Bab 12

45.8K 4.9K 61
                                    

Ini, ya, yang kangen sama Risang. Awas aja ntar nambah bab ganti kangen Papa Ardan. Kupecat dari jabatan tante online-nya Risang! Wkwkwk.

***


Selepas Maghrib, saat aku baru saja menghidangkan makan malam yang kami beli di perjalanan, pintu diketuk yang otomatis menghentikan aktifitas kami. Ardan menatapku, lalu beranjak ke pintu sebelum sempat aku melarangnya.

Ada Tante Emi dan Papa Ardan yang datang, dan juga Pak RT yang berdiri persis di depan pintu sebagai orang yang mengetuk tadi. Aku menahan napas, lalu Risang berteriak antusias saat melihat sosok yang dipanggilnya Mbah semalam.

"Bunda! Mbah yang semalam datang lagi, Bun!"

Aku hanya bisa mengulas senyum tipis. Mempersilakan mereka masuk. Ardan duduk di kursi plastik sambil memangku Risang, dan aku pun melakukan hal yang sama. Membiarkan tiga orang dewasa lainnya duduk di sofa berdempet-dempetan. Bisa kulihat tatapan bahagia di mata Tante Emi dan juga tatapan sendu di mata Om Budi, papa Ardan yang duduk di bagian tengah.

"Risang, duduk di lantai sama Bunda, yuk," ajakku pada Risang karena tak tega melihat tamuku duduk berdempetan.

"Nggak mau! Maunya sama Papa," tolaknya sambil memeluk Ardan erat.

Aku menghela napas, lalu membiarkan keduanya duduk di lantai sambil bersandar pada dinding. Ardan nampak tenang dan membiarkan Risang memainkan ponselnya di pangkuannya. Sedangkan aku sudah ketar-ketir sendiri.

"Risang nggak mau salaman sama Mbah?" tanya Tante Emi kemudian. Aku baru sadar kalau aku belum meminta Risang untuk menyalami tamu kami sejak tadi.

"Oh, iya! Astagfirullah! Maaf, Tante. Aku sampai lupa," ujarku tak enak. "Nak, kasih salam dulu sama Mbah," kataku pada Risang.

Anak itu menghampiri dan mencium tangan nenek dan kakeknya dengan patuh, lalu kembali duduk di pangkuan ayahnya yang langsung mencium kepalanya dari belakang. Lalu aku ke dapur, mengambil air minum dan kue kering yang juga baru kami beli tadi. Aku lupa kalau ada piring-piring dan juga nasi dan lauk pauk di atas meja ruang tamu, sampai Ardan membawanya ke bagian dapur. Tentu saja semuanya terlihat dari ruang tamu karena rumah ini tidak memiliki sekat untuk ruang tamu dan dapurnya.

"Mbak Lita, maaf kalau Bapak kelihatan mau ikut campur. Cuma, sebagai RT di sini, Bapak juga mau warga Bapak dikenal sebagai warga yang baik tanpa ada berita miring di kalangan tetangga. Mbak Lita ngerti apa yang Bapak maksud, kan?" Pak RT bertanya hati-hati, aku langsung mengangguk karena mengerti maksudnya.

"Di mata warga, Mbak Lita itu istri yang ditinggal kerja jauh sama suaminya. Tapi saya kan RT di sini, jadi saya harus tahu fakta yang sebenarnya. Dan sejak dulu, saya tahu yang sebenarnya kayak apa. Saya cuma nggak mau Mbak Lita maupun Mas Ardan nantinya menyalahartikan asumsi warga dengan membenarkan untuk tinggal bersama di sini," sambungnya lagi yang langsung membuat kepalaku menegak. "Tapi saya kenal Mbak Lita. Saya yakin, Mbak Lita pasti tahu harus bagaimana. Saya cuma mengingatkan, biar jangan ada berita buruk tentang Mbak Lita ataupun Mas Ardan nantinya."

"Kami cuma pergi aja tadi, Pak. Ardan nanti juga pulang, kok," tuturku tak enak.

"Kamu ngusir aku lagi?" Ardan tiba-tiba menarik lenganku. Wajahnya nampak tidak terima dengan apa yang kukatakan tadi.

"Siapa yang ngusir kamu?"

"Itu. Tadi kamu bilang aku bakal pulang habis ini. Itu tandanya kamu ngusir aku. Nggak mau aku ada di sini," katanya lagi.

"Ardan, kamu tahu sendiri, kita itu—"

"Emangnya aku nggak boleh nginep sehari dua hari di sini? Tidur bareng anakku aja nggak boleh, Ja?"

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang