• 4 •

7.3K 712 58
                                    

Jaerin membuka matanya pelan, menatap langsung ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Hari ini adalah hari minggu, ia lekas bergegas. Bangkit dari futon tipisnya dan duduk sesaat. Menatap sekeliling dan menghela nafas berat.

"Ck! Aku lelah sekali," keluhnya lalu kembali membanting tubuhnya di atas futon dan menatap langit-langit apartemen sempitnya.

"Jeon Jungkook," gumam Jaerin tanpa sadar membuat gadis itu membulatkan matanya setelah merapalkan nama pria itu.

"Wah ... Kurasa aku mulai gila," kata Jaerin lantas bergegas bangun, masuk ke kamar mandi untuk pergi menjenguk Ayah dan Ibunya.

Tak butuh waktu lama, Jaerin sudah siap dengan balutan celana kulot berwarna putih, kemeja polkadot yang dimasukkan rapih, dan juga sepatu snikers kesukaannya. Ia meraih tas selempangnya dan berjalan riang keluar dari tempatnya yang ... Ya, bisa dikatakan sangat kecil dan kumuh.

Jaerin berjalan pelan, menapaki satu persatu anak tangga agar bisa mencapai jalan raya. Sesekali bersenandung dan memikirkan hal-hal yang rasanya mustahil untuk ia bisa dapatkan. Cinta, misalnya. Gadis itu tersenyum miris, Jaerin bahkan tak percaya pada hal-hal semacam itu.

Terlebih saat kenangan buruknya dengan kakaknya kembali memenuhi kepalanya.

Hari itu adalah musim semi setelah musim dingin melanda beberapa bulan. Jaerin baru saja menyelesaikan ujian kenaikan kelasnya dan akan segera pergi untuk makan siang bersama Lee Dongjoo, kakaknya yang usianya 10 tahun lebih tua darinya. Pria itu bekerja di rumah sakit yang sama dengan Jin sebagai ahli bedah. Saat itu, kala kedua kaki Jaerin berhasil menapaki sisi jalan raya, ia bisa lihat bagaimana Dongjoo melambai sambil tersenyum ke arah Jaerin dengan balutan jas putih seragam rumah sakitnya. Pria itu berdiri di sebrang dan berjalan pelan saat lampu menyala merah, berniat menghampiri adik kesayangannya sampai sebuah mobil sport keluaran terbaru menerobos lampu merah.

Jaerin melihat semua adegannya dengan jelas, bagaimana mobil berwarna hitam itu menghempas tubuh kakaknya keras hingga menimbulkan suara tabrakan cukup keras. Jaerin memekik bahkan menerobos ke tengah jalan saat mobil itu melesat pergi setelah menabrak kakaknya dan melindas pergelangan tangan kanannya. Ia ingat betul, bagaimana pria tampan itu tersenyum saat Jaerin memeluknya, mengatakan pada Jaerin bahwa ia baik-baik saja sebelum matanya tertutup.

Jaerin panik saat orang-orang mulai menghubungi ambulan, ia mencoba menghentikan pendarahan yang terjadi pada kepala, hidung, mulut, dan juga telinga kakaknya. Tapi Jaerin tak pernah menyangka jika hari itu ... 1 minggu sebelum dirinya naik ke kelas 3, adalah hari di mana kakaknya pergi. Bukan untuk sementara tapi selamanya, memaksa Jaerin untuk bekerja lebih keras sebab ia harus menemukan Ibunya yang terkena gangguan mental mengingat Dongjoo sangat berarti bagi mereka.

"Haah..." Jaerin menghela nafas saat ia menyadari bahwa kini kedua kakinya sudah mendarat di pintu utama sebuah rumah sakit.

"Nona Lee?" Jaerin tersenyum lantas membungkuk hormat pada dokter yang menangani Ayahnya, "Ah ... Selamat pagi, dokter," kata Jaerin ramah.

"Eum ... Sebenarnya, ada hal penting yang harus kukatakan padamu." Jaerin menautkan alisnya menatap dokter itu.

"Perawatan Ayahmu dihentikan sementara." Mata Jaerin membulat seketika, ia menggeleng tak percaya lalu melihat sebuah ranjang rumah sakit di dorong keluar dari ICU dan itu milik Ayahnya.

"T-tapi kenapa?" kata Jaerin sambil sesekali melirik pada sang Ayah yang kini dimasukkan ke dalam ruang rawat biasa.

"Ini keputusan rumah sakit, Nona. Kau belum menyelesaikan administrasi sejak Ayahmu dilarikan kemari. Ini sudah 1 minggu dan kami sudah menanganinya selama ini. Aku juga tidak bisa membantu banyak karena—"

[M] Mr. DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang