Bab 5

47.8K 4.9K 207
                                    

Aku tidak tahu darimana ayah tiriku tahu. Tapi malam harinya, ia memanggilku dan ibu untuk berkumpul di ruang keluarga. Tatapannya tajam ke depan. Tidak memandangku atau ibu sekalipun.

Dua saudari tiriku duduk dengan pongah menatap kami berdua. Memamerkan senyum sinis sembari melipat tangan di dada.

"Saya mau tanya," ujar ayah tiriku waktu itu. Matanya menatap tepat ke dalam mataku. Sampai rasanya ketakutan itu kembali membuatku menggigil. "Kamu hamil?"

Ibu langsung tercekat. Berusaha memegang tangan suami barunya dan meminta maaf karena perbuatanku.

"Saya tanya sama anakmu! Apa dia hamil?!"

Yang bisa kulakukan hanyalah menganggukkan kepala. Terdengar dengkusan darinya yang kutahu pasti, sedang mencemooh diriku.

"Kamu saya terima di sini karena kamu baik, Lita. Saya sayang sama ibu kamu. Begini balasan kamu untuk saya? Setelah saya kasih yang terbaik untuk kalian berdua?"

Kepalaku masih tertunduk. Tak mendengarkan apa yang dikatakan ibu untuk membujuk suaminya agar mau memaafkan aku.

"Mas, aku minta maaf. Lita pasti dipaksa buat ngelakuin itu sampai dia hamil begini, Mas. Tolong, Mas!"

"Tolong Ibu bilang?" Tiar, saudari tiriku yang pertama, bertanya dengan nada mengejek. "Hei, Bu! Mikir kalau ngomong! Ibu sama anak Ibu yang nggak tahu diri itu udah ditolong sama Papa keluar dari kemiskinan! Kalau bukan karena Papa, anak Ibu itu nggak akan bisa sekolah sampai mau lulus SMA kayak gini!"

"Tiar! Papa nggak ngajarin kamu buat ngomong nggak sopan kayak gitu!"

"Pa! Udahlah, waktu itu aku juga udah bilang, kan? Aku nggak mau punya ibu tiri, apalagi modelan kayak istri Papa ini. Pasti ke sini cuma mau morotin duit Papa doang, berlagak jadi nyonya! Ngaca, dong!"

"Minta maaf, Tiar! Nggak sopan kamu!"

Tiar tertawa pongah. Ia mendorong kepalaku sampai terhuyung ke belakang.

"Harusnya cewek ini yang minta maaf, Pa! Dia bakal nyoreng nama baik Papa kalau masih ada di sini. Jijik banget! Penampilan aja cupu kayak cewek kampungan! Nggak tahunya," ia tertawa merendahkan.

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Tak sanggup melihat tatapan merendahkan itu sama sekali.

Yang kutahu selanjutnya, Ibu membereskan barang-barang kami. Kemudian meninggalkan rumah itu keesokan paginya. Ketika hari masih gelap, kami meninggalkan rumah tanpa berbekal tujuan pasti.

"Kita memang miskin, Lita. Tapi Ibu nggak suka kamu dibilang kayak gitu. Kamu memang salah, tapi Ibu nggak mau kamu makin berdosa kalau kamu gugurin janin kamu," ujar Ibu sambil berurai air mata dan memelukku.

Lalu kami kembali ke desa. Kami mengontrak rumah sampai akhirnya bayiku lahir dan beberapa bulan kemudian kami menempati rumah yang sekarang. Semua itu dimaksudkan agar tidak ada omongan tetangga yang mengatakan ini itu tentangku.

Tapi tetap saja, tatapan menghakimi itu tetap kuterima ketika keluar dari rumah. Usiaku yang masih begitu belia, tapi sudah menjadi seorang ibu. Apalagi yang akan dipikirkan oleh orang-orang kalau bukan hasil hubungan terlarang?

"Kamu nggak usah mikirin omongan orang. Kita udah nyaman di sini. Kamu punya Ibu, punya Risang juga sekarang. Yang harus kamu pikirin itu anak kamu. Jangan stress, nanti pengaruh ke ASI kamu."

Ibu selalu mengatakan seperti itu. Tidak pernah menghakimiku. Tidak pernah bertanya siapa ayah dari bayi yang kukandung.

Lama kelamaan, aku terbiasa dengan kehadiran Risang. Setiap momen tumbuh kembangnya membuatku selalu berdecak kagum. Di saat banyak orang yang mempunyai kisah sepertiku, tapi memilih jalan pintas untuk menghilangkan anak mereka, aku menumbuhkan anakku dengan baik. Dia menjadi anak yang tampan, pintar, juga penyayang. Meski satu yang selalu membuatku tersiksa ketika melihatnya, adalah wajahnya yang memiliki banyak kemiripan dengan ayahnya.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang