EPISODE 5

3.7K 269 7
                                    

DATANG

Rinjani menatap lama pintu gerbang berwarna hitam berpadu dengan kuning emas itu. Ia berulang-ulang kali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan amat pelan. Jantungnya berpacu dengan hebat kala ia teringat ketakutan Ayahnya pada kehidupan di dalam rumah itu.

Namun ia telah bertekad, maka ia takkan mundur. Langkah kakinya begitu mantap saat memasuki gerbang yang tadi hanya ia lihat. Pintu rumah itu sudah semakin dekat, ketika seseorang tiba-tiba berhenti di hadapannya.

"Siapa kamu?!! Mau apa ke sini?!!," tanya Bapak tua yang sedang memegang gunting rumput di tangannya itu.

Rinjani bersikap tenang.

"Pasti orang ini adalah Pak Karto, tukang kebun yang di katakan oleh Bapak," batinnya.

Rinjani tersenyum dari balik niqob-nya.

"Assalamu'alaikum..., saya Rinjani..., saya datang ke sini untuk melamar kerja, katanya di sini ada yang butuh perawat khusus untuk Wanita," jawab Rinjani, seraya menyerahkan selembar kertas berisi iklan.

Tak ada jawaban salam dari Karto, Pria itu malah menatap Rinjani dengan seksama dari ujung kaki sampai ujung kepala, tidak ada satupun yang dia lewatkan.

"Tunggu di sini, saya panggilkan dulu Tuan Besar yang punya rumah!," perintah Pak Karto, tegas.

"Baik Pak...," jawab Rinjani, sekali lagi.

Karto terlihat masuk ke dalam rumah, Rinjani pun memutuskan untuk duduk pada anak tangga bagian paling bawah. Halaman rumah itu terlihat sangat asri, angin pun terasa sangat sejuk menerpa sebagian wajahnya yang tak tertutup niqob. Namun siapa menyangka, jika rumah seindah itu memiliki kisah yang tak layak untuk dibanggakan.

Lima belas menit berlalu, akhirnya Karto kembali keluar bersama orang yang dia sebut sebagai Tuan Besar. Rinjani bangkit dari duduknya dan menatap Pria yang sudah tak mampu berjalan tanpa tongkat itu.

"Dia pasti Kakekku..., Heru Barata," pikirnya.

Heru duduk di sebuah kursi, lalu menatap Rinjani yang begitu tertutup termasuk wajahnya.

"Kesini!," perintah Heru, dengan suaranya yang keras.

Rinjani tak gentar mendengarnya, ia memantapkan langkah kakinya dan berhadapan langsung dengan orang yang telah mengurung Ibunya selama bertahun-tahun dan bahkan menyiksanya secara fisik serta mental. Rasa takut itu telah ia buang, benteng keberanian telah ia bangun melalui do'a-do'anya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

"Assalamu'alaikum..., nama saya Rinjani. Saya mau mendaftar untuk bekerja sebagai perawat di sini," ujar Rinjani, merendah diri.

Lagi-lagi tak ada jawaban salam yang ia terima, Heru hanya memperhatikan dirinya seperti yang dilakukan oleh Karto. Ariana keluar dari dalam rumah dengan terburu-buru meski sudah dicegah oleh Ridwan. Wanita itu sudah mendengar bahwa ada yang datang untuk mendaftar kerja menjaga Aisyah.

Rinjani menatap sosoknya yang berdiri sambil berkacak pinggang di hadapannya. Ridwan pun berhenti tepat di belakang Ibunya saat melihat sosok wanita yang mendaftar kerja tersebut.

"Yang ini pasti Bibiku, Ariana..., dan Sepupuku, Ridwan."

"Kenapa wajahmu ditutupi begitu?," tanya Heru.

"Ini niqob..., saya memakainya karena mengikuti sunnah dalam Agama Islam, agar tidak sembarang Pria bisa melihat wajah saya kecuali yang sudah menjadi mahram bagi saya," jelas Rinjani.

"Tapi di rumah ini tidak ada yang boleh menutupi wajahnya. Semua orang harus melihat wajah satu sama lain. Jadi kalau kamu mau bekerja di sini, maka kamu harus melepaskan niqob-mu itu," ujar Heru.

DEG!!!

Bi Inah yang mendengar hal itu dari samping rumah pun, mendadak berkeringat dingin. Ia takut kalau Rindu akan ketahuan jati diri sebenarnya oleh semua orang. Begitu pula dengan Ridwan - yang sudah jelas tahu kalau Wanita itu adalah Rindu - ia pun mendadak berdebar-debar seakan terkena penyakit jantung.

Rinjani tersenyum tenang di balik niqob-nya, ia sudah menduga bahwa hal itu akan terjadi.

"Apakah melihat wajah seseorang akan membuat hatinya ikut terlihat?," tanya Rinjani pada Heru.

Ariana pun menatap tajam ke arahnya.

"Hei!!! Siapa kamu, sehingga berani bertanya begitu pada Romo saya???," bentaknya.

Rinjani balas menatapnya dengan tetap tersenyum.

"Siapa anda sehingga berani melangkahi Tuan Besar yang punya rumah?," Rinjani balik bertanya seraya memperlihatkan ibu jarinya yang mengarah kepada Heru.

Heru tersenyum tanpa disangka-sangka oleh semua orang.

"Cukup Aria!!! Masuk ke dalam!!!," perintah Heru.

Ariana pun tak mampu membalas, ia tak menyangka bahwa Heru akan lebih membela calon pegawai baru daripada dirinya. Ia berbalik untuk segera masuk kembali ke dalam rumah. Ridwan tersenyum diam-diam sejak Rinjani membalik keadaan dengan pertanyaan-pertanyaan retorisnya.

"Kalau kamu tidak melepas niqob-mu, maka kamu tidak akan diterima bekerja di sini," tegas Heru, sekali lagi.

"Maka kalau begitu pekerjaan ini memang tidak ditakdirkan untuk saya oleh Allah. Saya tidak akan menggadaikan prinsip saya hanya untuk mendapatkan sesuatu yang semu di dunia fana ini. Jika demikian, saya pamit. Assalamu'alaikum."

Rinjani berbalik dan berjalan kembali menuruni tangga menuju ke arah gerbang tempat dia masuk tadi. Heru menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya...,

"Tunggu dulu...," cegahnya.

Rinjani tersenyum di balik niqob-nya untuk beberapa saat sebelum ia berbalik kembali menatap Heru yang masih terdiam di tempatnya.

Ridwan dan Bi Inah yang berada di tempat berbeda pun merasakan debaran jantung yang sama. Mereka sama-sama gelisah luar biasa.

"Kamu akan tidur satu kamar dengan orang yang akan kamu rawat. Tugasmu adalah menjaga pintu kamarnya dari dalam, memandikan orang yang akan kamu rawat, membukakan pintu untuk Bi Inah jika tiba waktu makan pagi, siang dan malam, menyuapi makan orang yang akan kamu rawat, pagi, siang dan malam, dan membersihkan kamar yang kamu tempati bersama dengan orang yang kamu rawat. Apa perlu saya ulangi?," tanya Heru.

"Saya sudah ingat semuanya, tugas saya adalah menjaga pintu kamarnya dari dalam, memandikan orang yang akan saya rawat, membukakan pintu untuk Bi Inah jika tiba waktu makan pagi, siang dan malam, menyuapi makan orang yang akan saya rawat, pagi, siang dan malam, dan membersihkan kamar yang saya tempati bersama dengan orang yang saya rawat. Insya Allah akan saya kerjakan dengan baik," jawab Rinjani, tegas.

"Satu hal lagi..., panggil saya Romo Besar!," tegas Heru.

"Baik Romo Besar," Rinjani menuruti apa yang diminta oleh Heru.

"Bi Inah!!!," panggil Heru.

Bi Inah berlari dengan cepat melalui pintu samping dan berhenti tepat di depan Heru.

"Iya Tuan...," jawabnya.

"Tunjukkan kamar Ai padanya, dan bilang pada Karto untuk menyiapkan satu tempat tidur lagi di kamar itu," perintah Heru.

"Baik Tuan."

Bi Inah pun memberi tanda pada Rinjani untuk mengikuti langkahnya, sehingga Wanita itu benar-benar melangkahkan kakinya untuk memasuki rumah yang sudah memisahkan dirinya dengan Ibunya.

'Inilah dia..., awal di mana aku akan membawa Ibu pada kebahagiaannya. Insya Allah.'

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang