• 11 •

4.5K 620 118
                                    

Pagi itu, 2 hari setelah kepergian Ayahnya pada akhirnya Jaerin kembali ke apartemen Jungkook. Kendati mereka sudah tak bertemu selama kurang lebih 1 minggu tapi ia mencoba bersikap seolah tak terjadi apa pun. Satu hal. Jungkook pasti sibuk di kantor, mengingat pria itu juga seorang CEO di sebuah perusahaan besar Korea. Tentu tak akan mudah baginya untuk membagi waktu antara mengajar, menjadi pemimpin, juga bersama Jaerin, bukan?

Ia kembali ke sekolah, hidupnya terasa masam dan makin pahit saat Jungkook tiba-tiba menghilang. Belum lagi keadaan Ibunya yang makin parah, keadaan jiwanya makin memprihatinkan sejak kematian Ayahnya membuat dokter melarangnya untuk menemui sang Ibu untuk beberapa hari ke depan.

"Hai ... bagaimana keadaanmu?" Jaerin yang saat itu sedang duduk di kursi penonton lapangan basket indoor lekas memutar kepala, menatap Jimin yang datang dengan menawarkan jutaan kehangatan di tengah hatinya yang membeku. Ia menghela nafas lalu menyandarkan kepalanya pada bahu sahabatnya, memejam erat sebab dirinya yang belakangan kurang tidur; semenjak Jungkook menghilang dan Ayahnya meninggal.

"Aku baik, Ji. Tidak perlu cemas." Jimin tersenyum manis, mengulurkan lengan kanannya, membawanya untuk melewati bahu Jaerin sebelum merangkul gadis itu hangat, "Kau tidak tidur?" Jaerin menggeleng pelan.

"Suara teriakan Ibuku terus menghantui kepalaku, Ji. Aku tidak bisa tidur." Jimin mengecup puncak kepala Jaerin lalu menempelkan pioinya pada helaian rambut si jelita, "Kalau begitu tidurlah sebentar." Ia mengangguk, mengiyakan perkataan Jimin lalu memejam sebelum otaknya kembali dirambati oleh sebuah topik yang belakangan menghantui dirinya.

"Ji ... Apa kau mengenal Jeon ssaem sudah lama?" Jimin menggeleng, mengeratkan dekapannya pada Jaerin sebelum membuka suara, "Tidak. Hanya semenjak dia menggantikan seorang guru di sini. Kenapa?"

Jaerin menggeleng pelan, lalu menggerakkan kepalanya; mencari posisi nyaman pada bahu si pria, "Menurutmu. Apa dia sudah menikah?"

"Entahlah, Jae ... Usianya saat ini 25 tahun. Bisa sudah bisa belum. Kenapa tiba-tiba membahasnya? Ah ... Atau jangan-jangan kau menyukainya ya?"

Lebih dari itu, Ji. Aku mencintainya.

"Tidak. Sudah lupakan, jangan berisik. Aku mau tidur," katanya lalu mulai memejamkan mata. Tapi belum sempat ia tenggelam dalam dunia mimpi, seseorang lebih dulu masuk ke lapangan dan berdiri di samping Jimin.

"Nona Min. Ada apa?" Yoorim terkekeh, tak bohong jika ia sangat senang melihat Jaerin bermanja-manja pada Jimin yang ia tahu adalah sahabat Jaerin sejak kecil.

"Maaf mengganggu kencan kalian. Tapi guru Jang mencarimu, Jae." Alis Jaerin terangkat seketika, menatap Jimin sekilas ia buru-buru bangkit dan meregangkan otot-ototnya, "Kau membuat ulah lagi?" tuduh Jimin yang lekas mendapat pelototan tak terima.

"Kau pikir aku biang masalah. Sudahlah aku pergi dulu, jangan merindukanku, eoh?" kata Jaerin lalu menepuk bahu pria yang notabenenya adalah sang guru. Yoorim terkikik geli lantas mengekor di belakang Jaerin.



Jaerin mendengus kesal, dengan tumpukan buku di dekapannya ia melangkahkan kaki menuju ruangan Jungkook. Tanpa bantuan siapa pun, Jaerin membawa tuga-tugas seluruh teman sekelasnya untuk dikumpulkan di meja yang ada di ruangan Jungkook dan itu adalah ulah guru Jang; salah satu guru menyebalkan yang terus mengincarnya.

Jaerin mendorong pintu itu dengan satu kakinya lantas melangkah masuk, menendang pintu sedikit hingga tertutup lantas masuk. Meletakkan tumpukan buku di meja sebelum menghela nafas dan membanting diri di atas sofa.

Ia menatap sekeliling, memperhatikan bagaimana rapihnya ruangan yang kerap kali menjadi saksi bisu dari penyatuan dalam antara dirinya dan Jungkook. Mengingat bagaimana gagah dan perkasanya Jungkook saat ia kembali menghentak lubangnya di ruangan itu, menyisahkan desahan-desahan tertahan sebelum akhirnya melenguh karena kenikmatan kembali melebur rahimnya.

Jaerin terkikik pelan, miris akan hidupnya sendiri sebelum ia bangkit berdiri. Berjalan mendekati meja kerja Jungkook, di mana kertas-kertas tertata rapih di samping buku-buku tugas muridnya. Ia tersenyum simpul, menatap plakat nama Jungkook terpasang di atas meja. Jaerin berniat pergi, menyudahi kegiatannya mengagumi dan mengingat si pria Jeon itu tapi ... segala niatnya hancur. Lebur begitu saja manakala kedua mata Jaerin menangkap selembar kertas yang menarik hatinya.

'Biodata guru pengganti.'

Jaerin meraihnya pelan, tersenyum saat melihat lembar pertama di mana tertulis identitas lengkap Jeon Jungkook mulai dari nama sampai bagian detail yang tak pernah Jaerin tahu; termasuk hobi. Puas membaca seluruh isi lembar pertama, ia beralih membaca lampiran lembar kedua, senyumannya memudar begitu saja pun matanya yang mendadak berhiaskan air bening.

'Biodata keluarga.'

Istri : Yoon Seojung (24 tahun)

Anak : Jeon Ayeong (4 tahun)

Tepat saat itu, rasanya dunia Jaerin benar-benar hancur lebur. Tubuhnya mendadak lemas hingga ia akhirnya terhuyung mundur dan jatuh, menabrak kaki meja membuat sebuah vas bunga jatuh dan pecah.

PYAARR!!

Pandangan Jaerin kosong, sementara tangannya setia meremat kertas bidata itu.

Istri.

Dan seorang putri.

Jungkook memiliki keluarga.

Dan Jaerin berdiri di antara mereka.

Ia terisak kuat, menyadari bahwa lelehan darah mengucur dari siku sebelah kanannya sebab pecahan kaca sempat menimpa lengannya. Ia melepaskan kertas itu lalu menggosok-gosok lukanya. Satu hal ... Jaerin membenci darah, semenjak tragedi tabrak lari kakaknya. Ia terisak keras saat darah itu mengucur makin deras kala ia menggosok kulitnya yang sudah robek sampai derit pintu terdengar menyapa rungunya.

"Sayang? Kau di sini?" Jaerin mengenalnya. Itu suara Jungkook. Ia lekas berdiri, menutupi sikunya yang berdarah lalu membungkuk pelan sekali pun kepalanya tetap tertunduk.

"Maafkan aku ... Aku permisi, guru Jeon," ucapnya lalu berlari begitu saja. Jungkook sempat bingung, lalu melihat kertas biodatanya berhiaskan darah dan pecahan vas. Matanya membulat, jantungnya berdegup gila sebelum ia berlari mengejar Jaerin.

Sementara itu Jaerin terus memacu kakinya berlari, air matanya tak berhenti berderai dengan rasa sesak membakar dadanya. Jaerin terlampau kecewa, terlewat sakit hati hingga ia mampu membiarkan rasa perih di tangannya terasa masuk hingga dadanya.

Memacu langkahnya cepat, menyusuri koridor yang sepi. Ia lekas merogoh ponselnya, sesekali menatap ke belakang guna memastikan bahwa Jungkook tak berhasil menangkapnya.

Jaerin terisak makin keras saat panggilan teleponnya dijawab.

"Halo Jae?"

"Hiks ... Tae, kau di mana?"

"Jae? Kau menangis? Ada apa?"

"Katakan kau di mana?!"

"Aku ada meeting di cafe dekat sekolahmu."

"Hiks ... Jemput aku-- hiks ... Di pintu belakang." Ia terus memacu langkahnya, terus berlari hingga ia berhasil keluar dari area sekolah dari pintu belakang.

"A-aku membutuhkanmu, Tae-- hiks ... tolong aku."

"Tunggu di sana. Aku akan segera datang." sambungan telepon putus. Jaerin menyandarkan punggungnya pada tembok bagian luar pintu belakang. Tubuhnya merosot jatuh sebelum ia kembali terisak, "Hiks ... Aku membencimu, Jeon ... Sangat."





"Ada apa Jae?"

"Kau tahu jika Jungkook memiliki istri dan seorang putri?"

" ... "

"Aku menemukan pembunuh kakakmu, Jae. Aku akan mengatakan semuanya." []
















WOHOOOO ... aku kasih clue tuh di akhir part :")) yuk tebak bakal ada apa di next part 😉😉

See you 💞💞

[M] Mr. DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang