Pagi hari yang terasa berbeda dari biasanya. Aku mengusap wajah sebelum menggulung rambut dan beranjak dari atas kasur. Menyelimuti Risang yang tidur lasak tanpa memakai bantal.
Jam baru menunjukkan pukul lima kurang seperempat. Waktu Subuh telah berlalu sejak tadi tapi aku tidak terbangun ketika mendengar suara azan saking lelahnya. Aku bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan menunaikan kewajiban. Membangunkan Ardan yang sama kagetnya karena melewatkan salat Subuh di masjid.
"Nggak usah dibangunin! Biar dia tidur lagi. Baru tidur jam berapa dia tadi malam, kan?" kataku ketika Ardan hendak membangunkan Risang yang masih terlelap.
"Eh," ia menahan tanganku yang hendak menunaikan salat. Sudah memakai mukena dan bersiap menggelar sajadah. "Jamaah sama aku?"
Aku terpaku sesaat, sebelum menganggukkan kepala dengan canggung dan ia membalasnya dengan senyuman.
"Bentar. Aku wudu dulu. Kamu bisa siapin sarung sama sajadah buatku?"
Aku kembali mengangguk dan melakukan apa yang ia katakan. Membiarkan Risang tetap tidur di kasur yang digelar di depan televisi, sementara kami salat di kamar yang terasa begitu luas karena tidak ada kasurnya. Kamar Risang memang tidak memakai dipan, karena ia gampang menggelinding dan aku takut kalau ia terluka ketika jatuh.
Selesai salat, Ardan membalik tubuhnya ketika aku sedang melipat mukena. Menatapnya dengan bingung karena ia tampak tersenyum melihatku.
"Kenapa?" tanyaku sedikit salah tingkah. Ini kali pertama kami salat bersama dan Ardan fasih menjadi seorang imam. Aku tidak menyangka kalau mendengarnya mengucap takbir saja membuatku merinding.
"Enggak," katanya sambil menyentuh wajahku dan mengusap rambut yang menjuntai. "Nggak nyangka aja, kita bisa kayak gini sekarang," ujarnya yang lebih mirip gumaman karena suaranya yang lirih.
"Aku juga nggak nyangka, punya suami yang kekanakan kayak kamu," ujarku yang membuatnya terkekeh, kemudian mencuri kecupan di pipi kiriku dengan cepat dan lembut.
Aku jadi teringat hari kemarin. Saat kami akhirnya benar-benar menikah. Menjadi suami istri yang sah di mata hukum dan agama. Meski akad nikah yang kami lakukan hanya untuk pihak keluarga, maksudku keluarganya, tapi tidak menutup rasa bahagia terpercik di hatiku.
Keluarganya mungkin tidak semuanya bisa menerimaku dan Risang, karena status kami yang tidak jelas. Belum lagi, kami seperti memanfaatkan keadaan yang pasti akan serba menguntungkan kami. Tapi kembali lagi, aku tidak ingin kembali mengecewakan orang-orang di sekitarku yang menaruh banyak harapan padaku. Risang telah menemukan ayah kandungnya dan mereka saling menyayangi. Untuk apalagi aku menyulitkan mereka dan diriku sendiri hanya demi mendengarkan omongan orang-orang.
Orang-orang di sini yang tahu hanya Pak RT beserta istri, juga Mbak Dewi dan Mbak Sari. Mereka berdua adalah orang yang berjasa dalam hidupku dan Risang. Tidak mungkin aku melupakan mereka untuk langkah besar yang kuambil dalam hidupku.
"Udah aku bilang, aku suka lihatin kamu cemberut karena ulahku," kilahnya yang membuatku mencibirnya.
"Bikin spaneng kepala," kataku dan ia kembali tertawa. Meraih tangan kananku dan menangkupnya dengan kedua tangannya.
Ardan yang seperti ini yang malah membuatku ketar-ketir sendiri. Ia bisa terlihat begitu dewasa dan aku kelimpungan, tidak tahu harus bagaimana merespons tindakannya.
"Kamu dulu, pas hamil Risang ngidam apaan, Ja?" tanyanya sambil mengusap-usap punggung tanganku. Aku langsung mengingat-ingat apa yang begitu aku inginkan ketika hamil. Tapi sepertinya tidak ada. Karena aku lebih banyak dijejali banyak makanan oleh ibu agar berat badanku bertambah dan tidak stres.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
RomanceCOMPLETED! Deskripsi cerita langsung ada di halaman pertama. Mulai dipublikasi pada 21 Januari 2020