Kamu yang kukira tidak akan pernah peduli, nyatanya dengan sukarela menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan tanpa perlu kumintai.
*****
Duniaku seakan runtuh saat ini. Bahkan rasanya kakiku sudah tidak sanggup menopang berat tubuhku. Aku hanya bisa terisak di samping bunda yang kondisinya pun tidak jauh berbeda dariku, bahkan bunda sempat tidak sadarkan diri begitu mendengar kabar memilukan beberapa jam yang lalu. Ayahku, orang yang akan selalu menjadi cinta pertamaku, mengalami kecelakaan saat hendak pulang setelah kembali dari tugas di luar kota. Aku tidak menyangka jika semalam adalah percakapan terakhirku dengannya. Kami berdua bahkan sudah berencana pergi ke puncak di liburan yang akan datang.
Di tengah suara tahlil yang dikumandangkan, aku melihat teman-temanku datang untuk ikut berbela sungkawa. Tangisku semakin menjadi begitu Vanya, Reta dan Milly memeluk sembari mengusap bahuku untuk menguatkanku. Mereka pasti juga merasa kehilangan mengingat mereka juga dekat dengan ayahku.
.
.
Aku masih terduduk sendirian di depan pusara ayahku yang baru selesai dimakamkan. Aku hanya sendirian karena seluruh keluargaku telah lebih dulu pulang dan bundaku yang tidak bisa ikut ke pemakaman karena tadi jatuh pingsan lagi.
Aku mendongak begitu merasakan tetesan air hujan tidak lagi membasahi tubuhku dan melihat seseorang dengan salah satu tangan yang dimasukkan ke saku menatap kearahku dengan tatapan lelah.
"Pulang, Shen. Lo bisa sakit."
Aku hanya menggeleng dan kembali memeluk nisan ayahku. "Shena! Bisa nggak sih nggak ngeyel."
"Lo nggak ngerti yang gue rasain!" Aku berteriak marah pada Lingga dan mendorongnya agar menjauh dariku.
Setelah beberapa saat terdiam di belakangku kupikir Lingga mulai luluh dan berubah pikiran terbukti dengan dia yang ikut berjongkok di sampingku.
Lingga menghela napasnya pelan dan perlahan menuntun kepalaku untuk bersandar padanya.
"Nangis aja sepuasnya kalo itu bakalan bisa buat lo lega, Shen."
Mendengarnya berkata seperti itu tanpa sadar aku mengalungkan kedua tanganku dan menyembunyikan kepalaku di ceruk lehernya. Aku tidak peduli jika setelah ini Lingga akan marah dan meninggalkanku sendirian. Tapi pelukan ini terasa nyaman bagiku.
"Secara nggak langsung kita punya nasib sama, Shen. Bahkan walaupun papa masih hidup tapi tetap aja rasanya kaya nggak ada." Ucapnya disertai sapuan halus dipunggungku.
**Alingga**
Aku memilih menyendiri di balkon setelah acara pengajian di rumahku usai. Sampai detik ini aku belum berbicara pada siapapun termasuk ketiga sahabatku. Rasanya aku benar-benar kehilangan salah satu pilar hidupku."Kata tante lo belum makan dari kemarin?"
Aku hanya menggeleng dan kembali menatap langit. "Dengan sikap lo yang kaya gini malah bikin ayah lo sedih di sana."
"Lo lihat bintang yang paling terang itu?" Lingga berkata seraya menunjuk bintang yang ia maksud.
"Anggap aja itu bokap lo. Di saat lo sedih sinar bintang itu pasti bakal meredup. Jadi, cara supaya bintangnya tetap bersinar lo harus selalu senyum." Ucapnya sambil meletakkan ibu jari dan telunjuk di kedua sudut bibirku dan menariknya agar aku terlihat tersenyum.
"Sekarang coba ngomong sama bintangnya. Pasti bakal dijawab."
Meski agak heran aku tetap menuruti perkataan Lingga
"Ayah di sana baik kan?"
"Iya baik." Aku spontan menoleh begiti mendengar Lingga menjawab dengan suara yang di kecilkan mirip seperti perempuan.
"Ayah kenapa perginya cepet banget. Shena masih pengen cerita banyak sama ayah."
"Iya ayah tahu. Termasuk cerita tentang cowok yang kata kamu brengsek juga kan." Aku kembali menolehkan kepalaku karena terkejut Lingga mengetahui isi hatiku.
"Ayah baik-baik di sana. Biar di sini Shena yang jagain bunda sama adek." Aku menundukkan kepalaku dan kembali terisak setelah mengatakan itu. Kurasakan perlahan tangan Lingga mengangkat wajahku dan menghapus air mataku dengan ibu jarinya.
"Jangan sedih lagi yah. Karena di sini kamu selalu di kelilingi sama orang yang tulus sayang sama kamu. Jangan lupa kalo mereka semua bakal selalu ngulurin tangan buat kamu. Jadi buang rasa sedih kamu dan balik lagi jadi Shena yang selama ini dikenal orang."
Aku tersenyum mendengar ucapannya barusan. "Makasih ya udah hibur gue."
"Makasih doang nih?"
"Terus?" Tanyaku keheranan dan menjauhkan tangannya dari wajahku.
"Nggak mau peluk kaya kemarin pas lagi di pemakaman?"
"Aishh!! Jangan diinget lagi gue malu."
*****
Tbc
Pengen digituin juga huhuhu
KAMU SEDANG MEMBACA
Alingga
Teen FictionTentang rasa yang masih saling terikat, tetapi terhalang ego yang selalu berhasil menorehkan jarak.