EPISODE 30

3.5K 251 3
                                    

KEMBALI

Siang itu, Ariana benar-benar mengantarkan Ridwan ke rumah Ustadz Hamid dan Ustadzah Santi. Mereka menyambut kedatangannya dengan sangat bahagia. Untuk pertama kalinya, Ridwan memeluk kedua Orang tuanya dengan erat.

"Assalamu'alaikum Abi..., Ummi...," ucapnya sepenuh hati.

"Wa'alaikum salam Nak...," jawab keduanya bersamaan.

"Rinjani bilang, kalian akan lebih suka jika dipanggil Abi dan Ummi. Aku harap kalian tidak keberatan jika aku memanggil dengan panggilan itu," ujar Ridwan.

"Iya Nak..., apapun yang kamu rasa nyaman saat bersama kami, lakukanlah. Kami tidak akan keberatan," balas Ustadz Hamid.

"Terima kasih Abi...," Ridwan kembali memeluk Ayahnya lagi.

Ustadzah Santi menangis terharu dan segera memeluk Ariana.

"Syukron Ukhti..., syukron karena Ukhti benar-benar mau mengajaknya bicara dan belajar untuk menerima kami," ujarnya, tulus.

"Sama-sama Bu. Saya juga Orang tuanya, jadi sudah kewajiban saya untuk mengajarinya agar tidak mempertahankan pemikiran yang salah. Saya pernah salah, tapi anak saya tidak boleh mengikuti jejak kesalahan saya," balas Ariana.

Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Ustadz Hamid masuk ke dalam membawa koper milik Ridwan ke kamarnya. Ustadzah Santi menyajikan teh susu untuk semuanya.

"Jangan repot-repot Bu..., saya tidak akan lama," ujar Ariana.

"Tidak repot Ukhti..., jangan buru-buru, mari silahkan diminum," balas Ustadzah Santi.

"Maaf kami terlalu siang datang ke sini, jalanan agak macet karena bertepatan dengan hari libur," Ariana pun meminum tehnya.

"Tidak apa-apa Ukhti, kami sangat mengerti akan hal tersebut. Di daerah sini juga sering terjadi macet, bahkan di hari biasa," jawab Ustadzah Santi.

"Ridwan juga tadi terlalu lama karena sibuk telepon dengan calon Isterinya...," sindir Ariana.

Uhuukkk!!!

Ridwan pun tersedak saat mendengar apa yang Ariana katakan dengan sangat jujur. Ustadzah Santi tertawa melihat Ridwan yang salah tingkah.

"Maklum Ukhti..., namanya juga calon pengantin yang sedang dipingit," balas Ustadzah Santi.

Wajah Ridwan semakin memerah seperti kepiting rebus. Sementara kedua Ibunya hanya tertawa dengan apa yang mereka lihat.

Saat Ariana telah pergi ke rumah Aisyah, Ridwan menempati kamar yang telah disiapkan untuknya oleh kedua Orang tuanya. Ia membuka koper berisi baju dan mulai merapikannya ke dalam lemari.

Tok..., tok..., tok...!!!

Suara pintu kamar yang diketuk membuat Ridwan menghentikan pekerjaannya lalu bergegas membuka pintu tersebut. Sosok Ustadz Hamid yang berdiri di ambang pintu pun tersenyum ke arah Ridwan.

"Boleh Abi masuk?," tanya Ustadz Hamid.

Ridwan mengangguk untuk mempersilahkan. Ustadz Hamid pun masuk ke dalam dan duduk di sebuah kursi sementara Ridwan duduk di tepi tempat tidur.

"Setelah bertahun-tahun kami kehilangan kamu, jujur saja ada lubang di hati kami yang tak mampu terisi meskipun kami berusaha mengisinya. Kami mungkin pernah lalai menjagamu, kami hanya terpusat pada kesibukan kami dan bukannya dirimu. Tapi seandainya kami tahu, bahwa kami akan kehilangan kamu waktu itu maka kami bersedia melakukan apapun untuk tidak pernah lagi mengabaikanmu," ujar Ustadz Hamid.

Ridwan menundukkan kepalanya, ia benar-benar memikirkan apa yamg dikatakan oleh Ayahnya.

"Kini kamu sudah dewasa saat bertemu lagi dengan kami, bahkan kamu juga akan segera membangun keluarga sendiri. Kami tidak bisa memberi contoh yang baik untukmu, tapi setidaknya kamu bisa belajar satu hal dari kami. Jangan pernah mengabaikan orang-orang yang kamu cintai, karena kamu akan menyesal saat telah merasakan kehilangan. Berusahalah untuk selalu memperhatikan dan ada di setiap kali kamu dibutuhkan. Insya Allah, kamu tidak akan kehilangan apapun dalam hidupmu," saran Ustadz Hamid.

Ridwan pun bersimpuh di hadapan Ayahnya, kedua matanya basah oleh airmata yang sejak tadi tak mampu ia bendung.

"Terima kasih Abi..., terima kasih karena tak pernah menyerah untuk menemukanku. Terima kasih karena Abi selalu mengingatku, aku meminta maaf jika aku terlalu angkuh untuk menerima kenyataan bahwa kalian begitu mencintaiku dengan alasan 'kecewa' yang aku utarakan. Ampuni kesalahanku Bi..., Insya Allah aku tidak akan mengecewakan Abi dan Ummi lagi, Insya Allah aku tidak akan merasa kecewa lagi pada kalian berdua. Allah akan menjadi saksiku, Insya Allah aku akan selalu membahagiakan kalian," mohon Ridwan, tepat dipangkuan Ayahnya.

Ibunya mendekat dan merangkulnya. Ridwan mengangkat wajahnya dan menatap airmata di wajah Ibunya yang terbalut niqob.

"Nak..., kami berdua tidak marah padamu. Tidak satu kali pun. Kami malah merasa malu terhadapmu, karena kami sudah melakukan kelalaian di masa lalu dan tiba-tiba memaksamu untuk menerima kehadiran kami. Kamu benar..., kami tidak seharusnya bersikap egois. Ibu angkatmu membuat kami sadar, ketika kami bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Dia yang menyarankan untuk bersabar menunggumu membuka diri, karena dia tahu betul karaktermu. Dia bilang, kamu itu anak paling baik, penurut dan tidak suka menyakiti orang lain. Hanya saja, kamu butuh waktu," ujar Ustadzah Santi.

Ridwan memeluk Ibunya dengan lembut.

"Maafkan aku Mi..., maaf karena telah membuat Ummi dan Abi menunggu. Aku meminta kalian untuk tidak egois, sementara kenyataannya aku lebih egois karena tak memikirkan apa yang kalian rasakan," ungkap Ridwan.

"Sudah Nak..., kami memaafkanmu. Kamu tak perlu berlarut-larut menyesali segalanya. Sekarang, kamu harus fokus pada apa yang akan kamu hadapi, perbanyak ibadahmu, perbanyak dzikirmu dan perbanyak do'amu agar Allah memberikan kelancaran di hari pernikahanmu nanti," jawab Ustadz Hamid.

Ridwan menganggukan kepalanya seraya menyeka airmata di wajahnya.

"Ayo..., kita makan dulu," ajak Ustadzah Santi.

'Ya Allah..., terima kasih atas limpahan nikmat dan kebahagiaan yang telah Engkau berikan pada hamba. Insya Allah, hamba takkan menyia-nyiakan semua ini.'

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang