Kampung Damai

424 88 140
                                    

Sunyi... Malam yang sepi. Udara dingin menyengat, menelusup ke dalam pori-pori. Pukul 02.30 dini hari, adalah waktu paling indah untuk berkelana dalam dunia mimpi. Sekaligus, waktu paling mustajabah untuk bersujud meminta segalanya kepada sang Illahi. Namun, hanya beberapa orang saja yang dapat terjaga di saat-saat seperti ini, hanya hamba Allah yang terpilih.

Aira tengah duduk khusyu di rakaat terakhir shalat tahajjudnya. Beberapa saat kemudian ia mengucapkan salam sembari menengok ke kanan serta kiri. Telapak tangannya mengusap wajahnya perlahan. Aira merasakan ketenangan yang luar biasa. Selepas berdzikir beberapa menit, ia bangkit dan melipat mukenanya dengan rapi. Ia akan memasuki kamar mandi jika ponselnya tak seketika berdering nyaring. Senyumnya tersungging bahagia, ketika nama seseorang tertera di layar handphone nya.

“Assalamu’alaikum, a Rois. Gimana kabarnya?” tanya Aira bersemangat.

“Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah baik, De. Kamu sendiri gimana? Nanti pagi jadi kan ke sini?”.

“Alhamdulillah baik juga. Jadi atuh a, masa gak jadi. Kenapa nelpon malem-malem?, tumben ih”.

Rois tertawa kecil, “Enggak, aa lagi kangen aja sama adek aa yang cantik dan shalilah”.

Kini giliran Aira yang tertawa, “Apa geh, gombal aja kau!”.

“Mending digombalin sama aa kan daripada sama cowok lain?”.

“Ih ya Allah, jangan sampe dah Aira digombalin sama cowok-cowok”.

Rois tertawa kembali, “Eh, Ayah sama Bunda mana, De?”.

“Masih tidur kayaknya”.

“Oh ya udah. Bunda beneran gak ikut?”.

“Iya, katanya mau jaga rumah, takut ada yang gotong”.

Rois tertawa untuk yang ke sekian kalinya. Suara tawanya semakin keras. “Ya udah atuh, kamu tidur lagi aja, masih malem ini”.

"Engga ah, Aira mau mandi aja. Mandi di sepertiga malem itu, bagus buat kesehatan, a!”.

“Hm iya-iya! Ya udah ya, mau lanjut ronda. Daah, assalamu’alaikum!”.

“Wa’alaikumussalam”.

Panggilan pun diakhiri. Aira menghela napas lembut dan tersenyum dengan lembut pula. Dirinya tiba-tiba diserang ribuan rindu. Rindu pada kakaknya yang tengah berjihad di jalan-Nya. Menuntut ilmu di Pondok Pesantren adalah impian Aira sejak kecil, ia ingin sekali bisa menghafal Al-Qur’an dan memberikan mahkota kepada kedua orang tuanya kelak di akhirat. Tetapi, Bunda tak tega melepasnya hanya karena Aira adalah anak perempuan. Awalnya memang Aira sangat sedih, namun akhirnya ia menerima. Apa yang dikatakan orang tua, terutama seorang Ibu, insyaallah tak akan salah. Karena Ibu lebih tahu mana yang terbaik bagi anaknya. Lagi pula, Aira masih bisa menghafal di rumah.

Aira meletakkan ponselnya di atas nakas, kemudian meraih handuk dan memasuki kamar mandi.

***

Aira mencium punggung tangan Bunda, dibalas oleh kecupan ringan penuh kasih sayang mendarat di pipi kanan dan kiri Aira.

“Bun, Aira sama Ayah, berangkat dulu ya,” ucap Aira setelah menyaksikan Ayah melayangkan kecupan di kening Bunda, dan saling memeluk satu sama lain. Dalam hati Aira terbesit rasa sedih. Meski hanya beberapa hari, tetapi Aira tak terbiasa berpisah dengan Bunda. Begitu juga wanita separuh baya itu. Ia menyunggingkan senyuman tulus demi membuat Aira tersenyum juga. Walau begitu, kesedihannya tetap tak dapat disembunyikan.

“Iya, sayang. Hati-hati ya! Bilangin ke si aa, Bunda minta maaf, gak bisa ikut jenguk,” Bunda membelai lembut kepala Aira yang dibalut jilbab cokelat panjang.

[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang