang gue ngomong juga bener." Belanya dengan muka memelas.
"Bodo!" Balas Bian lantas ia bergegas menyusul Alfa yang pasti sudah berjalan ke arah kelas mereka. Ciko dan Genta pun sudah berjalan agak tergesa mengikuti langkah kaki Bian.
"Bisa dapat kultum nih gue dari Ustadz Bian." Monolog Dani lantas ia berlari menyusul keempat temannya yang sudah mulai menghilang dari penglihatannya.
---
"Ayolah Al, gue minta maaf." Sejak memasuki kelas, Dani tak henti-hentinya mengajukan permohonan maaf kepada Alfa. Namun anak itu hanya diam dan tetap fokus pada buku pelajaran matematikanya. Sebenarnya ia tidak serius untuk marah dengan Dani. Alfa hanya merasa tidak enak saja karena memang ia terkadang menjadi beban untuk ketiga sahabatnya.
"Alfa, gue bener-bener minta maaf. Sumpah gue gak ada maksud apa-apa tadi." Dani masih tak henti-hentinya meminta maaf kepada Alfa hingga membuat anak itu jengah.
"Iya-iya. Udah sana balik ke tempat lo. Pusing gue dengerin ocehan lo dari tadi." Setelah bermenit-menit Dani mengatakan permintaan maafnya, akhirnya Alfa pun mengabulkannya.
"Lo pusing Al?" Tanya Bian yang baru saja duduk di kursi samping Alfa.
"Dikit." Jawab Alfa diakhiri dengan senyum andalannya.
"Mau dikit, mau banyak, namanya juga pusing. Ke UKS aja sana!" Perintah Bian yang hanya dibalas gelengan oleh Alfa.
"Baru juga gue berangkat sekolah, udah suruh ke UKS aja. Gak!" Tolak Alfa dengan tegas.
Bian ingin membalas ucapan Alfa lagi sebelum sebuah suara penggaris yang diketukkan ke meja terdengar di kelas unggulan tersebut.
"Denger ya guys. Hari ini Pak Agus gak masuk. Tapi beliau gak ngasih tugas. Jadi kita disuruh belajar sendiri. Dan tetap stay di kelas." Zaki. Ketua kelas yang tegas baru saja mengumumkan perihal jam pelajaran matematika yang kosong.
Semua siswa kelas itu pun langsung bersorak gembira karena terbebas dari pelajaran matematika dari jam pertama hingga jam ketiga.
"Ke ruangan bokap gue aja yok. Pada mau gak?" Ujar Alfa karena merasa kepalanya bertambah pusing dan ia tidak mau tiba-tiba pingsan di kelas akibat menahan pening di kepalanya.
"Okelah." Balas Bian lantas ia meminta izin kepada Zaki untuk pergi ke ruangan Ayah dari Alfa bersama ketiga sahabatnya.
---
Alfa menghembuskan nafas dengan kasar ketika baru saja memasuki ruangan Ayahnya. Lantas, ia merebahkan tubuhnya pada sofa besar yang ada di pojok ruangan.
Anak itu juga terlihat mengelus-ngelus dadanya sendiri seraya mencoba bernafas menggunakan hidung.
"Kenapa Al?" Bian yang pertama kali melihat Alfa langsung menghampiri anak itu dengan raut khawatirnya.
"Se-sek." Tak disangka sesak nafas pada tubuh Alfa semakin parah. Bahkan anak itu juga sudah membuka mulut agar oksigen dapat masuk ke dalam paru-parunya. Tangannya yang semula memukul-mukul dadanya kini di genggam oleh Bian.
"Nafas yang bener Al, jangan panik." Bian masih berusaha untuk menenangkan Alfa. Tangan satunya yang tidak diremat oleh Alfa ia gunakan untuk mengelus pelan dada anak itu.
"Biar gue panggil Bu Santi." Ujar Dani yang langsung berlari keluar menuju ruang kesehatan.
Alfa masih terus berusaha memasukkan oksigen yang seakan menghilang dari jangkauannya. Bian dan Ciko juga sedang menenangkan Alfa agar anak itu tidak sampai pingsan.
Hingga kurang dari sepuluh menit Dani datang membawa tabung oksigen portable serta disusul oleh Bu Santi.
"Nafas pelan-pelan aja Nak. Ayo kamu bisa." Bu Santi berupaya untuk membuat Alfa dapat bernafas dengan tenang. Ia juga sudah memasangkan masker oksigen pada wajah anak itu.
Namun setelah lima menit Alfa memakai masker oksigen tersebut, tiba-tiba ia memuntahkan darah dari mulutnya yang masih tertutupi alat bantu pernafasan itu hingga membuat semua orang yang ada di sana menjadi sangat panik.
"Alfa!" Bian langsung terkejut ketika melihat sahabatnya itu semakin kesusahan menarik oksigen.
Lantas tanpa pikir panjang, Ciko bergegas keluar untuk memanggil petugas kesehatan sekolah agar bisa cepat membawa Alfa ke rumah sakit.
Brakk
Pintu jati tersebut dibuka secara kasar hingga orang-orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut.
Arbi berlari kesetanan setelah mendapat telfon dari Ciko yang mengatakan jika adiknya tengah kesakitan karena penyakitnya.
"Adek!" Kedua manik Arbi sudah berkaca-kaca ketika melihat sosok itu terbaring di atas sofa dengan wajah yang tertutup masker oksigen dan cairan merah yang sudah akan mengering berada di bawah mulutnya.
"Ka-kak." Balas Alfa dengan suara yang sangat lemas. Tangan yang awalnya meremat jemari Bian kini berpindah untuk digenggam Arbi.
"Adek tahan ya. Kita ke rumah sakit sekarang." Setelah mengatakan itu, pintu terbuka menampilkan Dani beserta para tenaga kesehatan yang membawa brankar.
Lalu Arbi bergegas memindahkan Alfa untuk dibaringkan di atas brankar tersebut yang langsung didorong oleh para tenaga kesehatan.
Di dalam ambulans sekolah, Arbi tak henti-hentinya mengajak Alfa untuk berbicara agar anak itu masih dalam kesadaran.
Hingga ketika ambulans baru memasuki area rumah sakit, kedua manik Alfa terpejam dengan nafas yang putus-putus serta detak jantung yang sangat lemah.
"Adek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA (COMPLETED)√
Teen FictionSosok remaja yang seumur hidupnya hanya dipenuhi dengan hitam, putih dan kelabu. Selalu berangan untuk dapat menyaksikan semburat oranye yang tampak pada langit ketika matahari ingin bersembunyi di ufuk barat.