Sebelas

10 2 0
                                    

Sebenarnya tidak banyak yang harus di kerjakan Arina untuk cabang cafeenya yang di Jakarta, hanya tinggal pengoperasiannya saja, karena segalanya sudah di urus oleh Bastian.

Arina terpaku saat turun dari taxi yang ia tumpangi, pandangannya menyapu sekeliling tempat ia berdiri lalu menatap langit dan gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Ada pancaran pilu yang terlihat di sorot matanya, namun juga di timpali dengan semangat dan tekat yang kuat dari dalam dirinya.

“Akhirnya aku berada di sini lagi, menginjak tanah Jakarta dan menghirup udara Jakarta yang pernah memberiku kebencian.” Gumam Arina pada dirinya sendiri.

“Tapi lihatlah aku yang sekarang. Aku bukan lagi gadis yang dulu kalian benci aku bukan lagi seorang gadis petarung seperti dulu, tapi aku sekarang adalah gadis pejuang. Ucapnya dalam hati.

Berbeda dengan di Bukitinggi sekarang Arina berjalan dengan pasti dan tak lagi menunduk dengan kameranya, dengan tegas namun tetap terlihat anggun ia memasuki sebuah bangunan dengan desain minimalis dan nuansa warna putih itu. Yang tak lain adalah cabang Clarin Cafee & Resto tempat itu masih dalam tahap finishing terlihat beberapa orang di dalam sana tengah melakukan dekor ruangan tersebut.

Melihat Arina memasuki ruangan tersebut, salah seorang dari mereka mendekati dan menyambut kedatangan Arina.

“Selamat datang mba Arina, mari kita duduk dulu tentunya mba Arina lelah setelah perjalanan jauh.” Ucap orang tersebut, seorang dengan pakaian rapi namun tetap terlihat santai berperawakan tinggi putih dan mancung seperti bule. Yaa memang tak salah, dia adalah desainer sekaligus dekorator interior untuk cafe Arina, orang yang di rekomdesikan Bastian untuk urusan ini.

“Oke Thanks Mr. Jimi.” Balas Arina mengikuti pria tersebut yang di ketahui bernama Jimi. Merupakan pria campuran Indonesia Jerman. Jadi tak aneh jika dia terlihat seperti bule.

“Mr? Itu terasa terlalu formal untuk kita, Jimi panggil saja Jimi agar lebih santai juga. Lagi pula aku lihat usia kita tak jauh berbeda kita seumuran.” Sahut Jimi seraya duduk di kursi di depan Arina.

“Oke Jimi, saya Arina.” Balas Arina pula.

“Yeah Arina, bagaimana dengan ruangan ini anda menyukainya?” tanya Jimi kepada Arina tentang ruangan itu. Arina yang tengah mengamatinya manggut-manggut.

“Yahhh saya suka ini terlihat sederhana tapi tetap elegan persisi seperti yang saya mau. Tapi apakah anda bisa mengubahnya sedikit saja?” Sahut Arina.

“Tentu apa itu?” Tanya Jimi lagi.
“Sebelumnya maaf mungkin akan membuat pekerjaan baru untuk anda, tapi saya ingin nuansanya jadi hitam putih.” Jelas Arina sambil masih mengamati ruangan tersebut.

“Tentu saja bisa, itu gampang ruangan ini kan masih membutuhkan dekorasi-dekorasi lainnya lagi nanti tinggal saya padukan dengan warna hitam, itu tidak akan lama.” Sahut Jimi menyanggupi permintaan Arina.

Setelah perbincangannya bersama Jimi Arina segera menuju penginapan terdekat dari cafenya.

“Sepertinya tidak terlalu jauh lebih baik aku jalan kaki saja sambil sedikit bernostalgia dengan tempat ini.” Gumam Arina sambil memperhatikan maps di hpnya. Namun ketika ia hendak berjalan ia baru ingat sesuatu, bagaimana ia akan berjalan dengan kopernya yang lumayan besar dan berat.

“Ah sial aku lupa kalau aku harus membawa benda ini.” Ucap Arina sambil melirik kesal koper yang ada di sebelahnya. Arina melihat ke arah jalanan yang ramai namun tak ada taxi dan sejenisnya yang di lihatnya.

Sehingga ia akhirnya kembali mengeluarkan hpnya, dan mememesan grab car. Tak lama ia menunggu akhirnya sebuah mobil berhenti dei depannya. Segera saja Arina menuju hotel yang di tujunya untuk menginap.

ArinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang