Bab 20

49.8K 4.4K 93
                                    

Hai! Aku kembali.
Semoga setelah baca komen-komen dari kalian, bikin semangatku balik lagi ❤❤❤


*
*
*

Aku baru saja selesai membereskan rumah yang rasanya seperti kapal pecah. Ardan meminta izin untuk memperlebar rumah agar lebih leluasa dengan barang-barang yang kini menumpuk di beberapa sudut ruangan. Menurutnya, rumah ini terlalu kosong untuk dihuni oleh sebuah keluarga. Jadi sebelum kami menikah, ia sudah memesan beberapa furnitur pada pengrajin yang dikenalnya. Memesan lemari untuk ruang tamu, tempat tidur yang lebih besar, juga membeli seperangkat sofa dan meja yang kini menghuni ruang tamu sempit kami.

Rumah yang tadinya terasa kosong, kini jadi penuh dan lebih terlihat berpenghuni. Sofa berwarna abu-abu dan meja kayu bercat putih itu tampak tertata apik di depan televisi. Menggeser sofa putih usang yang kini digunakan untuk menumpuk kardus mainan milik Risang.

Ardan sendiri sedang menjadi mandor di luar. Membicarakan konsep-konsep yang ia mau pada tukang yang sedang membuat fondasi di samping kanan rumah.

Rumah dan tanah ini memang milik Ibu. Bagian warisan Ibu dari kakekku dulu. Makanya tetangga di sini banyak yang mengenal Ibu sehingga kami memilih tinggal di sini ketika Risang sudah lahir agar tidak mendapat banyak pertanyaan. Sejak Ibu masih ada, beliau sudah memasrahkan tanah dan rumah ini padaku. Mengganti sertifikat atas namaku dan memintaku untuk memanfaatkannya sebaik mungkin.

Ketika Ardan meminta untuk membangun dan memperbaiki rumah ini agar kami punya tempat tinggal yang lebih nyaman, aku membiarkannya. Bukan karena merasa memanfaatkannya, tapi benar kata Ardan, kami butuh rumah yang lebih besar dan sekat-sekat yang akan memisahkan rumah utama dan tempat membuat snack milikku yang niatnya akan menempati sisi rumah sebelah kanan nantinya. Ardan juga hendak membangun garasi untuk mobilnya yang untung saja bisa masuk lewat gang sempit di samping rumah Pak RT. Halaman rumahku lumayan luas, sehingga bisa digunakan untuk memutar mobil tanpa kesulitan.

"Ja, minum, dong!" pintanya ketika memasuki rumah sambil mengibaskan kerah kausnya.

"Yang dingin, manis, enak," lanjutnya yang kini merebahkan diri di kamar Risang.

"Es gula mau?" tawarku yang dihadiahi decapan lidah olehnya.

"Es teh, ada nggak?"

"Aku bikin es kopi tadi. Mau minum es punyaku aja?"

"Boleh, deh. Tapi enak, kan?"

"Cicipin aja," kataku sambil memberinya gelas Tupperware berisi es kopi racikanku.

Aku hanya mencampurkan dua saset kopi, yaitu kopi Good day chococino dan Nescafe classic, ditambah sesendok gula merah, dua sendok gula pasir, dan sejumput garam. Dilarutkan dengan seratus mililiter air panas dan ditambahkan es batu yang banyak. Rasanya lebih enak dan segar.

"Kok enak? Kamu campurin apa sampai rasa kopinya lebih berasa?" tanyanya kembali menyeruput hingga tandas. "Mau lagi dong, Ja!"

"Nggak mau! Udah segitu aja. Kamu kan nggak pernah ngopi," sahutku lalu menyambar gelas yang sudah kosong.

"Tapi besok bikin lagi, ya? Buat aku sendiri. Nggak mau barengan."

"Kopinya udah habis. Itu tadi yang terakhir."

"Ya udah. Nanti aku beliin, deh. Kamu tulis aja apa yang mau dibeli."

Aku memicing menatapnya. Ardan hanya menyengir sambil bergerak memelukku.

"Nggak usah peluk-peluk! Bau kamu!"

"Keringetan dikit doang, kok. Bau dari mana?"

"Ya kamu tadi pagi nggak mandi. Ini udah siang. Udah ah, kamu mandi.  Aku mau jemput Risang," kataku sambil mengusirnya agar segera mandi. "Aku udah siapin buat tukang di depan. Kalau minumnya kurang, ambil di kulkas atau kalau mau air panas ya dibikinin."

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang