Bab 2

54.9K 5.3K 56
                                    

Sorry, ternyata yang ini belum diupdate ya, wkwkwkkk.

*
*
*

Risang adalah anak semata wayangku. Kami hidup hanya berdua setelah ibuku meninggal setahun yang lalu. Saat ibu masih ada, aku tidak begitu keteteran untuk bekerja. Risang biasa diasuh oleh ibu sementara aku bekerja. Tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk membayar jasa asuh Risang, karena yang mengasuh adalah neneknya sendiri.

Bukan berarti sekarang aku keberatan karena harus membayar Mbak Sari setiap bulannya, tapi ... jelas saja mengeluarkan uang untuk Mbak Sari menjadikanku harus lebih giat lagi mengumpulkan uang. Belum lagi kalau Risang rewel menginginkan jajan atau mainan yang bisa merogoh kocekku lebih dalam lagi. Ingin menangis saja rasanya.

Memang untuk ukuran anak seusianya, Risang tergolong anak yang cerdas. Bisa mengerti kondisi kami yang seperti ini. Tapi kadang juga, sisi anak-anaknya tetap unggul menguasainya. Di saat anak-anak yang lain bisa dengan leluasa meminta dibelikan ini dan itu pada kedua orang tuanya, Risang hanya memperhatikan sambil berulangkali melirik padaku. Aku tahu dia juga ingin seperti anak-anak itu, tapi dia lebih tahu kalau ibunya ini belum mampu.

Ketika ibu meninggal, tidak ada yang tersisa dari diriku. Kalau saja Risang tidak memelukku sambil menangis saat aku tersadar dari pingsan, mungkin aku akan memilih mengakhiri hidupku untuk menyusul ibu saja.

Lagi-lagi, Risang menjadi alasanku untuk tetap hidup. Ia yang sejak masih berupa gumpalan darah di dalam rahimku selalu kuperjuangkan, tidak akan kubiarkan hidup dalam ketidakmampuan. Untuk itulah, aku banting tulang bekerja seolah tanpa lelah. Sampai lupa kalau Risang juga menginginkan memiliki waktu berdua denganku. Sekadar mendengarkan ceritanya bersama teman-temannya di sekolah, atau saat ia menceritakan kembali kartun di televisi yang baru ia tonton.

Aku yang kadung lelah setelah seharian bekerja inginnya langsung tidur saat sampai di rumah. Selalu meminta Risang untuk tidur lebih cepat setiap malamnya.

"Bunda," panggilnya di atas kasurnya dengan selimut yang menutupi sampai ke dadanya.

"Kenapa, Sayang?"

Kuhampiri ia lagi, membatalkan niat untuk mematikan lampu kamarnya dan bergegas ke kamarku sendiri.

"Risang boleh bobo dipeluk Bunda, nggak?" tanyanya takut-takut. Aku bahkan bisa mendengar suaranya yang bergetar.

"Kenapa mau bobo dipeluk Bunda?"

Aku duduk di tepi ranjangnya. Melihat mata berkaca-kaca sebening kristal yang Risang miliki. Bibirnya sudah bergetar dan aku langsung merengkuhnya dalam pelukanku.

Risang adalah anak yang kuat. Atau mungkin, berusaha kuat untuk aku yang lemah ini. Ia selalu berusaha meredam rasa sedihnya sendiri. Tidak membiarkan aku melihat air mata di kedua pipinya.

Ketika dia sudah tidak mampu menahan semua itu, barulah ia menunjukkannya padaku.

"Kenapa? Risang lagi sedih?" Kuusap kepalanya, membawanya ke pangkuanku dengan kedua kaki yang melingkari perutku. Lengannya memeluk leherku erat, sampai aku bisa merasakan air matanya mengalir di bahuku.

"Kangen Nenek," ujarnya tergugu.

"Risang udah berdoa buat Nenek hari ini?"

Ia menegakkan kepalanya. Mengusap mata dan pipinya dengan tangan kecilnya. Kepalanya mengangguk yakin. "Udah, Bunda. Bunda kan bilang, kalau aku harus selalu doain Nenek, biar Nenek senang di surga. Tapi Risang kangen, Bundaaaa."

Risang menangis semakin keras. Aku yakin kalau bukan hanya tentang ia merindukan ibu yang sudah lama tidak ditemuinya. Aku sudah menjelaskan padanya mengapa neneknya tidak lagi bisa bersama kami. Diberi pakaian putih dan dikubur di bawah tanah. Aku masih bisa mengingat jelas apa yang ia ucapkan setelah pulang dari pemakaman ibu, yang tidak kuhadiri karena aku tidak sadarkan diri.

"Bunda, kata Nenek, Bunda nggak boleh nangis. Kita nggak boleh nangis. Nenek udah bahagia di surga sama Allah, Bunda."

Anak ini, adalah satu-satunya alasanku bertahan di antara ketidakmampuanku hidup dengan berbagai gunjingan orang-orang. Mereka yang tidak pernah mau mengerti tentang kondisiku, lalu mulai membicarakan Risang dan mengatakan yang tidak-tidak tentang dosa dan neraka yang akan aku dapatkan kelak. Seolah merekalah penentu dimana aku akan tinggal setelah kiamat.

"Risang mau berdoa bareng Bunda?" tawarku membuat tangisnya mereda. Ia menatapku seolah mencari tahu, apakah aku bercanda atau tidak.

"Bunda berdoa?" tanyanya takjub. Aku menganggukkan kepala, membuatnya mengukir senyum lebar. "Ayo, Bunda! Kita berdoa buat Nenek!"

Dengan terburu-buru, ia turun dari pangkuanku. Duduk di sampingku lalu menadahkan kedua tangannya ke atas.

"Risang yang pimpin doanya ya, Bunda?"

Aku mengangguk lagi, membiarkan ia melakukan apa yang ia mau.

"Bunda aamiinkan ya, Bunda. Biar doanya cepet dikabulin sama Allah."

"Iya. Sekarang, Risang berdoa. Biar kita cepetan tidur sambil pelukan."

Risang memimpin doa kami berdua. Ia begitu antusias ketika diminta untuk melakukan hal-hal seperti ini.

"Ya Allah, Risang sama Bunda kangen Nenek. Tolong bilang sama Nenek biar sabar nungguin kita, Ya Allah. Karena kata Mbak Sari, surga itu jauh dan butuh banyak pahala biar bisa kumpul bareng Nenek di surga."

Doanya terhenti, Risang menatapku ingin tahu. "Bunda, pahala itu apa, sih?"

Aku terkekeh ringan, membelai kepalanya dan mengecupnya lembut. "Pahala itu amal kebaikan, Nak."

"Berdoa kayak gini baik kan, Bun?" Aku mengangguk. "Berarti, aku punya pahala, dong?"

Aku tertawa lagi, mengendikkan bahu agar ia kembali melanjutkan doa kami.

"Oh, ya, Bunda. Aku boleh doa buat Papa juga, kan, Bun? Aku kangen Papa juga, Bunda."

***

Dalam dua puluh enam tahun hidupku, baru kali ini aku mengharapkan ada orang yang akan membantuku untuk bisa tetap tegak berdiri. Risang memang semangat hidupku, tapi ada hal-hal yang tidak bisa lakukan untuk membuat kakiku tetap tegar melangkah.

Pernyataannya yang mengatakan kalau ia merindukan papanya sungguh sangat menampar hatiku. Sakit rasanya, saat anakku sendiri mengatakan hal itu tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. Papa yang selalu ia sebut di balik punggungku, kini dengan berani ia ucapkan di depan wajahku. Seperti tengah memarahiku, mengapa ia tak kunjung bertemu dengan papanya yang kataku sedang bekerja jauh itu.

Suatu waktu, Risang bertanya padaku, "Bunda, Papa di tempat kerjanya nggak punya hape ya, Bun? Kok, Papa nggak pernah telepon kita sih, Bun?"

Papa, papa, dan papa. Dia begitu ingin tahu seperti apa sosok lelaki yang selalu ia sebut papa itu. Tak ada potret yang bisa kutunjukkan padanya, membuat Risang selalu bertanya lagi dan lagi padaku.

"Bunda, kan aku nggak mirip sama Bunda, berarti aku mirip Papa dong, ya? Mata aku kan sipit, Bun. Mata Bunda gede, bulat kayak matanya Nenek. Kayak dedek Silvia, Bun. Dia mirip mamanya tapi, Bunda."

Risangku sayang, Risangku malang. Anak itu tidak pernah kehabisan bahan pertanyaan. Ketika satu pertanyaannya tak kunjung kujawab, bibirnya hanya akan mengerucut kesal, tapi tak berani bertanya lebih. Karena ia tahu, aku tidak akan pernah menjawabnya.

*
*
*
*

[.]

Typo?

Update tipis-tipis~ yang penting sering. Ya khaaannn....

Ditulis pada Minggu, 26 Januari 2020
Dipublikasikan pada Rabu, 4 Maret 2020.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang