11. Broken Heart; Patah hati
...
"Bersediakah engkau, Irene De Steir untuk menerima Tristan Ellard, sebagai suami untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kalian, sesuai dengan hukum yang kudus dan inilah janji setiamu yang tulus."
Ya, kalimat itu hingga terulang dua kali dari bibir sang pastur, bukan hanya pada pendengaran Irene, melainkan semua tamu yang saat ini tengah menatapnya was-was.
Stephen, yang sedari tadi memilih untuk menikmati jalannya acara, kini ikut menarik napas tegang. Tampak ratu Kate Lionel menarik lengan Carl Lionel yang berbalut jas hitam dengan mengangkat alisnya tinggi-tinggi dan hanya di balas dengan usapan lembut pada punggung tangan wanita paruhbaya itu.
Sedangkan, kedua calon mertuanya saling beradu pandang cemas akan situasi ini. Sang ayah tengah mengepalkan tangan dan merapatkan rahangnya menatap anak sulungnya nanar. Berbeda dengan Eleanor yang beberapa kali menghebuskan napas gusar. Begitu juga Karlene, yang menatap sendu kakaknya itu dengan menggigit bibir bawahnya.
Bukankah, seharusnya Irene bahagia sekarang?
Steffan memperhatikan Tristan yang tengah menatap Irene penuh arti. Dua bola mata hitam legamnya segera terarah pada gadis yang hanya diam menunduk, seakan ada pemandangan yang memusatkan pikirannya di bawah sana. Seharusnya mempelai pria yang saat ini berdebar—nyatanya Steffan yang yang tak memiliki peran penting dalam kehidupan Irene—ikut bergetar dan berkeringat dingin. Entah antara tak terima Irene menikah dengan pria itu atau karena situasi tegang tersebut.
Empat menit berlalu, Tristan meraih pergelangan tangan Irene lembut, mengatakan secara tak langsung jika semua orang tengah menanti jawabannya
Irene menengadahkan, menarik napas dalam sebelum akhirnya kalimat pastur terpaksa terucap.
"Saya Irene De Steir, bersedia menerima Tristan Ellard sebagai suami, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus."
Wajahnya merah padam, bibirnya bergetar menahan tangis. Kedua tangannya meremas kuat bouqet bunga yang kini hampir tak berbentuk pada bagian bawahnya.
Semua tersenyum lega setelah melewati detik-detik mencengangkan. Davidson Steir yang hampir saja melangkahkan kaki menuju anak sulungnya itu—kini menghembuskan napas lega sambil mengusap dada.
Tanpa Irene ketahui, jawaban itu membuat seseorang di sana harus berusaha menetralkan keadaan batinnya saat ini.
Ekspresi itu tertangkap basah oleh Stephen yang tak sengaja membuang tatapan ke arah pria di sampingnya. Stephen yang tadinya mengulum senyuman lega, secara perlahan sunggingan di bibirnya pun sirna. Pandangan Steffan seakan menuntun irisnya kepada sosok gadis yang tengah bertukar cincin dengan mempelai pria.
Steffan hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Dia pun tak tahu apa yang harus dilakukan, pasalnya gadis itu baru saja menjadi hak orang lain.
Telapak tangan Stephen mendarat pada bahu Steffan, bermaksud menenangkan sang kakak malah justru mendapat respon tak terduga dari Steffan.
"Jauhkan tanganmu."
Ingin rasanya kaki panjangnya melangkah menjauh dan menghilang dari situasi menyebalkan. Steffan tak henti-hetinya mengatur seluruh napas guna untuk menetralkan mata dan hatinya yang begitu panas.
Riuh tepuk tangan terdengar meriah setelah acara pemberkatan, kini kedua insan yang saling berhadapan terdiam guna melakukan aksi selanjutnya. Mereka bukanlah anak kemarin sore yang tidak tau apapun tentang pernikahan, tentu jelas mereka ingat akan ada saatnya dimana sang pengantin memanggut mesra bibir pasangannya. Sialnya, Irene harus melakukan itu. Mungkin sebagian orang berpikir, jika Irene terlihat baik-baik saja, namun dalam hati yang paling dalam—Irene benar-benar muak.
Kepalanya menunduk, mengalihkan tatapan dari Tristan. Irene sama sekali tak mau melakukan ciuman itu. Bukan hanya sekarang, tapi juga nanti. Irene berjanji pada dirinya sendiri, jika bibir yang Ia punya hanya boleh disentuh oleh orang terkasih. Not for Tristan!
"Kiss her!" Seseorang berteriak kencang disaat keadaan sedang sunyi. Dia kerabat dekat Tristan, lelaki itu tersenyum licik seakan memberikan tantangan pada Tristan. "C'mon, boy!"
Irene menggenggam erat tangan Tristan, lantas menggeleng pelan. Sungguh, untuk yang pertama dan terakhir, Irene menatap lelaki itu dengan tatapan memohon. Bahkan, kepalanya sampai menggeleng kecil. Tahu bagaimana ekspresi Tristan? Lelaki itu malah melebarkan senyumanya. Entah mengapa, tatapan mohon Irene membuat Tristan semakin ingin mencium gadis itu. Oh, lihatlah betapa lucunya kelinci ini.
Ya, lelaki tetaplah lelaki. Kesempatan tidak datang dua kali, bung. Ini waktu yang tepat mencicipi bibir mungil gadis tersebut. Jika bukan sekarang kapan lagi? Tristan bukanlah orang bodoh yang sulit mengartikan sebuah pandangan seseorang. Tristan tahu jika Irene sama sekali tak suka rencana perjodohannya, berulang kali gadis itu mencoba menghindar dan selalu memberikan tatapan maut. Namun, ingat, Tristan bukanlah tipikal pria yang mudah melepaskan apa yang seharusnya Ia miliki. Tak peduli, Irene suka atau tidak. Irene harus menjadi milik Tristan seutuhnya.
Maka dari itu, diluar pernikahan ini, apa bisa Tristan menciumnya? Tentu saja tidak. Bisa-bisa pipi mulusnya memerah akibat tamparan Irene. Jika bukan sekarang, kapan lagi?
"No..."
Tristan tersenyum mendengar lirihan Irene. Tangannya mengelus pelan permukaan lengan Irene, guna menyalurkan ketenangan. Namun, nampaknya Irene salah mengartikan itu. Semakin Tristan mengunci lengan Irene perlahan, semakin takut pula ekspresi Irene. Wajah dingin dan anggunnya hilang dalam sekejap.
"Tenang, Tuan Puteri-ku. Ini hanya sebuah ciuman..."
Irene tetap menggeleng. Entah itu ciuman apapun, Irene tidak akan sudi jika Tristan yang melakukannya.
"Ayolah, kalian membuat kami penasaran!"
"Tidak usah malu, Tuan Puteri Irene. Lakukan saja,"
"Ya, benar. Setidaknya kalian latihan dulu sebelum malam tiba." Perkataan dari salah seorang gadis mengundang tawa, lelucon yang menarik disela-sela rasa penasaran mereka.
Berbeda dengan Steffan yang sudah kebanjiran keringat dingin, menganggap lelucon itu sampah.
"Pangeran Tristan, kau berhak menciumnya." Kini, giliran sang pastur turun tangan, nampaknya pria tua itu juga tidak sabar melihat kemesraan Tuan Puteri dan Pangeran ini.
Mereka memang menggemaskan, terlihat gugup dan malu-malu.
Suasana mendadak hening ketika Tristan mencoba mendekatkan wajahnya ke hadapan Irene, tak disangka genggaman Irene semakin kencang seperti mencengkram. Tak peduli lengan Tristan akan berdarah atau meringis kesakitan, hanya itu cara satu-satunya agar Irene terbebas dari ritual ini.
Namun, Tristan tak gentar. Lelaki itu masih saja fokus menatap bibir ranum Irene, nafsu birahinya seakan tergoda hanya dengan memandang. Pikiran Tristan sudah kacau, bagaimanapun caranya Tristan harus mencoba. Dibilang pasrah tidak, tapi Irene sudah tak terlalu memberontak seperti tadi. Bahkan, Gadis itu menutup mata, tak ingin melihat adegan tersebut. Irene tak mau pandangannya ini merekam kemudian teringat saat Irene melamun.
Tak lama, jarak sudah terikis. Jantung Irene berpacu bukan karena senang atau apapun, tapi Irene takut. Irene takut akan membenci dirinya sendiri karena tak berani menolak.
Perlahan genggaman Tristan terlepas, menjadi ke dagu Irene. Ya, Tristan begitu pemaksa. Sampai waktunya tiba, wajah mereka sudah dekat dan siap berciuman. Dan—UHUK! UHUK!
Namun, sial beribu sial.
UHUK! UHUK!
Suara batuk menggelegar seluruh ruangan, sontak hal tersebut membuat semua orang mengalihkan pandangan pada lelaki tampan bersurai coklat gelap. Ciuman pun batal.
UHUK! UHUK!
...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALITHEIA [Vrene Version]
FanfictionDalam kamus Yunani kuno, kata Alitheia diartikan sebagai kata sejati. Sama persis seperti sebuah kisah dari dua insan yang dipertemukan kembali saat dewasa. Semua manusia yang hidup di dunia sama saja, bukan? Mereka sama-sama memiliki perasaan, pik...