KEBENARAN
Bi Inah beristirahat sebentar setelah belanja di pasar tradisional. Ia memilih untuk duduk di sebuah tenda penjual es cendol lalu memesan satu gelas untuk menghilangkan dahaga.
Ponselnya tiba-tiba saja bergetar, ia segera melihat nama penelepon dan segera mengangkatnya.
"Halo Assalamu'alaikum Mas Adam...," sapanya.
"Wa'alaikum salam Bi Inah, Bibi sedang ada di mana? Apakah saya mengganggu?," tanya Adam, khawatir.
"Tidak Mas Adam, saya sedang diluar rumah, baru saja selesai belanja. Ada apa Mas Adam?," tanya Bi Inah.
"Saya mau tanya tentang Ai..., bagaimana keadaannya? Apakah ada kemajuan?."
Bi Inah meletakkan gelas es cendolnya di meja, kini ia mengahadapi pertanyaan Adam dengan serius.
"Mas Adam tenang saja, Mbak Ai sudah mulai membaik. Saya akan terus merawatnya dan menjaga Mbak Ai sampai Mas Adam datang untuk menjemputnya," jawab Bi Inah.
Adam meneteskan airmatanya, ia benar-benar lelah terus-menerus berjanji tanpa pernah memenuhi janjinya.
"Saya masih belum tahu Bi kapan bisa menjemput Ai untuk pergi dari sana. Saya takut tidak bisa memenuhi janji saya," ungkap Adam, jujur.
"Mas Adam harus yakin bahwa suatu saat nanti Mas Adam akan punya kesempatan untuk menjemput Mbak Ai. Saat ini saya sedang mencoba pengobatan untuk Mbak Ai agar dia bisa cepat sembuh dan pulih seperti dulu lagi. Mas Adam jangan menyerah, saya juga tidak akan menyerah," pinta Bi Inah.
Adam menyeka airmatanya, Bi Inah benar tentang dirinya yang tak boleh menyerah. Ia akan terus berjuang untuk Ai dan Rindu.
"Seandainya saja saya punya lebih banyak kekuatan, maka saya juga akan membawa Ai waktu itu dan mungkin Ai takkan terus terkurung di rumah itu seperti saat ini," sesal Adam.
"Mas Adam yang sabar, Romo Besar memang kejam dan kita berdua tahu betul akan hal itu. Jadi Mas Adam nggak punya salah apapun, Mas Adam sudah melakukan apa yang seharusnya Mas Adam lakukan sebagai seorang Kepala Rumah Tangga," Bi Inah terus memberikan dukungannya.
"Baiklah Bi..., saya akan menghubungi Bibi lagi dilain waktu. Sekarang saya mau menyiapkan makan siang dulu sebelum Rindu pulang Sekolah," pamit Adam.
"Baik Mas Adam..., Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Adam meletakkan ponselnya di meja dan berbalik hendak keluar dari kamarnya, ketika ia berhadapan dengan sosok Puterinya yang telah berdiri di sana.
"Jadi..., namaku bukan Rinjani? Dan Ibuku bukan berada di Negara lain untuk bekerja, melainkan terkurung dan sakit?," tanyanya.
Adam terpana di tempatnya berpijak, ia kehilangan kata-katanya hingga tak mampu menjawab pertanyaan Puterinya sendiri.
"Pak..., kenapa Bapak nggak jujur sama aku? Kenapa Bapak nggak bilang?," desak Rinjani.
"Karena keselamatanmu lebih penting Nak..., bahkan Ibumu pun pasti setuju dengan apa yang Bapak lakukan," jawab Adam, pada akhirnya.
"Lalu bagaimana dengan Ibu? Ibu sendirian Pak..., siapa yang merawat Ibu kalau Bapak dan aku ada di sini?," tanya Rinjani.
"Bapak nggak punya kekuatan untuk melawan Kakekmu Nak, kalau Bapak memaksakan diri lalu Bapak harus meninggal karena dibunuh olehnya, lalu kemana kamu akan pergi Nak??? Kamu akan lebih menderita jika ikut tinggal bersama Ibu di sana," Adam memberi Rinjani pengertian.
Rinjani menatap Ayahnya dengan penuh kasih sayang.
"Pak..., aku anak Bapak. Kalau Bapak tidak punya kekuatan untuk membawa Ibu dari rumah Kakek, maka aku yang akan membawa Ibu dari sana untuk berkumpul bersama kita di sini," janjinya.
"Andaikan semudah itu Nak..., Bapak sendiri yang akan menjemputnya."
Rinjani memeluk Adam dengan erat.
"Siapa yang akan mengenaliku dibalik niqob di wajahku ini Pak? Saat ini hanya Bapak yang tahu siapa aku, dan aku akan ke sana bukan sebagai Rindu..., tetapi sebagai Rinjani."
* * *
Ridwan masuk diam-diam ke dalam kamar Aisyah dan mengunci pintunya dari dalam. Ia mendekat ke tempat tidur dan berusaha membangunkan Bibinya.
"Bi..., Bibi Ai..., ayo bangun...," bisik Ridwan di telingan Aisyah.
Aisyah mengerejap pelan dan berusaha mengenali siapa yang berbisik di telinganya. Ridwan tersenyum tulus di hadapannya.
"Ri..., Rin..., du...," ujar Aisyah.
"Iya..., kalau Bibi Ai sudah sembuh aku akan bawa Bibi bertemu Paman Adam dan Rindu. Sekarang Bibi minum dulu obat ya...," pinta Ridwan.
Aisyah menganggukan kepalanya pelan. Ridwan segera membantu Aisyah untuk minum obat yang ia belikan, Wanita itu pun menelan obatnya dengan susah payah. Ridwan segera kembali membaringkannya di tempat tidur lalu menyembunyikan obat di balik bajunya.
"Sekarang Bibi Ai istirahat ya..., nanti kalau Bi Inah datang bawa makanan, Bibi harus makan supaya cepat sembuh dan bisa bertemu Paman Adam juga Rindu," pinta Ridwan.
Aisyah kembali menganggukan kepalanya pelan. Ridwan kembali membuka pintu dan keluar dari kamar itu dengan cepat agar tak menimbulkan kecurigaan.
Aisyah terus berdzikir dalam hati dan meminta kesembuhan kepada Allah agar dirinya bisa kembali sehat dan bertemu Suami serta anaknya.
Pintu kembali terbuka, kali ini sosok Ariana lah yang berdiri di ambang pintu. Wanita itu masuk ke sana dan membiarkan pintu tetap terbuka lebar.
"Ayo keluar..., bangun dan lari dari sini..." ejeknya.
HAHAHAHAHAHA!!!
"Dasar nggak berguna!!! Kamu itu sudah tidak diinginkan sama Mas Adam..., buktinya dia hanya melarikan diri dan membawa Rindu lalu meninggalkanmu di sini!!! Jadi kenapa kamu nggak mati saja sekalian???," bentak Ariana.
Ridwan meraih Ibunya dan mengeluarkannya dari kamar itu.
"Ibu apa-apaan sih? Kenapa Ibu harus bicara begitu pada Bibi Ai?," tanya Ridwan.
"Jangan ajari apa yang harus saya lakukan!!! Kamu anak tidak tahu diri!!! Saya ini Ibumu..., bukan si Ai!!!," teriak Ariana.
"Tapi Ibu sama sekali nggak berhak meminta Bibi Ai untuk mati! Ibu bukan Allah..., Bibi Ai masih punya semangat untuk hidup dan Ibu tidak boleh menjatuhkan semangatnya!," balas Ridwan.
"Heh!!! Tahu apa kamu??? Apa kamu tahu kalau saya dipaksa menikah dengan Bapakmu sehingga saya harus melahirkan kamu??? Saya cuma mau menikah sama Mas Adam..., dan Ai merebutnya dari saya!!! Jadi saya tidak akan pernah memberikan kesempatan untuk Ai agar bisa sembuh, saya akan menyingkirkan dia!!!," ancam Ariana.
Plakkk!!!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Ariana hingga membuat Wanita itu tersungkur di lantai. Heru menatapnya dengan murka.
"Sekali lagi kamu menyebut nama Adam di rumah ini, maka kamu akan aku singkirkan dari Keluarga Barata!!!," teriaknya.
Semua orang terdiam, termasuk Ariana.
"BI INAH!!!," panggil Heru.
Bi Inah berlari mendekat ke hadapan Pria itu.
"Mulai sekarang, cari pegawai baru khusus untuk menjaga kamar Ai..., siapapun tidak boleh masuk ke sana kecuali Bi Inah dan penjaganya!!!," perintah Heru.
"Baik Tuan," jawab Bi Inah.
"Satu hal lagi..., cari penjaga Perempuan, Ai tidak akan suka jika yang menjaganya adalah Laki-laki," tambah Heru.
Heru pun pergi meninggalkan ruangan itu dengan kemarahan yang masih meluap-luap. Ridwan membantu Ibunya berdiri.
"Lihat..., itulah Kakekmu! Hanya selalu memperhatikan Ai..., bukan Ibu!!!," ujarnya, marah.
'Karena sejujurnya, Ibu memang tidak pantas untuk diperhatikan! Allah pun tahu!.'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Ai
Spiritual[COMPLETED] Allah akan menjagamu, sejauh apapun dirimu dari keramaian. Allah akan melindungimu, meskipun dirimu berada di tengah marabahaya. Allah akan menjagamu, kau hanya perlu yakin akan Kebesaran-Nya. Insya Allah, kau tetap akan berada dalam Rah...