EPISODE 28

3.2K 253 4
                                    

RENUNGAN

Rinjani masih sering menangis sendiri di kamarnya, ia menutup wajahnya dengan bantal erat-erat. Kejadian buruk itu telah berlalu selama dua minggu dan Rinjani masih saja merasakan pahitnya. Aisyah, Adam dan bahkan Ariana pun telah membujuknya, namun mereka gagal.

Ridwan pulang dari kantornya dan melihat Ibunya telah menunggu di teras rumah. Ia pun mendekat untuk mencium tangan Wanita itu.

"Assalamu'alaikum Bu," ujar Ridwan.

"Wa'alaikum salam Nak," balas Ariana.

"Kenapa Ibu ada diluar? Seharusnya Ibu ada di dalam dan menoton tv kan?."

"Ridwan..., Ibu mau bicara," ujar Ariana.

"Soal Rinjani?," tanya Ridwan.

Ariana menganggukkan kepalanya.

"Ibu tenang saja, malam ini aku berencana datang ke rumah Paman Adam dan bicara dengannya," ujar Ridwan.

"Rinjani tidak akan mau...," Ariana terdengar putus asa.

"Bu..., percayakan saja padaku," pinta Ridwan.

* * *

Ketika Ariana datang bersama Ridwan dan Bi Inah, Aisyah masih mencoba membujuk Rinjani agar membuka pintu kamarnya untuk makan. Adam terlihat sangat lelah namun tetap mencoba untuk tersenyum. Ridwan tahu betul akan hal itu.

Adam mengajak Aisyah untuk duduk di ruang tamu, ketika Ridwan meminta izin untuk berbicara dengan Rinjani. Ariana tidak bisa duduk dengan tenang, meskipun berusaha.

"Mereka mau membicarakan apa ya kira-kira?," tanya Ariana, gelisah.

"Sabar Mbak, kita tunggu saja...," saran Bi Inah.

"Rinjani belum makan..., dia bahkan tidak mau membuka pintu kamarnya sama sekali," ujar Aisyah, putus asa.

"Sabar Mbak..., kita percayakan saja dulu pada Ridwan," ujar Ariana sambil memeluk Kakaknya.

Tok..., tok..., tok...!!!

"Assalamu'alaikum Rin..., ini aku," sapa Ridwan di depan pintu.

Rinjani hanya menatap pintu itu dari dalam kamarnya dengan kedua mata yang basah karena airmata.

"Wa'alaikum salam...," lirihnya, dan sudah pasti Ridwan takkan mendengar jawaban itu.

Ridwan duduk di lantai sambil bersandar di depan pintu kamar Rinjani. Pandangannya tertuju pada tembok di seberang ruangan yang berwarna putih gading.

"Mas tahu kalau kamu terluka, Mas juga tahu kalau kamu merasa malu. Tapi terus-menerus mengurung diri di dalam kamar bukan jalan keluar yang baik Rin. Kamu di dalam sana merasa terluka..., tapi apakah kamu sadar bahwa diluar sini banyak yang lebih terluka karena kamu mengabaikan mereka?," tanya Ridwan, lembut.

Rinjani turun dari tempat tidurnya dan duduk di balik pintu yang sama dengan Ridwan.

"Bapak dan Ibumu terluka karena kamu tidak pernah menjawab pertanyaan mereka, tidak pernah memakan apa yang mereka bawakan untukmu. Bukankah Orang tua adalah yang paling utama untuk kita muliakan di dunia ini?," tanya Ridwan lagi.

Rinjani menangis mendengar pertanyaan Ridwan, hatinya sakit seakan baru saja dihujamkan sembilu.

"Ibuku juga terluka karena kamu tidak pernah mengangkat teleponnya, tidak pernah lagi bicara dengannya. Bukankah kamu pernah berjanji untuk tidak membiarkannya sendirian?."

Ridwan mendengar suara tangis Rinjani di balik pintu, ia tahu betul bahwa gadis itu berada dekat sekali dengannya meski berbatas oleh pintu karena mereka belum halal untuk duduk berdampingan.

"Aku juga terluka...," ungkap Ridwan.

Rinjani kembali mendengarkan.

"Kamu tak pernah menjawab pertanyaanku saat aku mengkhitbahmu. Kamu seakan menolak kehadiranku dan enggan untuk memulai hidup baru denganku. Aku terluka Rin..., tapi kamu mungkin tak ingin tahu."

"Nggak Mas! Aku nggak pernah berpikir begitu," jawab Rinjani, pada akhirnya.

Ridwan diam dan mendengarkan.

"Aku tahu kamu tulus saat bersumpah akan menikahi aku di depan banyak orang, agar aku tak perlu menanggung aib karena musibah hari itu. Tapi disisi lain aku merasa kotor Mas..., aku hampir diperkosa dan Mas menyaksikan hal itu dengan jelas! Aku malu Mas..., aku malu sama kamu...," ungkap Rinjani, jujur.

"Aku nggak pernah berpikir begitu tentang kamu Rin..., dan kata-kataku tentang akan menikahimu agar kamu tidak perlu menanggung aib juga bukan alasan yang sebenarnya. Aku memang menyukaimu Rin..., sejak awal kita bertemu di teras rumah Romo Kakung," Ridwan mengakui isi hatinya.

"Tapi tetap saja, kamu pasti akan terus mengingat apa yang pernah terjadi padaku Mas," bantah Rinjani.

"Tidak Rin..., Insya Allah aku tidak akan mengingatnya. Aku tidak akan mengungkitnya. Aku tidak akan pernah membuatmu merasa malu Rin..., aku akan menjaga segalanya dengan segenap kemampuanku. Kamu hanya harus mempercayakannya padaku," ujar Ridwan.

Rinjani terdiam. Masih terdengar isak tangisnya di telinga Ridwan.

"Apa Bapakmu pernah menyerah terhadap Ibumu yang dipisahkan dengan paksa oleh Romo Kakung? Apa pernah satu hari saja, Bapakmu tidak berusaha untuk mendapatkan kembali Ibumu dalam kehidupannya? Apa kamu pernah melihat Bapakmu ingin berhenti berjuang?," tanya Ridwan.

Rinjani benar-benar tak mampu menjawab. Ia menutup kedua matanya dan beristighfar dalam hati sebanyak yang ia mampu.

"Aku tidak akan memaksamu Rin..., tapi kalau kamu menolak, tolong katakan langsung padaku. Agar aku segera sadar dan berhenti berharap padamu," pinta Ridwan.

Ia hendak bangkit dari tempatnya bersandar, ketika suara kunci pintu yang diputar terdengar olehnya. Ridwan menunggu.

"Aku mau menikah sama Mas Ridwan...," ujar Rinjani yang masih berdiri di balik pintu tanpa membukanya.

Ridwan tersenyum bahagia mendengar jawaban itu.

"Kalau begitu ayo keluar..., Ibuku, Ibumu dan Bapakmu sudah menunggu di ruang tamu," ajak Ridwan.

"Nggak bisa...," tolak Rinjani.

"Kenapa?," tanya Ridwan, merasa heran.

"Aku..., aku belum mandi...," jawab Rinjani, polos.

Ridwan berusaha sekali menahan tawanya, ia pun segera beranjak menuju ruang tamu.

"Jorok!," sindirnya.

"Aku dengar ya Mas!," protes Rinjani.

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang