EPISODE 4

3.9K 262 5
                                    

MENCOBA

Adam mendengarkan dengan baik apa yang Bi Inah katakan lewat telepon, sementara Rinjani sudah tak sabar menunggu sejak tadi di dekatnya.

"Pak..., Bi Inah bilang apa???," tanya Rinjani untuk yang kesekian kalinya.

"Sabar Nak...," bisik Adam.

Bi Inah mendengar bisikan itu.

"Siapa itu Mas Adam?? Apakah itu Rindu??," tanya Bi Inah.

Dengan berat hati, akhirnya Adam pun menjawab.

"Iya Bi..., itu Rindu."

Adam akhirnya menyalakan loudspeaker di ponselnya, sehingga Rinjani dapat mendengar suara Bi Inah. Bi Inah tiba-tiba memikirkan sesuatu, dan ia merasa inilah saatnya untuk bertindak lain dari biasanya.

"Mas Adam, bagaimana kalau Rindu saja yang mendaftar untuk menjadi penjaga Mbak Ai?," saran Bi Inah.

Adam menatap Rinjani sesaat, dan anak itu terlihat sangat senang dengan ide tersebut.

"Tapi Bi..., itu sangat beresiko untuk Rindu. Bagaimana jika dia ketahuan?," tanya Adam.

"Aku nggak akan ketahuan Pak..., aku pakai niqob dan namaku juga sudah diganti menjadi Rinjani...," rengek Rinjani.

Bi Inah mendengar hal tersebut.

"Mas Adam mengganti nama Rindu?," tanya Bi Inah.

"Iya Bi..., untuk keselamatannya, saya mengganti namanya menjadi Rinjani," jelas Adam.

"Kalau begitu apa yang dia katakan itu benar Mas Adam..., tidak akan ada yang tahu kalau Rinjani adalah Rindu. Apalagi kalau dia memakai niqob, maka akan semakin mempermudah Rindu untuk berada di dekat Mbak Ai," Bi Inah sangat bersemangat.

"Oke..., kemungkinan besar Romo tidak akan mengenali Rindu karena Beliau sudah tua. Tapi bagaimana dengan Aria, Bi? Apakah Aria takkan mengenali Rindu juga seperti Romo?," Adam mencoba untuk tidak mengirim Puterinya ke Neraka.

"Pak..., ini kesempatan kita. Hanya inilah yang bisa kita lakukan untuk Ibu," Rinjani memohon.

Bi Inah menunggu jawaban, Adam merenungi apa menjadi usul dari Bi Inah dan juga merenungi permintaan Rinjani. Ia benar-benar tenggelam dalam dilema besar saat ini.

"Tolong Bi..., beri saya waktu untuk berpikir," pinta Adam.

Bi Inah menutup teleponnya. Ridwan tetap bersembunyi di balik tembok agar Bi Inah tidak tahu keberadaannya. Ia mendengar semua yang dibicarakan Wanita itu di telepon dengan Paman Adam. Ia bahkan mendengar tentang Rindu yang telah berubah nama menjadi Rinjani demi keselamatannya.

"Paman Adam benar mengenai keputusannya mengubah nama Rindu, dan dia juga benar dengan mempertimbangkan lebih dulu ide yang tercetus dari pikiran Bi Inah," pikir Ridwan.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, saatnya bagi Aisyah untuk kembali meminum obatnya. Ridwan pun segera menemui Bi Inah yang sudah berada di dapur untuk memberikan obat itu pada Bibinya.

Bi Inah menatapnya beberapa saat.

"Saya berharap suatu saat nanti Den Ridwan mendapat balasan kebaikan sesuai dengan kebaikan yang Den Ridwan lakukan saat ini," ujar Bi Inah, tulus.

Ridwan hanya tersenyum.

'Seandainya Bi Inah tahu apa alasan saya yang sebenarnya sehingga berkorban begini besar untuk Bibi Ai, mungkin Bi Inah takkan pernah sudi untuk melihat wajah saya lagi seumur hidup. Karena luka yang sudah diberikan takkan pernah sembuh oleh pengorbanan saya yang tidak seberapa.'

* * *

Rinjani benar-benar memohon pada Adam agar bisa menjadi penjaga bagi Aisyah di rumah Keluarga Barata. Adam sendiri sudah gemetar tak terkendali saat memikirkan bagaimana nasib Rinjani selanjutnya jika benar-benar berada di dalam rumah itu.

"Pak..., ini kesempatan emas untuk kita. Jika mereka lengah maka kita bisa membawa Ibu keluar dari sana," bujuk Rinjani.

"Nak..., kamu tidak tahu betapa kerasnya kehidupan di dalam rumah itu. Seandainya Bapak punya kekuatan lebih besar, maka bukan hanya kamu yang Bapak bawa lari tapi juga Ibumu," jelas Adam.

"Pak..., percaya sama aku, di dunia ini tidak ada yang bisa meluluhkan hati manusia selain Allah, kita hanya harus bertawakkal kepada Allah dan juga diiringi dengan ikhtiar. Bukankah Bapak sendiri yang bilang, bahwa Bapak merasa malu terus-menerus berjanji akan menjemput Ibu tapi tak pernah bisa menepati janji itu? Sekarang saatnya Pak..., kita jemput Ibu," sanggah Rinjani.

"Bagaimana dengan Sekolahmu? Bukankah kamu sudah bernazar untuk menghafalkan Al-Qur'an sebelum bertemu Ibumu?," Adam masih berusaha untuk mencegah.

Rinjani tersenyum lembut di balik niqob-nya.

"Pak..., nazarku takkan gugur dan takkan kubatalkan, Allah saksiku. Bahkan urusan Sekolahku juga bisa ditunda, dan Insya Allah akan kulanjutkan setelah Ibu ada bersama kita," janji Rinjani.

Adam menghela nafasnya dengan berat. Ia menyerah, Rinjani memang mewarisi sifat Aisyah yang keras kepala dan sudah jelas Adam takkan pernah menang terhadapnya.

'Ya Allah..., bisakah aku memohon perlindungan-Mu untuk Puteri kesayanganku? Bisakah Engkau menjaganya dikala aku tak mampu menjaganya?.'

* * *

Hari itu akhirnya Adam mengantar Rinjani ke Stasiun Bus, ia menyerahkan sebuah tas berwarna biru pada gadis itu dengan berat hati. Rinjani menyadari itu, ketakutan begitu jelas terlukis di wajah Ayahnya. Maka dari itu, ia pun memeluk Adam dengan erat sebelum masuk ke dalam Bus yang akan ditumpanginya.

"Bapak nggak perlu khawatir, aku akan menjaga diri. Do'akan aku dan Ibu agar bisa secepatnya kembali pada Bapak. Lalu kita berkumpul lagi, bagaimanapun keadaannya nanti," pinta Rinjani.

Adam meneteskan airmatanya dan membalas pelukan itu seakan tak ingin melepasnya.

"Pasti Nak..., Bapak pasti akan selalu mendo'akan kamu dan Ibumu. Jangan lupa telepon Bapak," Adam pun balas meminta.

Rinjani tersenyum lalu menganggukan kepalanya dengan mantap.

"Ingat, di rumah itu ada Kakekmu namanya Heru, ada Bibimu namanya Ariana, ada Sepupumu namanya Ridwan, ada Bi Inah dan ada tukang kebun namanya Pak Karto. Kamu harus mewaspadai Kakekmu, Bibimu, Pak Karto, dan Ridwan. Kita tidak tahu siapa pengkhianat berkedok keluarga di dalam rumah itu," Adam sekali lagi memberi peringatan.

"Baik Pak, aku akan mengingat semua yang Bapak katakan. Aku akan sangat berhati-hati saat berada di sana," balas Rinjani.

Bus mulai berjalan meninggalkan Stasiun ketika Rinjani duduk di kursi yang sesuai dengan nomor tiketnya, Adam melambaikan tangannya pada Rinjani yang menatapnya di balik jendela. Rinjani pun membalas lambaian tangan itu, diam-diam ia terisak di balik niqob-nya. Hatinya bersedih karena harus jauh dari Ayah yang begitu dicintainya untuk pertama kali.

'Ya Allah..., aku berikhtiar dan bertawakkal kepada-Mu untuk mempersatukan kembali keluargaku. Aku memohon perlindungan kepada-Mu untukku, dan untuk kedua Orangtuaku. Amiin.'

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang