Dua

7.1K 381 1
                                    

Seorang wanita berhijab yang masih terlihat cantik diusianya meskipun sudah menginjak hampir kepala empat terlihat sedang membangunkan seorang remaja laki-laki yang terlelap di atas ranjang king size bermotif monokrom. Tangannya terangkat mengusap buliran bening yang bermunculan didahi sang putra.

"Bangun sayang." Wanita itu masih setia mengelus kepala putra bungsunya dan membuat laki-laki tersebut lantas mendekatkan wajahnya pada Bunda.

Satu kecupan hangat didaratkan oleh Bunda pada kening putranya yang terasa sedikit hangat.

Enghhh

Lenguhan itu membuat wanita cantik tersebut menarik kedua sudut bibirnya.

"Bunda." Pemandangan yang sangat cantik menyambut manik elang Alfa ketika pertama kali membuka mata.

Meskipun hanya putih, hitam, dan abu-abu yang terlihat dipandangan Alfa, ia tetap meresponnya dengan senyuman hangat. Meskipun terkadang pening langsung menyerang kepala ketika akan membangunkan tubuhnya, ia hanya bisa merasakan dan berharap masih bisa melewati hari ini hingga petang tiba.

"Pusing?" Bunda langsung menyodorkan pertanyaan itu ketika melihat anat itu memijat pangkal hidungnya.

Sebuah anggukan lemah membuat wanita cantik itu lantas membaringkan kembali tubuh putra bungsunya.

"Gak usah sekolah ya dek." Ucap Bunda ikut memijat pelan kening putranya. Ibu dua anak itu selalu merasa khawatir ketika dihadapkan dengan kondisi anak bungsunya yang terkadang naik turun.

"Al gak papa Bun." Balas Alfa lalu berusaha membawa tubuhnya untuk duduk dengan bersandar pada kepala ranjang.

"Bun." Tangan Alfa tergerak menggenggam telapak tangan Bunda lantas menuntun kedalam dada bidangnya bermaksud meyakinkan wanita itu supaya tidak mencemaskan dirinya.

Bunda hanya mengangguk karena bagaimanapun ia menolak keinginan Alfa, anak itu akan tetap pada pendiriannya.

Kemudian Alfa beranjak dari tempat tidur dan bersiap untuk berangkat ke sekolahnya.

---

Tidak ada yang menginginkan untuk hidup dalam kehidupan yang sama sekali tak pernah ada warna. Meskipun berulang kali Ayah serta Bunda berusaha agar putra bungsunya dapat hidup normal seperti kebanyakan remaja, namun takdir memang tak akan berubah karena sudah ketetapan dari Yang Kuasa.

"Adek udah bangun Bun?" Tanya Ayah kemudian meletakkan tab yang semula dipegangnya.

"Udah Yah, tadi sempat pusing katanya, tapi disuruh gak usah berangkat gak mau." Balas Bunda lantas meletakkan secangkir kopi di meja makan ke hadapan suaminya.

Sang kepala keluarga itu lantas hanya menghela nafas lemah.
"Bunda kayak gak tau Adek aja."

"Iya keras kepala kayak kamu." Jawab Bunda meledek suami serta Ayah dari anak-anaknya itu.

"E-"

"Pagi Ayah, pagi Bunda." Ucapan yang ingin Ayah lontarkan itu terpotong langsung dengan sapaan dari kedua putranya.

Keluarga kecil tersebut lantas melaksanakan rutinitas mereka di pagi hari sebelum melakukan aktivitas yang akan menghabiskan tenaga.

"Adek kok gak pake kaca mata?" Setelah Alfa menghabiskan semua obat yang harus diminumnya, dan sebelum putra bungsunya itu beranjak untuk menuju ke sekolah, Bunda lebih dulu bersuara menanyakan keberadaan kaca mata putra kandungnya. Kaca mata yang dapat membantu anak itu untuk melihat warna meski tetap tak seindah yang dilihat oleh orang-orang normal.

Alfa lantas hanya tersenyum lalu menuntun telapak tangan Bunda untuk diciumnya.

"Al lebih nyaman kayak gini Bun. Tenang aja, Al kan cuma buta warna." Ucapan terlewat santai itu dikeluarkan dari mulut mungil si bungsu.

Setelahnya, Bunda memilih diam lantas mencium pucuk kepala Alfa. Arbi juga ikut berpamitan pada kedua orang tuanya, kemudian kedua remaja itu berjalan keluar dan memasuki sebuah mobil mewah keluaran terbaru untuk menuju sekolah.

Dulu, sebelum vonis mengerikan itu datang, mereka lebih sering menaiki motor sport dengan Arbi sebagai pengemudi dan Alfa adalah penumpang setianya. Namun sekarang Arbi lebih memilih untuk membawa mobil agar adiknya tidak terlalu banyak terkena terpaan angin.

"Gak kena angin aja tubuh gue udah ada penyakit."

Ucap Alfa tepat seminggu setelah vonis itu datang dan seminggu itulah ia selalu diajak oleh kakaknya untuk menaiki mobil saja ke manapun tujuannya.

Selalu seperti itu, keistimewaan yang tersarang dalam tubuhnya membuat anak itu mendapat sikap overprotective dari siapa saja. Namun Alfa tak pernah ingin menyerah begitu saja. Meskipun penyakit buta warnanya yang tidak mungkin sembuh serta kanker yang akan menggerogoti tubuhnya perlahan, tetapi ia akan tetap berjuang untuk tetap menghembuskan nafas dan mengukir kenangan bersama orang-orang tersayangnya.

---

Sunshine High School

Sekolah swasta yang sangat megah dengan segala fasilitasnya itu merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh orang tua dari Alfa dan Arbi.

Setelah memarkirkan mobil putihnya, Arbi serta Alfa turun dari pintu kendaraan itu dan langsung disambut dengan teriakan histeris oleh siswa-siswi yang ada disekolah tersebut.

"Alfa!" Teriakan itu membuat pemilik nama menengokkan wajahnya dan dilihatnya Bian yang berlari ke tempatnya berdiri.

"Eh elo Yan."

"Masuk yok." Ajak Bian yang merupakan salah satu sahabat Alfa serta teman sebangkunya.

"Duluan ya Kak, lo gak papa sendiri?" Pamit Alfa pada kakaknya yang masih bersandar di depan mobilnya.

"Elah lo kira gue bocah. Udah sana masuk, nanti pulangnya lo duluan aja minta jemput Pak Seno atau kalo gak istirahat aja di ruangan Ayah. Gue mau latihan basket dulu." Pesan Arbi kepada Alfa yang hanya dibalas dengan anggukan malas oleh anak itu.

Kakak adik itu memang sangat terkenal di sekolahnya. Bukan karena mereka adalah anak dari pemilik sekolah, namun karena prestasi mereka yang mengalahkan semua siswa-siswi sekolah itu.

Arbi yang merupakan ketua tim basket selalu mendapat pujian-pujian dari hampir seluruh warga sekolah. Sedangkan Alfa yang tadinya ingin meneruskan jejak sang kakak harus terpaksa mengubur keinginan itu karena penyakit yang tidak membolehkannya kelelahan. Namun ia masih bisa mengukir prestasi lewat olimpiade-olimpiade yang sering dimenangkannya.

BAGASKARA (COMPLETED)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang