Bab 10

52.8K 5.5K 295
                                    

Aku dari kemarin mau ngasih tahu setting waktunya, cuma lupa terus. Nanti deh, di bab baru yang kutulis. Ini draft, ya, jadi belum ada bab baru yang kutulis. Pergelangan tangan kananku lagi sakit, kayak salah gerak gitu jadi buat ngetik lama agak susah. Belum lagi di sini lagi mumet banget ya orang-orang, jadi ikut kepikiran. Terus kemarin banget, dapat berita duka dari sahabat. Bikin aku makin banyak pikiran. Sahabatku lagi berduka, tapi aku nggak bisa ada di deketnya buat sekadar kasih pelukan.

Bab ini kuposting juga biar agak ramean dikit notifku, hehee.

Happy reading, guys!

*
*
*

Hari masih begitu pagi ketika kudengar pintu rumah diketuk pelan dari luar. Rasa takutku muncul perlahan.

Baru pukul lima lebih lima menit, tapi sudah ada orang yang bertamu? Rasanya aneh sekali. Pun aku tidak punya tanggungan apa-apa hari ini. Aku sudah mengatakan ingin libur dulu hari ini untuk memulihkan tenaga yang seperti habis untuk kemarin.

Masih dengan mengenakan mukena karena aku baru saja selesai solat Subuh, aku menghampiri pintu depan. Mengintip sedikit dari celah gorden yang kusibak. Terlihat seseorang berdiri tepat di depan jendela yang ada di depanku, sehingga aku tidak bisa melihat siapa ia. Tapi dari posturnya, ia adalah seorang laki-laki.

Keningku berkerut seketika. Merasa tidak kenal dengan orang di depan rumahku. Jangan-jangan orang jahat. Zaman sekarang banyak orang yang berpura-pura jadi orang baik untuk memanfaatkan kelemahan orang lain.

Aku waspada seketika. Kuraih gagang sapu yang terletak tidak jauh dariku. Menggenggamnya erat sebelum membuka pintu dengan perlahan. Bersamaan dengan itu, seseorang itu berbalik dan membuatku terkejut setengah mati. Sapu di tanganku tak terasa terlepas dari genggaman. Kemudian dingin terasa merambati tubuh dengan begitu cepat, sampai rasanya aku tidak punya lagi darah yang terpompa dari jantung.

"Lita..."

Aku menggeleng pelan. Menelan ludah dengan kesulitan.

"Lita ... kata Mama..."

"Mau kamu apa?"

Ardan membelalakan matanya. Menatapku dengan sendu. Tangannya terulur tapi aku segera bergerak mundur.

Lelaki di depanku ini terlihat hidup dengan sangat baik. Tidak ada lagi tubuh kurus khas anak sekolah. Yang ada hanyalah tubuh tegap dan penampilan yang perlente. Aku bisa menilai dari pakaian yang ia kenakan kalau lelaki ini pasti sama sekali bukan orang yang kesulitan dengan uang. Berbeda denganku yang seringkali hanya memakai daster lusuh, karena terlalu sayang untuk menggunakan uangku untuk membeli pakaian bagus di saat aku sendiri kesulitan mencari uang untuk biaya sekolah anakku.

Betapa tidak adilnya kehidupan ini. Aku tahu, saat aku mengatakan aku sudah baik-baik saja selama ini, nyatanya aku selalu ingin mengatakan bahwa aku iri. Iri pada orang lain yang seumuran denganku dan bisa hidup nyaman. Bekerja dan menghamburkan uang, atau bahkan bersekolah sampai memiliki banyak gelar di belakang namanya. Dan Ardan pun mungkin sama beruntungnya seperti mereka.

Kami berdua melakukan kesalahan bersama, tapi sepertinya hanya aku yang memiliki nasib malang di sini.

Aku sampai tidak sadar bahwa air mataku sudah mengalir membasahi pipi, hingga Ardan merengkuhku dalam pelukannya. Tangisku tidak terbendung lagi. Aku memberontak, menolak pelukannya yang membuatku merasa seperti sedang dikasihani.

"Jangan nangis kayak gini, Lita. Jangan nangis," bisiknya masih mempertahankan pelukannya meski aku terus memberontak.

"Pergi, Ar ... pergi!"

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang