EPISODE 6

3.6K 264 9
                                    

MENGGENGGAM

Rinjani meletakkan tasnya di samping ranjang, ia segera meraih tangan Ibunya lalu menciumnya dengan sepenuh hati. Airmata mengalir perlahan di sudut matanya, hatinya begitu teriris perih saat melihat kondisi Ibunya yang begitu lemah.

"Bu..., ini Rindu...," bisiknya ditelinga Aisyah.

Aisyah membuka kedua matanya dan menatap wajah yang masih terbalut niqob tersebut.

"Ri..., Rin..., du...," gumamnya.

"Iya Bu..., tapi Ibu jangan panggil aku Rindu agar tidak ada yang tahu. Panggil aku Rinjani..., Bapak mengubah namaku agar aku aman," jelas Rinjani.

Aisyah menganggukan kepalanya pelan, ia mengerti maksud yang dikatakan oleh Rinjani. Baginya, apapun keputusan Adam adalah yang terbaik untuk Puteri mereka.

"Aku ada di sini untuk merawat Ibu, aku berpura-pura bekerja di sini agar bisa menjemput Ibu. Bapak sedang menunggu kita Bu..., Ibu harus kuat, aku nggak akan meninggalkan Ibu," tambahnya.

Aisyah kembali menganggukkan kepalanya pelan. Rinjani pun segera membereskan pakaiannya ke dalam lemari agar tidak ada yang curiga. Karto mengetuk pintu untuk memasukkan sebuah tempat tidur ke dalam kamar tersebut, Rinjani mempersilahkannya lalu berdiri di sudut kamar sampai Karto selesai dengan pekerjaannya.

Karto menatapnya sebelum keluar dari kamar itu.

"Kamu kaya' setan kalau diam terus seperti itu!," nilainya.

Rinjani tersenyum di balik niqob-nya.

"Bukan urusan anda!," jawabnya.

Karto pun meninggalkan kamar itu dengan wajah penuh kekesalan, Rinjani segera menutup kembali kamar itu dan menguncinya dari dalam.

Ayahnya benar, tidak ada satu orang pun di rumah ini yang benar-benar menunjukkan wajah aslinya. Semuanya palsu, entah siapa yang pengkhianat di antara mereka.

Rinjani mengambil air wudhu lalu melaksanakan Shalat Dzuhur. Beberapa menit kemudian saat ia selesai Shalat, sebuah ketukan di pintu kamar kembali terdengar. Rinjani pun segera memakai niqob-nya.

Wajah Bi Inah terlihat tersenyum ke arahnya, Wanita itu membawakan makan siang untuk Aisyah dan juga Rinjani.

"Ayo..., Nak Rinjani makan dulu. Biar Bibi yang suapin Mbak Ai...," ujarnya, setengah berbisik.

"Jangan Bi..., biar saya saja yang suapi Ibu. Bibi kembali saja ke dapur agar tidak ada yang curiga pada saya. Jangan perlakukan saya seperti kita sudah saling mengenal," pinta Rinjani.

Bi Inah tersenyum dan segera mengusap kedua pipi Rinjani dengan lembut.

"Kamu memang persis seperti Mbak Ai..., tidak sedikitpun kamu berbeda darinya," puji Bi Inah.

"Bibi juga sangat baik karena sudah mau merawat Ibu saya meskipun berada di tengah Neraka seperti ini. Saya belum tahu harus membalas kebaikan Bibi dengan cara apa," ujar Rinjani.

"Nggak perlu..., Bibi cuma melakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawab Bibi di sini. Bibi ke dapur dulu ya..., nanti Bibi ke sini lagi," pamit Bi Inah.

Rinjani menganggukan kepalanya, Bi Inah pun keluar dari kamar itu meninggalkannya bersama Aisyah. Ia pun segera mendekat pada Ibunya dan mulai menyuapinya dengan penuh kasih sayang.

Airmata di sudut mata Aisyah bergulir pelan, entah kenapa dadanya terasa begitu sesak dengan rasa bahagia karena Puteri kesayangannya telah berada di sampingnya. Rinjani menyadari itu dan segera mengusap airmata Ibunya dengan lembut.

"Ibu kenapa?," bisiknya, "..., Ibu kangen ya sama Bapak?," tanya Rinjani sambil tersenyum di balik niqob-nya.

Aisyah menganggukan kepalanya pelan. Rinjani mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto Ayahnya pada Aisyah, kini..., Wanita itu semakin tak mampu menahan isak tangisnya. Perasaannya begitu membuncah antara bahagia dan sedih dalam waktu yang bersamaan. Rinjani sangat mengerti akan hal itu.

"Ibu jangan nangis, nanti Bapak sedih kalau Ibu nangis. Ibu harus kuat, Ibu harus berusaha untuk sembuh agar kita bisa berkumpul lagi seperti dulu. Aku akan terus ada di sini mendampingi Ibu, Insya Allah," janji Rinjani.

Aisyah kembali menganggukkan kepalanya pelan. Rinjani menyimpan kembali ponsel ke dalam bajunya, ia tak boleh ceroboh jika tak ingin ketahuan. Suapan terakhir telah berhasil diselesaikan oleh Aisyah, Rinjani pun membantunya untuk minum agar tidak tersedak.

Pintu kamar kembali diketuk, Rinjani pun segera membuka kunci dan pintu tersebut. Ia melihat Bi Inah lagi - kali ini tak sendiri - ia bersama Heru Barata, Ariana Barata, dan juga Ridwan Barata, yang ingin melihat hasil kerja Rinjani.

"Alhamdulillah..., makanan Mbak Ai habis. Biasanya Mbak Ai tidak terlalu mau makan banyak," Bi Inah senang sekali.

Heru pun mengangguk-anggukan kepalanya saat melihat hal tersebut, Ariana terlihat mencibir sinis, dan Ridwan tersenyum diam-diam dan bersyukur di belakang semua orang. Rinjani memperhatikan orang-orang itu satu-persatu, dan mulai menerka-nerka tentang siapakah pengkhianat yang sebenarnya dalam keluarga ini.

"Bagus sekali, pekerjaanmu sangat bagus. Lanjutkan!," perintah Heru, dengan tegas.

"Baik Romo Besar," jawab Rinjani.

Ariana pergi dengan langkah kesal, sementara Heru pergi dengan santai. Ridwan masih berdiri di tempatnya, lalu melihat-lihat kondisi di sekelilingnya. Ia pun bergegas mendekat ke pintu kamar, dan mengulurkan sebungkus obat pada Rinjani.

"Beri minum Bibi Ai setelah makan pagi dan malam..., harus teratur..., sembunyikan dengan baik...," jelasnya, terburu-buru.

Rinjani masih tertegun di tempatnya berdiri, ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh Ridwan tadi. Bi Inah segera menutup pintu kamar itu lalu menguncinya. Ia menatap Rinjani.

"Seperti yang Den Ridwan katakan, sembunyikan obatnya..., jangan sampai ketahuan. Semua orang di rumah ini tidak diperbolehkan memberi obat pada Mbak Ai, karena mereka tak menginginkan Mbak Ai sembuh," jelas Bi Inah.

Kedua mata Rinjani melotot karena kaget mendengar kenyataan yang sebenarnya dari Bi Inah tentang bagaimana Ibunya yang tidak diperbolehkan minum obat. Ia benar-benar shock saat itu.

"Lalu Ridwan...?," Rinjani bertanya-tanya.

"Sejak Den Ridwan bekerja dan punya uang sendiri, Den Ridwan lah yang selalu membelikan obat untuk Mbak Ai..., itupun dia berikan pada Bibi secara diam-diam atau dia sendiri yang akan memberi Mbak Ai minum obat itu. Untuk mencegah Tuan Besar dan Mbak Aria tahu tentang obat tersebut."

Kedua lutut Rinjani lemas seketika, ia tak mampu menahan diri untuk tak menangisi keadaan Ibunya. Bi Inah mengusap punggung Rinjani untuk memberi kekuatan pada Gadis muda itu, agar lebih bersabar.

Setelah Bi Inah keluar dari kamar dan pintu sudah kembali terkunci, Rinjani pun memberi obat pada Ibunya sesuai takaran yang tertulis. Saat Aisyah kembali berbaring, Rinjani pun mengusap kepala Ibunya dengan lembut.

"A'uudzu billaahi minas syaithaanir rajiim..., Bismillahirrahmanirrahim..., ar raḥmaan..., 'allamal qur'aan..., khalaqal insaan..., 'allamahul bayaan..., asy syamsu wal qamaru biḥusbaan..., wan najmu wasy syajaru yasjudaan*... ."

Wajah Ridwan sudah basah tanpa ia sadari saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari bibir Rinjani. Tak perlu melihat, ia sudah yakin bahwa Wanita itu membacanya tepat di samping Ibunya. Dadanya bergetar hebat tanpa mampu ditahan, seluruh persendian di tubuhnya seakan merapuh secara tiba-tiba.

'Ya Allah..., ampunilah dosa-dosa hamba..., biarkan hamba membayar semua dosa-dosa itu dengan kebebasan Bibi Ai. Berilah hamba kekuatan. Amiin.'

* * *

*Q.S. Ar-Rahman : 1 - 6

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang