Jika kamu bertanya apa alasanku jatuh cinta, maka percayalah bahwa aku juga tidak tau. Karena bagiku, diammu saja sudah menjadi alasan canduku
*****
Ah, salah satu hal yang paling kutunggu di sela-sela tugas sekolah yang menumpuk adalah kegiatan camping yang setiap tahunnya diadakan oleh sekolahku. Acara ini diikuti oleh seluruh angkatan siswa sehingga tentu saja suasananya menjadi sangat meriah dan menyenangkan.
Aku terus bergerak mencari posisi yang nyaman untuk tertidur, tapi sayangnya itu tidak berhasil dan yang kudapat malah umpatan dari teman-temanku yang cukup terganggu karena pergerakanku.
"Anjing. Jangan gerak mulu nyet."
"Diem bentar, Shen. Gue encok asal lo tau."
"Kebelet boker ya lo? Sono kelarin dulu."
"Emang temen laknat lo pada."
Aku memilih keluar setelah mengenakan jaketku yang tadi kujadikan bantal. Sesampainya di luar memang udaranya cukup dingin, tapi maklum karena di daerah puncak memang hawa seperti ini sudah biasa.
Aku memilih duduk di dekat bekas api unggun yang sudah padam. Sebenarnya kondisi di sekitarku masih cukup ramai. Dari arah tenda cowok masih banyak dari mereka yang duduk di depan tenda sembari bermain gitar ataupun hanya sekedar bercanda dengan temannya. Untuk para gadis pun masih kudengar suara tawa mereka yang berasal dari dalam tenda.
"Cewek kalo sendirian malem-malem gampang digangguin setan loh."
"Cowok kalo kebanyakan ngasih harapan ke cewek matinya juga nggak bakal sesuai harapan loh."
"Orang mereka yang maksa jadi pacar saya kok," bela Lingga tidak terima.
Jujur saja, aku tidak akan cemburu atau merasa tersaingi jika sainganku modelannya seperti korban php cowok di sampingku ini.
Oh ya, sejak Lingga bertanya apa perasaanku masih untuknya atau tidak kalian jangan berpikir sifatnya akan berubah menjadi manis padaku. Karena yang dilakukannya malah menggandeng cewek sana-sini di depanku atau yang lebih parah kadang dia pura-pura tidak melihatku saat aku lewat di depannya. Tapi mau bagaimana lagi karena pada dasarnya aku sudah terlalu jatuh untuknya. Sekarang aku percaya jika cinta itu terlalu buta.
"Dingin yah?"
"Udah tau nanya." ucapku ketus
"Sini deketan."
Aku hanya melirik sekilas ke arah Lingga dan kembali menggosok-gosokkan kedua tanganku yang rasanya sudah hampir membeku.
"Susah banget sih dibilangin."
Lingga kemudian menggeser duduknya mendekat kearahku dan kemudian melingkarkan salah satu tangannya di bahuku sedangkan tangan yang lainnya menggenggam kedua tanganku seolah berusaha menyalurkan kehangatan.
"Nah, kalo gini kan kita sama-sama untung." Ucapnya sembari mengeratkan rangkulannya.
"Bisa banget ya modusnya."
"Sekali-sekali. Biar lo nggak keseringan yang ngejar-ngejar gue."
"Anj-"
"Ngomong kasar gue cium." ancamnya sembari membekap mulutku.
"Biasanya juga nggak papa," sarkasku
"Bisa bedain biasanya sama sekarang nggak?"
"Lingga," aku sedikit berdehem dan menyandarkan kepalaku ke dadanya, "gue percaya sama lo. Jadi jangan bikin gue balik arah dan nggak peduli lagi dengan cara yang bikin gue jijik."
"Dan gue bukan cowok brengsek yang nggak bertanggung jawab, Shen. Jadi jangan berhenti percaya sama gue."
**Alingga**
Setelah acara penutupan selesai dilaksanakan aku memilih untuk mendudukkan diri di pinggir danau yang letaknya tidak jauh dari lokasi camping sekaligus mencoba mencari sinyal agar bisa menghubungi bunda.
Aku membulatkan mataku begitu melihat Lingga terlihat menarik paksa Anggi untuk mengikutinya. Karena aku tegolong orang yang suka kepo tentu saja aku mengikuti kemana mereka pergi.
"Gue bisa tanggung jawab, Nggi!"
"Jangan, Ngga. Ini bukan salah lo."
Aku melihat Lingga berbicara dengan nada tinggi kepada Anggi sedangkan si empunya hanya terus menunduk dan mencoba menenangkan Lingga.
"Siapa orangnya?"
"L–lo nggak perlu tahu."
"Gue tanya siapa?!" Lingga berkata lagi dan kini sembari meninju pohon yang berada di belakang Anggi. Aku mengusap tengkukku sendiri karena merasakan badanku ikutan merinding mendengar teriakan Lingga tadi.
"Lo sayang gue, Ngga?" Anggi tiba-tiba bertanya pada Lingga.
"Gue peduli." Jawab Lingga sembari mengusap wajah Anggi yang sudah basah oleh air mata. Dan tentu saja itu sedikit menyentil perasaanku.
"Sayang?" Tanya Anggi lagi
"Kenapa harus nanya hal yang udah pasti sih, Nggi?"
Aku sontak saja mengalihkan pandanganku dan merasakan pipiku mulai basah begitu melihat Lingga merengkuh Anggi ke dalam pelukannya.
"Gue tujuan atau pilihan sih, Ngga?"
Begitu melihat Lingga dan Anggi yang sudah ingin beranjak pergi aku memilih segera menyingkir agar tidak ketahuan oleh mereka. Begitu sampai di tenda aku melihat ketiga sahabatku heboh memanggil namaku lalu mereka memelukku erat hingga membuatku kesusahan bernapas.
"Bikin khawatir aja sih. Gue kira lo ilang." Vanya berkata padaku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf, tadi gue pengen jalan-jalan."
"Shen, ada suat buat lo," tiba-tiba Ivan yang notabenya teman sekelasku memberikanku sebuah kertas yang entah dari siapa.
"Nggak kenal juga. Bukan murid sekolah kita. Gue duluan ya."
"Eh, oke. Thanks ya."
Setelah Ivan pergi aku membuka kertas terlipat yang sempat diberikannya barusan.
Udah seorang pemake nggak bertanggung jawab lagi. Yakin masih mau lo pertahanin?
*****
Tbc
Maapken ya updatenya telat terus😣
Nggak bisa nulis soalnya udah mulai pembelajaran daring lagi. Apalagi sekarang udah kelas akhir jadi belajarnya harus ekstra. Mohon dimaklumi ya semuaa😣😣With love,
malebillu

KAMU SEDANG MEMBACA
Alingga
أدب المراهقينTentang rasa yang masih saling terikat, tetapi terhalang ego yang selalu berhasil menorehkan jarak.