Orang-orang di sini memanggilku Lita, sebelum aku lebih dikenal sebagai Bunda Risang pada akhirnya. Dengan nama yang sama sejak lahir, yaitu Jelita Senja, aku bertransformasi menjadi seorang ibu muda.
Menjadi ibu di saat usiaku masih sembilan belas tahun sama sekali bukan cita-citaku. Bahkan menjadi ibu muda tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku pernah menulis dalam buku diaryku sewaktu kecil, kalau aku akan menjadi dokter, lalu berubah menjadi guru, kemudian menjadi pengusaha, dan masih ada beberapa cita-cita lain yang masih kuingat sampai sekarang. Tapi saat sudah SMA, yang ada di pikiranku adalah aku harus cepat lulus sekolah agar bisa terus bekerja. Mencari uang agar aku bisa keluar dari rumah.
Menjadi anak broken home juga sama sekali bukan impianku. Ayah dan ibuku bercerai saat aku kelas satu SMP, lalu ibu menikah lagi dengan seorang duda beranak dua ketika aku masuk kelas satu SMA. Tidak ada yang spesial, karena luka batinku saat tahu kalau orang tuaku bercerai masih terasa menyakitkan. Belum lagi, aku memiliki dua saudari tiri yang begitu terang-terangan tidak menyukaiku ataupun ibuku. Tapi demi kebahagiaan ibu, aku rela untuk menahan rasa sakit di dalam dada saat mereka mulai mengatakan kalau aku adalah pembawa sial dan juga beban bagi ayah mereka.
Aku tidak terlalu berharap untuk bisa menjadi bagian dari keluarga mereka yang utuh. Tahu bagaimana perkembangan kehidupan rumah tangga ibu dan ayah baruku pun tidak. Aku terkesan tidak peduli. Aku hanya mengikuti kemana ibu membawaku pergi, sekalipun aku tidak menyukainya.
Di rumah ayah baru, ibuku mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Meskipun sebelumnya ada pembantu, tapi semenjak ada ibu, pembantu itu tak lagi bekerja. Dari yang kudengar, istri sebelumnya memang tidak mempekerjakan orang di rumah itu. Jadi ibu dengan baik hatinya membiarkan dirinya kelelahan mengurus rumah itu seorang diri. Kalau aku sedang libur sekolah, barulah aku membantu ibu untuk sekadar bersih-bersih.
Tahu apa yang paling menyakitkan dari semua itu? Adalah ketika dua saudariku menganggap kami pembantu baru. Mereka bahkan mengatai ibuku seperti budak. Budak untuk dijadikan pembantu di rumah mereka, dan juga budak nafsu ayah mereka.
Berkali-kali aku mengajak ibu untuk pergi dari sana, tapi ibu menolak. Ibu bilang, ayah baruku adalah orang yang baik. Lelaki itu tidak tahu menahu tentang kelakuan dua anak kandungnya yang sudah menghina kami, dan ibu sama sekali tidak pernah mengatakan hal itu pada suaminya.
"Eh, Bunda Risang!"
Suara itu mengaburkan lamunanku. Mbak Dewi, ibu dari salah satu murid TK yang sama dengan Risang menghampiri dengan tergesa. Di tangannya juga ada lembaran fotokopian berkas-berkas untuk pembuatan ijazah TK yang sebenarnya hanya formalitas belaka.
"Mau ngasih punya Risang juga ya, Mbak?" tanyanya sambil melirik berkas yang kudekap di dada.
"Iya, Mbak. Biar nggak kelupaan kalau besok-besok."
Kami berjalan bersisian untuk sampai ke TK yang masih berjarak kurang lebih seratus meter dari tempat kami sekarang. Sebenarnya, aku tidak cukup ahli untuk mengakrabkan diri dengan orang-orang seperti Mbak Dewi ini. Tapi berhubung aku tahu kalau Mbak Dewi tidak semenyebalkan ibu-ibu yang lainnya, aku cukup bisa menekan rasa ketidaknyamanan itu di dalam dada.
"Padahal yang ngasih Mbak Sari aja juga boleh kan, Mbak?" tanyanya lagi.
"Mumpung lagi libur, Mbak, jadi sekalian aja. Lagian, kalau ngasih sendiri kan nanti bisa langsung jawab kalau ditanya-tanya sama gurunya."
"Oh, iya sih, Mbak. Besok Risang mau daftar sekolah dimana, Mbak?"
"SD deket rumah ajalah, Mbak. Biar nggak kejauhan. Khawatir juga kalau yang jauh-jauh, apalagi dia belum pinter naik sepedanya," tuturku sambil menyeberangi jalan yang cukup lengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
RomanceCOMPLETED! Deskripsi cerita langsung ada di halaman pertama. Mulai dipublikasi pada 21 Januari 2020