Akankah Rasa Menenggelamkan Asa?

256 39 186
                                    

“Sarie, sarie, sarie!”.

Drap…drap…drap

Santri senior yang rata-rata memiliki badan tinggi, berlari menggunakan kaki jenjangnya memasuki ruangan serba guna. Mereka adalah para pengurus OPPM dan Koordinator, pengemban amanah yang mana ikhlas menjadi modal terbesar bagi mereka. Tak ikhlas, maka tidak akan pernah ada kata tuntas dalam melaksanakan tugas. Ustadz-ustadz Pembina merekalah yang meneriakkan kata ‘Cepat’ beberapa kali menggunakan Bahasa Arab.

Rois berbaris rapih di bagian depan. Buku-buku bekas kelas malamnya masih aman dalam dekapan. Seluruh santri pengurus OPPM dan Koordinator telah kumpul. Berbaris rapat, rapih tanpa celah. Mata menatap ke depan. Hanya tertuju pada Ustadz Pembina yang sudah bersiap akan memberikan pengarahan mengenai acara puncak khutbatul arsy yang akan dilaksanakan sekitar 5 hari lagi.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh!”.

Serempak, seluruh santri menjawab salam dengan kompak.

Kayf halk?”.

Alhamdulilah, 'ana bikhayr!!”.

“Alhamdulillah…,” Ustadz Pembina melanjutkan, “Sebentar lagi, acara puncak khubatul arsy akan segera dilaksankan…”…

Rois melirik seseorang di sebelahnya. Orang itu adalah Aldam. Kejadiannya bersama Said di asrama, membuat Rois ingin bertanya. Sebenarnya ini masalah lama, yang menumpuk dalam pikirannya. Sesuatu yang terlampau ingin Rois ketahui jawabannya. Banyak sekali tanda tanya dalam benaknya, hingga seakan-akan tanda tanya itu terus bertambah, berkembang biak dan sewaktu-waktu akan meledak.

“Syuut! Aldam!” Rois memanggil orang di sebelahnya dalam heningnya suasana karena seluruh santri tengah mendengar arahan Ustadz Pembina secara seksama.

Aldam menoleh, keningnya mengernyit, bertanya ‘kenapa?’ menggunakan dagu yang terangkat sedetik.

Rois melirik ke depan, Ustadz Pembina masih berbicara tidak mempedulikannya. Aman!

Rois membuka mulutnya, namun tidak ada suara yang keluar dari sana. Hanya gerakan-gerakan mulut yang dapat Aldam tangkap. Itu membuat kernyitan di dahinya semakin mendalam. Dagunya menjadi lebih sering terangkat, dengan mata memicing tidak mengerti. Aldam memeragakan sesuatu, seolah bertanya, ‘Apa maksudmu?’.

Rois baru akan menjawab ketika suara dehaman tajam Ustadz Pembina terdengar menusuk lubang telinganya.

“Muhammad Roisul Amin? Ada yang salah?” tanya Ustadz Pembina. Matanya memicing, tajam sekali.

Rois meneguk salivanya, tegang. Tubuhnya menegak lurus, “Afwan, tidak ada apa-apa, Ustadz!”.

Ustadz Pembina menarik napas yang membuat Rois justru menahan napas. Sejurus kemudian, Ustadz Pembina melanjutkan kembali arahannya. Rois dapat menghela napas tenang. Diliriknya lagi Aldam yang tengah cekikikan, Rois memutar bola mata, bergeser sedikit mendekati Aldam, tepat di telinganya Rois membisikkan sesuatu. Sesuatu yang membuat Aldam membelakkan kedua bola matanya.

“Ane tau, sesuatu yang lagi ente tutup”.

Aldam melirik Rois dengan mata terbuka lebar. Yang dilirik hanya tersenyum 90 derajat.

“MUHAMMAD ROISUL AMIN?!”.

“Si-siap, Ustadz!”.

***

Sepertinya ke Bapenta selepas kelas malam adalah ide yang keliru. Zelda berdiri mematung di depan teras Bapenta akhwat yang teramat sepi, tak ada satupun orang. Salah mengambil keputusan. Jika tau akan seperti ini jadinya, seharusnya ia ke matbakh dahulu tadi sebelum kelas malam, bukannya menyendiri di asrama ditemani tumpukan buku-buku. Perutnya merengek, namun Zelda tak tau harus apa selain memeganginya, mengelusnya, berusaha berbicara dengannya, ‘mohon bersabar dulu’.

[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang