Lima

23 5 0
                                    

Namun baru beberapa langkah ia berjalan perhatiannya tertuju kepada sosok yang tengah sibuk memotret kea rah bangunan Jam Gadang dari bawah sebatang pohon di pinggiran tempat itu.

  Ia berjalan ke arah gadis yang mengenakkan jaket berwarna abu-abu dengan hijab hutamnya. Tak salah lagi itu adalah Arina.

“Arina,” Sapa Nathan setelah sampai di tempat gadis itu.

“Hai Nath, aku kira kamu akan datang agak siangan.” Ujar Arina.

“Sengaja pagi-pagi sekalian pengen menikmati suasana pagi di Bukittingi juga.” Sahut Nathan.

“Ooo begitu, kamu sendiri?” Tanya Arina lagi menyadari Nathan datang sediri.

“Iya soalnya Rian ada janji juga jadi gak bisa nemenin.” Jawab Nathan lagi, dib alas anggukan dari Arina.

“Kamu udah dari tadi di sini?” Tanya Nathan pula.

“Aku udah dari subuh, tadi sholat subuh di Masjid Raya dan langsung kesini. Beginilah rutinitasku, hampir setiap hari aku sudah ada di luar sejak subuh.” Jawab Arina menjelaskan kepada Nathan.

“Sepagi itu, apa kamu tidak takut keadaan kan masih sepi dan maaf kamu kan cewek.” Ujar Nathan lagi.

“Tidak, lagipula kamu kan tau bagaimana pandangan orang-orang di sini terhadapku. Mereka tak ada satupun yang mau mendekatiku karena bagi mereka aku bagaikan balok es yang tengah jalan-jalan. Lagi pula aku bilang hampir setiap harikan buakn tiap hari juga.” Sahut Arina.

“Iya juga sih, jadi memang tak ada dari mereka yang menyadari bagaiman kamu yang sebenarnya?” lanjut Nathan, sambil berjalan di sebelah Arina.

“Begitulah mereka lebih suka mengenal ku dari rumor itu.” Sahut Arina sambil melayangkan bidikan kameranya kea rah Nathan.

“Sudahlah jangan memotretku seperti itu lagi, tampangku pasti terlihat konyol.” Ucap Nathan menyadari Arina memotretnya secara kilat lagi.

“bukan konyol tapi natural.” Balas Arina sambil tertawa kecil.

Walau hari masih tergolong pagi mereka mulai mengawali petualangan mereka hari ini, dengan obrolan-obrolan ringan dan penuh canda tawa satu persatu tempat-tempat yang menjadi objek kunjungan di Kota Bukittinggi mereka datangi.

Ketika mereka akan masuk di kawasan Taman Panorama Lobang Jepang, Nathan bisa menangkap ada perubahan dari ekspresi Arina, gadis itu yang dari tadi terlihat luwes dan santai kini sorot matanya memancarkan sebuah keseriusan dan pandangan yang dalam menatap setiap penjuru taman itu, bukan sebuah kesenduan tapi seperti meresapi di dalam jiwa.

  Langkahnya terhenti ketika telah memasuki pintu masuk tempat itu sejenak ia memejamkan matanya manrik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan sambil membuaka matanya. Kemudian ia tersenyum tipis namun memancarkan kebahagiaan.

Nathan hanya menatapnya dengan senyuman ada keinginan di hatinya untuk mengetahui apa yang membuat gadis itu seolah sangat meresapi tempat itu. Tapi di urungkannya tak ingin rasanya ia menggangu aktifitas Arina menikmati tempat itu. Seketika ia segera memalingkan pandangannya ketika Arina menoleh kearahnya agar tidak ketahuan kalau dari tadi ia memperhatikan gadis tersebut.

Kali ini Arina tidak terlalu sibuk lagi dengan kameranya, ia tidak lagi berjalan sambil mengotak-atik benda itu. Hanya di gunakannya sesekali itupun untuk mengambil gambar-gambar tertentu saja dan foto Nathan tentunya.

“Kamu tahu di bawah sana dan di balik bukit itu terdapat banyak tempat wisata lagi yang tak kalah indah dan cantik.” Ujar Arina kepada Nathan menunjuk ke bagian bawah Ngarai Sianok dan bukit-bukit kecil yang terdapat di bagian dalam lembah tersebut saat mereka berada di atas menara tinjau di sana.

ArinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang