Mau tau bagaimana cara mencintai yang paling berani? Yaitu dengan cara pergi
*****
Setelah Milly berkata jika tadi dia melihat om Satya, ayah Lingga, aku langsung bergegas menuju parkiran sekolah begitu melihat jika di ruang kepala sekolah sudah tidak ada anak-anak yang berkerumunan.
Menurutmu apa lagi alasan Ayah Lingga datang ke sekolah selain mencoba memanipulasi citranya di depan semua orang agar selalu terlihat sempurna. Aku yakin sekali jika Lingga tidak akan baik-baik saja setelah ini karena masalah kemarin rupanya telah terdengar oleh ayahnya. Terbukti jika hari ini dia dan antek-anteknya termasuk Milly dipanggil ke ruang kepala sekolah tadi.
Mengingat aku sebenarnya cukup tau bagaimana hubungan Lingga dan ayahnya, rasanya tidak heran kan kenapa tanpa pikir panjang aku langsung berlari keluar kelas setelah mendengar penuturan Milly tadi.
"Kamu bisa nggak sih nggak bikin masalah dan buat papa malu terus!"
Aku memelankan langkahku setelah mendengar suara dengan nada membentak barusan. Aku mengintip sedikit di balik tembok dekat parkiran dan menemukan dua orang yang sejak tadi kucari.
"Kamu pikir buat apa papa sekolahin kamu di tempat bagus seperti ini?!"
"Jawabannya jelas biar kamu jadi orang yang berguna dan nggak kaya berandal begini!"
Kulihat Lingga menyeka darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya. "Berguna buat apa, pa? Biar papa kelihatan jadi orang paling baik? Biar papa bisa nambah aset dan pundi-pundi rupiah dengan cara sembunyi di balik topeng kebusukan papa?!"
Aku menutup mulutku dengan kedua tangan untuk menahan jeritan begitu melihat om Satya memukul Lingga hingga tersungkur setelah geram dengan ucapan yang putranya lontarkan tadi.
"Nggak usah ngejawab kamu! Malam ini kamu harus pulang dan ikut makan malam sama papa dan tante Sintya."
"Oh, sama jalang papa itu?"
Ayah Lingga terlihat tambah tersulut emosi dan bersiap memukul Lingga lagi tepat saat ada seorang gadis yang dengan beraninya menahan pergelangan tangan beliau.
"Cukup om. Inget Lingga itu anak kandung om."
"Om mau citra om itu rusak kalau sampai ada media yang ngelihat tingkah om barusan?"
Kulihat om Satya sepertinya luluh dan menurunkan tangannya. "Saya nggak tahu Anggi. Kenapa kamu sama ibumu itu suka sekali mencampuri urusan saya."
Aku bergegas keluar dari tempat persembunyianku setelah mobil ayah Lingga sudah pergi. Tapi langkahku terhenti saat Lingga dengan spontannya memeluk gadis yang dipanggil Anggi tadi.
"Gue capek, Nggi." Lirihnya.
Aku masih terdiam di tempat sampai mataku bersitatap dengan mata Lingga yang kelihatan sekali terkejut dengan keberadaanku.
Aku tahu kalau dia sadar akan keberadaanku. Tapi entah kenapa yang dilakukannya malah menarik tangan gadis itu untuk pergi dan memilih mengabaikan keberadaanku.
**Alingga**
Aku pulang agak telat karena harus membantu Milly berkemas setelah dia memutuskan untuk menginap di rumah Reta selama di skors seminggu ini.
Alasan Milly cukup simple. Dia mencoba menghindar dari hukuman akibat kelakuannya kemarin yang ikut tawuran. Orang tua Milly yang kebetulan sedang ada di rumah setelah selama ini menetap di luar negeri untuk mengurus bisnis keluarga tentunya tidak akan tahu kelakuan putri semata wayangnya itu jika Milly tidak ada di rumah.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Aku menghampiri Bunda yang dari sumber suaranya sepertinya sedang berada di dapur.
"Udah bantuin temen kamunya?"
"Udah kok."
"Yaudah mandi dulu sana. Habis itu anterin kue buatan bunda ke rumah Gara bentar ya."
Aku mengangguk sebagai jawaban dan bergegas menuju lantai atas untuk segera membersihkan diri.
Sebenarnya tak banyak yang tahu jika Sagara Denalfian itu merupakan temanku sejak kecil. Yah, meskipun saat sedang di sekolah yang kami lakukan hanya bertegur sapa seperlunya jika berpapasan, tapi itu tidak terlalu mempengaruhi sikap kami berdua saat sedang berada di rumah. Ditambah lagi dia merupakan sahabat dekat Lingga, jadi tidak heran kan kenapa intensitas mengobrol kami tidak seperti dulu.
Aku memarkirkan sepedaku di pekarangan rumah Sagara setelah sampai di sana. Melihat Tante Lena yang terlihat akan pergi, aku buru-buru menghampirinya.
"Tante, ada kue dari Bunda."
"Wah, makasih loh. Tolong taruh dalem aja, Shen. Tante buru-buru nih soalnya."
"Ok siap tante."
Aku langsung menuju dapur karena sudah cukup hafal dengan bagian rumah Sagara. Ingat? Kami ini tetangga dan teman dari kecil.
"Kue dari Tante Andini, Shen?"
Aku menoleh dan mendapati Sagara yang sedang mengambil camilan di kulkas. Tapi bukan itu yang membuatku agak kaget. Melainkan orang yang berada di belakangnya dan hanya menatapku datar dengan posisi tangannya yang bersedekap.
"Heeh. Yaudah gue pulang dulu."
Setelah sampai di luar aku melihat Lingga yang sejak tadi diam di belakang Sagara malah mengikuti sampai luar.
"Shena! Tunggu dulu."
"Kenapa, Ngga?" Jawabku bertanya.
"Makasih. Gue tau lo tadi mau nolongin gue dari papa kan?"
Aku tidak mencoba mengelak dan memilih mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Toh, buat apa juga kan pura-pura?
"Menurut gue masalah itu ada buat dihadepin, Ngga. Bukan cuma buat dihindarin."
*****
Tbc
Jangan terlalu cepat menyimpulkan tentang suatu hal yang kebenarannya masih belum pasti.
@malebillu
KAMU SEDANG MEMBACA
Alingga
Fiksi RemajaTentang rasa yang masih saling terikat, tetapi terhalang ego yang selalu berhasil menorehkan jarak.