Dua Puluh Enam

1.3K 126 5
                                    

"Bun." Di tengah Alfa memakan sarapannya, dirinya teringat dengan kata-kata sang Ayah semalam. Tentang dirinya yang akan menjalankan operasi pada esok hari. Bukannya pesimis, hanya saja ia merasa kurang optimis.

"Iya Dek? Kenapa? Ini makan lagi, ngobrolnya nanti selesai makan." Balas Bunda dengan suara khasnya yang lembut. Wanita itu selalu berkata lembut dengan dirinya. Tidak pernah marah apalagi berkata kasar padanya.

Alfa lantas mengangguk dan menerima kembali suapan bubur yang diasongkan oleh Bunda. Rasa bubur itu hambar, hanya ada sedikit rasa manis dari sayur wortel sebagai lauknya.

Hingga pada suapan kelima, anak itu menyerah dan menggelengkan kepala. "Kenyang, Bun."

Wanita berhijab itu mengangguk lantas mengambil segelas air putih yang sudah dilengkapi dengan sedotan untuk memudahkan Alfa meminumnya. Serta beberapa obat yang senantiasa Alfa konsumsi untuk memperpanjang kontrak hidupnya.

"Alhamdulillah. Mau rebahan apa gini aja?" Tanya Bunda setelah tangannya mengembalikan gelas kaca yang hanya tersisa seperempat air.

"Gini aja, Bun. Capek tidur mulu." Balas Alfa lantas tangannya mulai sibuk mengotak-ngatik sebuah benda pipih persegi panjang.

"Seger." Gumam Ayah yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih tersampir di pundaknya.

"Anak Ayah udah makan?" Tanya pria itu setelah meletakkan handuk basah tersebut ke dalam keranjang pakaian kotor.

"Udah." Balas Alfa singkat.

"Udah minum obat?" Tanya Ayah lagi kemudian mendudukkan tubuhnya di kursi samping Alfa.

"Udah Ayah." Jawab Alfa sebal. Saat ini anak itu tengah asyik bermain game diponselnya namun pria itu malah mengganggu konsentrasinya dalam menembak lawan.

"Jangan main game terus Dek, nanti pusing." Ujar Ayah seraya mengacak-ngacak rambut Alfa setelah sang istri memanggilnya untuk sarapan bersama di sofa pojok ruangan.

Alfa hanya merengut kesal lantas kembali fokus dengan ponselnya. Tidak peduli dengan perkataan Ayah barusan.

Beberapa menit berlalu Alfa masih asyik memainkan ponsel dengan duduk bersandar pada kepala ranjang. Sedangkan kedua orang tuanya sedang sarapan.

"Bunda!!." Tiba-tiba anak itu sudah berteriak memanggil Bunda dengan ponselnya yang sudah tidak dalam genggaman.

Dengan cepat Bunda dan Ayah menengok dan menghampiri bungsunya setelah mendengar teriakan itu. Untungnya kedua orang dewasa itu sudah selesai makan, jadi tidak ada yang tersedak akibat teriakan melengking si bungsu.

"Kenapa Dek? Ada yang sakit?" Tanya Bunda yang sudah duduk di pinggiran brankar Alfa dan mengusap lembut pipi si bungsu.

Anak itu hanya memperlihatkan deretan gigi putihnya dengan kedua mata yang menyipit. "Pengen jalan-jalan."

Ayah dan Bunda saling pandang dengan kernyitan halus yang timbul di kening mereka.

"Jalan-jalan ke mana? Kan Adek masih sakit." Ucap Bunda memandang lekat kedua iris Alfa yang tampak sayu.

"Ke mana aja Bun, Al bosen di kamar terus." Balas Alfa dengan tatapan memohon kepada Bunda dan Ayah.

Setelah lima detik berlalu akhirnya kedua orang dewasa itu mengangguk dan memperbolehkan si bungsu untuk keluar kamar.

"Tapi pake kursi roda." Ujar Ayah mutlak dan Alfa hanya mengangguk antusias.

---

Suasana pagi ini terasa hangat karena sang mentari yang sudah mulai menyebarkan sinarnya ke bumi. Banyak pasien yang juga datang ke taman rumah sakit untuk sekedar menikmati panas matahari di pagi hari.

Alfa menghirup udara sebanyak mungkin setelah dirinya sampai di taman rumah sakit dengan duduk di kursi yang didorong oleh Ayah. Beberapa hari dirinya terkurung di kamar rawat, membuat dia merindukan sengatan matahari yang menerpa kulit pucatnya.

"Ke sana aja Yah." Ujar Alfa menunjuk salah satu kursi taman yang di dekatnya ada sebuah tanaman bunga matahari.

Pria itu mengangguk lantas kembali mendorong kursi roda tersebut sampai ke tempat si bungsu inginkan.

"Ayah duduk aja kalo capek." Ucap Alfa setelah dirinya sudah berada di dekat bunga matahari.

"Emang kamu gak mau pindah lagi?" Tanya Ayah.

Alfa menggeleng lantas tersenyum. Sedangkan pria itu sudah duduk di sebuah kursi dengan memerlihatkan tingkah putra bungsunya.

"Yah."

"Hem?"

"Ayah tau gak kenapa bunga ini namanya matahari?" Tanya si bungsu dengan kedua tangan yang masih menyentuh kelopak bunga kuning tersebut.

"Karena bunga matahari selalu tumbuh dengan mengarah pada sinar matahari. Jadi namanya bunga matahari Dek." Balas Ayah yang dibalas anggukan antusias dari Alfa. Lantas anak itu menyeringai pelan.

"Satu lagi Yah. Kenapa namanya matahari?" Sekali lagi anak itu memberi pertanyaan-pertanyaan unik kepada sang Ayah.

Ayah lantas tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu ini ada-ada aja Dek. Ayah gak tau, emang kenapa?"

"Karena jadi matanya hari. Coba deh Ayah bayangin kalau hari gak ada mata, pasti kan gelap. Kayak aku." Balas Alfa dengan gumaman pelan diakhir kalimatnya. Ia menunduk, meremat celana pasien rumah sakit yang terlihat kebesaran di tubuh kurusnya.

Kedua maniknya juga sudah berkaca-kaca. Mungkin jika dia berkedip sekali saja, air bening itu akan langsung jatuh dari kelopak matanya.

Ayah yang merasa gelagat putranya berubah, lantas berjongkok di depan kursi roda Alfa dan membawa tubuh kurus itu ke dalam pelukannya.

Ia selalu menjadi pria paling lemah jika dihadapkan dengan takdir yang seolah mempermainkan putra bungsunya.

"Sstt, udah jangan nangis Dek, ntar sesek." Ujar Ayah seraya mengusap-ngusap punggung si bungsu yang bergetar.

Pria itu merenggangkan pelukannya lantas menatap lekat wajah putra bungsunya yang terlihat kacau. Namun ia langsung mengernyit ketika si bungsu tiba-tiba menyipitkan kedua maniknya dengan tangan yang meraba-raba wajah sang Ayah.

Kedua bola mata remaja itu juga bergerak-gerak seolah tengah mencari sesuatu yang entah apa.

"Y-yah, gelap." Gumaman tersebut sukses membuat Ayah kembali membawa tubuh kurus putranya ke dalam pelukan. Alfa kembali menangis sesenggukan di dada bidang sang Ayah karena ia merasa dunianya sangat gelap sekarang. Semua terlihat hitam bahkan paras tampan Ayahnya pun tak bisa ia lihat sedikitpun.

"Iya ini Ayah. Kita ke kamar ya istirahat lagi. Pasti Adek capek." Ujar Ayah lantas perlahan melepaskan rengkuhannya kemudian mengecup kening si bungsu yang terasa hangat.

"Y-yah, takut." Alfa masih menggumam pelan dengan kedua mata yang tertutup rapat.

"Gak papa, ini Ayah. Gak usah takut. Kita langsung ke kamar aja ya." Balas Ayah yang dijawab dengan anggukan pelan oleh putra bungsunya.

Ketika kursi roda tersebut mulai didorong oleh sang Ayah, Alfa mencoba memberanikan diri untuk sedikit membuka kedua matanya. Namun bukannya sudah kembali normal, penglihatannya justru semakin gelap bahkan tidak ada sedikit cahaya pun yang dapat ditangkap oleh retinanya.

Lantas anak itu kembali menutup rapat kedua maniknya berharap saat dirinya terbangun, gelap itu sudah pergi dari penglihatannya.

BAGASKARA (COMPLETED)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang