Kening Ardan berkerut saat menelan nasi goreng buatanku. Ia meneguk air putih sebelum memandangku yang tampak biasa saja di seberangnya.
"Agak keasinan apa ya, Ja?" tanyanya kembali menyuap nasi goreng itu ke mulutnya.
"Masak, sih? Pas, kok," kataku yang merasa tidak ada yang aneh dengan rasa masakanku. Bahkan wortel yang kurang matang saja terasa empuk di lidah.
"Coba punya kamu," ujarnya sambil menyendok milikku dan ia kembali menggelengkan kepalanya. "Sama aja, kok. Punya kamu juga asin, Ja. Kamu nggak ngerasa apa gimana?"
Aku mendengkus mendengarnya. Ardan ini mau mengerjaiku sebagai orang yang tidak becus masak atau bagaimana? Perasaan setiap hari juga dia memakan masakanku dan tidak pernah mengeluh ini dan itu. Kenapa baru sekarang dia mengatakan kalau masakanku terasa aneh?
"Kamu mau bilang masakanku nggak enak?"
"Bukan gitu, Ja. Masakan kamu enak, kok. Cuma nasi goreng ini rasanya keasinan," katanya lebih berhati-hati.
"Enak gini, kok!" sahutku kesal dan kembali menyendok nasi gorengku. Memakannya hingga habis, mengabaikan Ardan yang tampak ogah-ogahan menelan jatah miliknya.
"Kalau nggak mau, ya udah, buang aja!" Aku berseru kesal dan membanting pintu kamar.
"Kamu kenapa, sih? Aku minta maaf deh. Tapi beneran, tadi di lidah aku rasanya asin, Ja," kata Ardan yang menyusulku dan memelukku dari belakang. Ia mengusap-usapkan hidungnya di bahu kananku yang terpampang karena aku hanya memakai daster tanpa lengan pagi ini. Belum mandi dan rasanya malas sekali, apalagi pagi ini Ardan yang bertugas mengantarkan Risang pergi ke sekolah.
"Ya udah, nanti kamu masak sendiri aja yang enak. Aku nggak mau masak," kataku masih dengan nada kesal.
"Yah, kok gitu?"
"Biar nggak keasinan! Kamu masak sendiri, aku malas masakin kamu!"
"Jangan gitu dong, Ja? Aku bisanya rebus mi instan sama goreng telur doang. Itu juga kadang gosong, Ja."
Aku mengabaikannya dan memilih memejamkan mata kembali. Rasa-rasanya aku seperti terus menerus kesal pada Ardan. Padahal dia tidak salah apa-apa. Bisa saja memang lidahku atau lidahnya yang sedang bermasalah, sehingga masakanku terasa berbeda di lidah kami berdua.
Tapi ketika Risang pulang dan mengadu kalau bekalnya yang berisi nasi goreng yang sama dengan yang kami makan itu terasa asin, barulah aku tahu, kalau yang salah itu lidahku.
"Kamu beli makanan jadi ajalah! Aku malas masak jadinya," kataku pada Ardan ketika waktu mulai beranjak siang dan aku tetap tiduran di kamar. Mengabaikannya dan Risang yang bermain berdua di depan televisi.
"Ya udah. Kamu mau makan apa? Aku mau keluar sebentar buat nengok konter sama toko kamu," ujarnya yang sudah berpakaian rapi dan sedang memasukkan uang ke dalam dompet.
"Bakmie nyemek," kataku yang dihadiahi tatapan memicing darinya.
"Jam segini? Dapat di mana coba?"
"Ya kamu cari kek! Apa susahnya? Anak kamu minta pizza yang adanya di kota aja kamu turutin, aku minta bakmie doang kamu gitu jawabnya!"
Ardan menghela napas pelan. Terlihat begitu lelah dengan tanggapanku padanya. Ia membungkuk untuk mencuri kecupan di bibirku dan keningku.
"Iya aku cariin. Tapi kamu jangan marah-marah kayak gitu terus dong, Ja. Kasihanlah sama aku sama Risang. Dia pasti kaget lihat kamu marah-marah terus," pintanya dengan suara lirih yang entah mengapa membuatku merasa ingin menangis.
Hormon menjelang datang bulan memang selalu membuatku uring-uringan. Apa pun rasanya serba salah. Tapi kali ini seperti di luar kebiasaan. Belum lagi rasa kesalku pada Ardan karena kejadian waktu itu. Membuatku ingin terus memarahinya karena tindakan gegabahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
RomansaCOMPLETED! Deskripsi cerita langsung ada di halaman pertama. Mulai dipublikasi pada 21 Januari 2020