EPISODE 24

3.1K 247 5
                                    

BIMBANG

Acara tahlil itu sudah berakhir, namun entah mengapa rasanya malah menyisakan duka bagi Ariana dan juga Ridwan. Ustadzah Santi memaksa, bahwa Ridwan harus tinggal dengan mereka karena mereka merasa lebih berhak dari pada Ariana yang hanya Orang tua angkat.

Malam itu Ridwan duduk di balkon rumah Adam di lantai dua, menatap langit pekat yang begitu cerah karena bertabur bintang. Ia mengingat bagaimana Almarhum Heru ketika memintanya berjanji sebelum Beliau meninggal.

"Kalau pada akhirnya saya tidak mampu lagi menjaga Ariana..., tolong berjanjilah pada saya bahwa kamu akan menjaganya dan menganggapnya seperti Ibu kandungmu sendiri. Dia butuh tempat bersandar meskipun dia tak pernah mengatakannya, dan saya percaya padamu untuk menjadi tempat sandarannya di masa tua. Maukah kamu berjanji Nak?."

Suara itu terus terngiang-ngiang di benak Ridwan. Ia pun sudah menjawab pertanyaan itu, bahwa ia akan menjaga Ariana serta menganggapnya seperti Ibu Kandung sendiri. Tapi siapa yang tahu, bahwa hari ini akan datang? Siapa yang menduga jika Allah mempertemukan dirinya dengan Orang tua kandungnya?

Hati Ridwan benar-benar kacau.

"Kamu nggak perlu terlalu banyak pikiran."

Ridwan terlonjak dari tempat duduknya dan berbalik menatap sosok Ariana yang telah berada di sana - entah sejak kapan. Wanita itu mendekat dan bersandar pada tiang balkon.

"Kalau saya ada di posisimu, saya tidak akan berpikir terlalu panjang. Saya akan memilih untuk tinggal dengan mereka," ujar Ariana.

"Saya sudah berjanji pada Romo Kakung," ujar Ridwan.

Ariana tersenyum pahit.

"Saya tahu, tapi saya tidak akan menuntut kamu untuk menepatinya. Toh Romo juga sudah meninggal, dia tidak akan bangkit dari kuburannya untuk menuntut janjimu."

Ridwan terdiam.

"Mereka benar..., mereka sangat berhak atas diri kamu karena mereka adalah Orang tua kandungmu dan saya bukan siapa-siapa. Saya pernah menjadikanmu sebagai boneka untuk menutupi kebohongan saya pada Romo dan Ibu Suri, dan mungkin inilah saatnya bagi saya untuk menebus kesalahan itu dengan cara mengembalikanmu pada kedua Orang tuamu," Ariana berbalik untuk menyembunyikan airmatanya yang mulai tak terbendung.

Ridwan sendiri juga berbalik ke arah lain dengan alasan yang sama - agar tak ada yang melihatnya menangis.

"Mereka punya latar belakang keluarga yang sangat bagus, cocok sekali dengan kepribadianmu yang penurut, baik hati, dan juga rendah diri. Mereka tidak seperti saya yang bahkan tidak bisa menggendongmu dengan benar saat kamu masih kecil. Mereka juga tidak seperti saya yang tidak bisa mengajarimu mengaji karena saya tidak bisa mengaji, bahkan tidak pernah membuka Al-Qur'an padahal saya beragama Islam. Mereka luar biasa..., mereka bisa mendidik anak yatim piatu sebanyak itu, dan tentu saja mereka akan bisa mendidikmu dengan lebih baik. Jangan berpikir terlalu lama, toh saya tidak pernah mengurusmu dengan baik. Kamu tidak punya alasan untuk tetap tinggal dengan saya," ujar Ariana.

Airmata sudah membanjiri wajahnya yang cantik. Hatinya terasa sesak luar biasa, dadanya terasa ingin meledak karena menahan tangisan agar tak terdengar. Ridwan juga menghapus airmatanya.

"Saya tidur duluan..., kamu jangan tidur terlalu malam nanti sakit," pesan Ariana, dan akhirnya masuk kembali ke dalam rumah.

Ridwan tak menahannya, dan tak juga mengatakan apapun. Ia hanya terdiam di tempatnya tanpa melakukan apapun.

Rinjani masuk ke dalam kamarnya, di mana Ariana sudah berada di sana dan melipat baju-bajunya.

"Bibi mau pulang?," tanya Rinjani, pelan.

Ariana mengangguk seraya tersenyum, di wajahnya masih ada sisa-sisa airmata yang belum mengering. Rinjani duduk di hadapannya.

"Bibi nggak mau mencegah Mas Ridwan untuk tinggal dengan keluarganya?," tanya Rinjani lagi.

Ariana menggeleng, masih sambil tersenyum. Rinjani mencekal tangannya, sehingga Ariana pun menatapnya.

"Bibi bisa membujuknya kalau mau...," saran Rinjani.

"Tidak perlu Rin..., kamu lihat sendiri bagaimana selama ini Bibi memperlakukan Ridwan. Jadi tidak ada alasan baginya untuk terus tinggal bersama Bibi. Bibi bukan Ibu yang baik untuk Ridwan," jelas Ariana, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

"Dulu juga aku berpikir begitu tentang Bibi," ungkap Rinjani, jujur.

"Lalu?," tanya Ariana dengan senyumnya yang semakin mengembang.

"Tapi Ibu menyakinkan aku, bahwa Bibi tidak benar-benar seperti itu. Ibu cerita padaku, kalau dulu Bibi sangat manis. Suka bersembunyi di lemari jika ketakutan, suka jahil dengan menyembunyikan barang-barang penting, dan Bibi suka berenang meskipun tidak bisa," ujar Rinjani.

hahahaha!

Ariana tertawa pelan.

"Iya..., iya..., Bibi ingat. Dulu Ibumu selalu saja menyiapkan jaring di kolam berenang, bukan untuk memancing ikan, tapi untuk menangkap Bibi kalau tenggelam," lanjutnya.

Rinjani ikut tertawa mendengar kisah yang sebenarnya dari Ariana. Wanita itupun memeluk Rinjani dengan erat.

"Terima kasih ya karena sudah mau menghibur Bibi..., tapi kalau urusan Ridwan, Bibi sudah pasrah. Bibi tidak akan memaksanya," ungkap Ariana.

"Aku akan segera lulus SMA..., kalau Bibi mau, aku akan kuliah di Bandung dan tinggal dengan Bibi," ujar Rinjani.

"Kamu tidak perlu melakukan hal itu. Bibi sudah memisahkan kamu dari Ibumu selama bertahun-tahun, dan kini saatnya kamu tinggal dengan Ibumu. Jangan berkorban untuk hal yang tidak penting, Bibi kan masih tinggal dengan Bi Inah...," balas Ariana, berusaha meyakinkan.

Pukul Empat pagi, sebuah taksi berhenti di depan rumah Adam. Adam membawakan koper-koper yang kemarin di bawa oleh Ariana ke dalam bagasi taksi tersebut. Ridwan belum bangun, Ariana mencegah Aisyah ataupun Rinjani untuk membangunkannya.

"Yakin tidak mau bilang dulu pada Ridwan?," tanya Aisyah.

Ariana tersenyum lalu menganggukan kepalanya.

"Ridwan akan mencegah aku pulang Mbak kalau dia dibangunkan. Dia tidak boleh terlalu berlarut-larut memikirkan mana yang harus dia pilih. Aku bukan pilihan yang baik untuk kehidupannya," jawab Ariana.

Rinjani mendekat dan memeluk Bibinya.

"Kalau aku sudah libur, Insya Allah aku akan datang ke rumah Bibi," janji Rinjani.

"Iya sayang..., datang saja, kapanpun yang kamu mau," Ariana membalas pelukan itu dengan erat.

Aisyah melepaskan kepulangan Adiknya dengan luka yang mendalam. Adam memeluk Aisyah dengan erat.

Bi Inah menatap Ariana yang terus saja berdiam diri selama berada di taksi. Wanita itu terus menatap keluar jendela.

"Mbak Aria mau beli makanan dulu?," tanya Bi Inah.

"Nggak Bi..., Bibi saja yang beli makanan. Saya tidak lapar," jawab Ariana seraya tersenyum.

Bi Inah semakin khawatir, namun tetap diam saja dan tak berani bicara apapun.

Ridwan bangun saat Adzan Subuh berkumandang. Ia bergegas mengambil air wudhu dan mengerjakan Shalat di kamarnya. Usai Shalat Subuh, ia pun keluar dan melihat Aisyah yang sedang membersihkan rumah bersama Rinjani.

"Ridwan..., kamu sudah bangun Nak?," tanya Aisyah.

"Iya Bi..., aku bangunkan Ibu dulu..., dia pasti susah bangun," jawab Ridwan.

"Tidak usah Nak...," cegah Aisyah.

Ridwan menatapnya dengan heran.

"Adik saya sudah pulang, dia sudah tidak ada di rumah ini," ujar Aisyah.

Ridwan terpaku di tempatnya.

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang