Bab 16

44.6K 4.9K 329
                                    

Curhat dikit, yak, manteman.
Jadi, aku lagi nulis bab 18 kan yak, dari kemarin malam. Aku kelarin dah tuh tadi siang. Nggak tahu gimana ceritanya, malah nggak kesave 😭😭😭 padahal udah ciamik banget bagian itu 😭😭😭😭 kesel sendiri akutuu!
Udahlah, abis itu tadi aku olahraga dulu bentar buang pikiran mumet. Kali aja idenya balik lagi. Eh, beneran dong, aku pake buat ngetik lagi lancar lagi walau pun agak berbeda kata-katanya dari yang pertama.

Tapi tenang aja, itu nggak semuanya, kok. Cuma sebagian yang ilang. Sebagian yang atas masih sama. Yang ilang cuma yang aku ketik hari ini doang. Kesel banget cuma gimana lagi yak. Namanya juga cobaan. Biarin ajalah, wkwkwk.

Udah ah, curhat segitu aja. Biar kalian tau suka dukanya aku nulis kek gimana hahaha!

*
*
*


Ardan sudah ada di kamar Risang saat aku terbangun. Keduanya berpelukan erat di bawah selimut tanpa terganggu dengan suara kegiatanku di dapur.

Lelaki itu memang sudah datang di pagi buta, seperti biasa. Tapi aku tidak membukakan pintu untuknya. Pintu rumah tidak aku kunci. Aku sudah mengirimkan pesan pada Ardan kalau ia bisa langsung masuk tanpa harus membangunkanku.

Sejak pertengkaran kami tempo hari, aku memang sengaja menghindarinya. Panggilan darinya saat tidak ada Risang di sampingku, akan langsung aku tolak tanpa pikir panjang. Ketika ia meminta Risang untuk menyerahkan ponsel padaku setelah mereka puas bercengkrama, aku langsung mematikannya.

Aku tahu, aku terlihat kekanakan sekarang. Tapi tuduhan dan perkataannya sangat menyinggung perasaanku. Dia seolah menegaskan kalau aku tidak mampu menjadi ibu yang baik untuk Risang. Untuk anakku sendiri.

Air mataku kembali luruh saat mengingat hal itu. Akhir-akhir ini, aku jadi cengeng lagi.

Dengan cepat, aku menghapusnya. Tapi sayang, air mata itu kembali mengalir setelah yang ada di pipi kuhapus, dan menjadi semakin deras saat kedua tanganku menangkup wajah agar mataku terpejam dan tidak menangis lagi.

Mengabaikan donat yang belum jadi kubuat, aku kembali masuk ke dalam kamar. Mengurung diri terdengar lebih masuk akal ketimbang memaksakan diri padahal tidak mampu.

Aku baru kembali keluar dari kamar saat mendengar suara orang menggoreng sesuatu. Ardan di sana, duduk dengan bangku kecil yang biasa kugunakan untuk duduk di depan kompor saat menggoreng. Hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Memegang sutil dan sedang membolak-balik risoles.

"Kamu ngapain?" tanyaku dengan suara serak setelah mengelap wajahku yang basah.

"Udah jam segini, kamu belum goreng. Aku pikir masih tidur," katanya tak acuh. Dia pasti mendengar suara tangisku. Risang saja yang anak kecil bisa tahu kalau aku menangis diam-diam, apalagi dia yang orang dewasa.

"Kamu mending bersih-bersih, bentar lagi Subuh," kataku mengusirnya dari singgasanaku.

"Kamu bikinin aku teh susu dulu. Nanti baru aku mandi."

Aku memandang punggungnya yang sama sekali belum berbalik ketika bicara denganku. Benar-benar tidak mengerti maunya. Tapi aku tetap melakukan apa yang ia minta. Ketika teh susu itu sudah ada di atas meja dapur, barulah dia bangkit dan menyambar handuk miliknya yang selalu kusiapkan ketika ia pulang.

Pulang.

Seolah ini rumahnya saja. Padahal kalau tidak dengan izin Pak RT, dia tidak mungkin bisa tinggal di sini.

Perutku terasa perih karena sejak kemarin siang, aku hanya menghabiskan sebutir telur rebus tanpa makan apa pun lagi. Jadi aku putuskan untuk memakan sebuah risoles yang sudah matang. Mungkin lambungku protes karena dibebas tugaskan terlalu lama.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang