Bab 26

35.2K 3.9K 130
                                    

"Ja, bangun, Ja."

Aku berusaha membuka mata yang rasanya masih menempel erat. Ardan terus menggoyangkan tubuhku sambil memanggil-manggil namaku. Biasanya ia santai memanggilku, tangannya saja yang bekerja menyentuh di sana-sini untuk mengajakku 'bermain' ketika mendekati waktu sahur.

"Ya Allah, Ja. Melek napa matanya? Merem mulu!"

"Apa sih, Ar? Ngantuk banget aku. Besok aja mainnya!"

"Main apaan sih, Ja? Melek makanya! Itu Risang nangis-nangis nggak bisa pipis!"

Mataku langsung terbuka lebar. Telingaku menangkap suara Risang yang tengah menangis dan ditenangkan oleh Mama. Dengan segera, aku mengusap wajah. Bangkit dan keluar dari kamar dengan perasaan tidak karuan.

"Ya Allah, kenapa, Ma?" tanyaku bergetar pada Mama yang menenangkan Risang yang menangis sesenggukan.

"Nggak bisa pipis katanya, Lita. Perutnya keras ini," kata Mama dengan tangan yang berhati-hati menyentuh perut Risang. Membalurinya dengan minyak kayu putih.

"Dibawa ke dokter aja. Di sini ada dokter, kan?"

"Ada, Pa. Tapi apa mau jam segini diganggu?"

"Dicoba aja dulu. Mendesak kayak gini, Lita. Kamu keluarin mobil, Dan. Cepetan."

Kami berlima segera meninggalkan rumah untuk ke pergi ke dokter. Ada beberapa dokter yang buka praktik di rumahnya, tapi hanya dokter Dian saja yang ramah terhadap anak kecil. Kami membawanya ke sana, mengabaikan waktu yang tidak lazim untuk berkunjung. Karena pergi ke puskesmas pun pasti tidak ada dokternya.

Setelah menggedor pintu dengan tidak sabaran, mengabaikan sopan santun yang biasa kami junjung, akhirnya pintu tempat praktik dokter Dian terbuka. Dokter laki-laki itu tampak masih mengantuk dan hanya mengenakan pakaian seadanya saat menyambut kami.

"Maaf, Dok, ganggu malam-malam," ujar Papa mengikuti sang dokter masuk ke ruang periksa.

"Nggak apa-apa, Pak. Ini kenapa adeknya nangis kayak gini?" tanyanya sambil menyingkap kaus yang dikenakan Risang untuk menempelkan stetoskop di dada Risang.

"Nggak tahu, Dok. Tadi ngeluh perutnya sakit, terus minta pipis. Tapi habis itu nangis, nggak bisa pipis katanya, pas kita cek, kayak ada sedikit darahnya. Perutnya juga agak keras, Dok," gantian Mama yang berujar. Sementara aku menahan tangis di pelukan Ardan yang juga sama kalutnya denganku.

"Sakit, Bundaaa," rengek Risang yang kemudian aku peluk di atas ranjang periksa.

Setelah diperiksa lebih lanjut yang aku sendiri tidak begitu mendengarkan anakku sakit apa, dokter Dian menyarankan untuk menyunat Risang secepatnya. Hal itu dilakukan untuk membersihkan kotoran yang mungkin saja menyumbat lubang kencingnya yang membuat Risang mengalami infeksi.

Aku sendiri pernah mendengar hal seperti itu. Ada salah satu cucu tetanggaku yang usianya lebih muda dari Risang harus disunat waktu itu. Kalau aku ingat-ingat, gejalanya mirip seperti apa yang dirasakan Risang. Akhirnya disunat lebih dini agar tidak terjadi hal yang lebih berbahaya.

Aku tidak pernah berpikir akan mengalami hal serupa. Anakku sendiri menangis karena kesakitan, dokter Dian sudah menyuntikkan obat pereda nyeri. Setelahnya, kami kembali ke rumah untuk bersiap-siap pergi ke rumah sakit. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk menimpa Risang.

Setelah membawa hal-hal yang dibutuhkan dan kami semua berpakaian yang lebih pantas, kami pergi ke rumah sakit. Membawa Risang ke UGD yang langsung ditangani oleh dokter. Paginya, Risang disunat dan sekarang sedang tidur lelap.

Aku menyandarkan kepalaku ke bahu Ardan. Tangannya langsung mendekapku. Napas kami sudah berangsur tenang. Lega rasanya. Walau tentu saja semua ini di luar rencana kami. Risang belum pernah mengatakan ingin disunat, baik aku atau Ardan juga belum membicarakan hal itu. Risang masih kecil dan ia baru saja masuk sekolah dasar.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang