Aira tengah memasukkan mukena putihnya ke dalam tasnya ketika seorang wanita separuh baya menghampirinya. Kini, Aira sudah berada di dalam Bapenta, tempat wali murid yang ingin menjenguk anaknya. Tempatnya begitu nyaman. Sudah disiapkan kasur, kamar mandi, dan yang paling membuat Aira betah adalah, laki-laki dan perempuan dipisah. Ya, walau akhirnya Aira dan Ayah harus berada di tempat yang berbeda.
“Mbak, dari mana?” tanya wanita separuh baya itu sembari menunjukkan sunggingan senyum ramahnya.
Aira turut tersenyum, “Dari Pandeglang, Bu. Ibu dari mana?”.
“Oh Pandeglang, bisa bahasa Sunda dong? Ibu dari Bandung”.
Senyum Aira melebar, “Ya bisa sih, Bu. Tapi beda kan sundanya sama sunda Bandung”.
“Gapapa, yang penting bisa kan. Kalo gitu, Ibu panggil Neng aja atuh, jangan Mbak ya?”.
Aira tertawa kecil, “Iya, Bu, boleh.”
“Eh, belum kenalan. Nama Ibu, Rahmah. Panggil Ibu aja tapi, jangan Rahmah!”.
Aira tertawa kecil lagi, “Iya, Bu. Nama saya, Aira Putri Molydina. Biasa dipanggil Aira”.
“Masyaallah, nama yang cantik seperti orangnya,” Bu Rahmah tersenyum lebar yang kemudian dibalas oleh senyuman manis dari bibir Aira.
“Ibu, jenguk anak tah?” tanya Aira ramah.
Bu Rahmah mengangguk, “Iya, Neng. Lebaran idul fitri kemaren kan dia gak pulang. Kamu nengok siapa? Pacar?”.
“Ih apa atuh, Bu? Kok pacar? Aira mah lagi nengok kakak”.
Bu Rahmah tertawa kecil, “Oh, kelas berapa kakaknya?”.
“Kelas 6, Bu”.
“Oh, sama atuh sama anak ibu. Anak ibu juga kelas 6”.
Aira merasa senang bisa berkenalan dengan Bu Rahmah yang ternyata begitu baik dan pandai bergaul. Sehingga Aira tidak harus merasa kaku berhadapan dengan wanita separuh baya itu. Baru beberapa jam yang lalu kenalan, tetapi akrabnya sudah seperti kenal bertahun-tahun. Puas mengobrol, Bu Rahmah mengajak Aira jalan-jalan keliling Pondok. Aira menurut, ia bergegas memakai jilbab dan bersama Bu Rahmah keluar dari Bapenta untuk melihat suasana setelah subuh di Gontor 3.
Bu Rahmah dan Aira tengah berdiri beberapa meter di depan Masjid sembari berbincang-bincang ketika seseorang menghampiri mereka berdua.
“Umi!”.
Bu Rahmah spontan menoleh ke arah suara berasal. Seorang santri yang tampaknya baru keluar dari masjid, melangkah mendekati Bu Rahmah.
“Eh, Zelda anak Umi, sini Nak!” Bu Rahmah tersenyum penuh kebahagiaan.
Santri yang rupanya bernama Zelda itu melirik Aira sekilas sebelum akhirnya mencium punggung tangan Bu Rahmah, “Umi jam berapa datang?”.
"Barusan, jam satuan! Kamu gimana kabarnya, Nak? Gimana hafalan, udah berapa juz?”.
Zelda tersenyum, “Alhamdulillah udah 29 juz, Umi".
Aira yang sedari tadi diam saja, menjadi sedikit ingin mempertanyakan sesuatu pada Zelda. Ia tertarik setelah tahu bahwa Zelda adalah seorang pejuang Al-Qur’an. Namun, niatnya ia urungkan. Aira yang kaku pada orang baru, kembali hadir. Bibirnya terus mengatup, padahal dalam hatinya terdapat bertumpuk-tumpuk pertanyaan yang ingin dilontarkan.
“Alhamdulillah anak Umi!” Bu Rahmah membelai kepala Zelda penuh kasih sayang. Sejurus kemudian, mata Bu Rahmah tertuju pada Aira yang mematung tanpa ekspresi.
Dengan senyuman yang lembut, Bu Rahmah memutar tubuh Zelda perlahan hingga menghadap Aira, “Sayang, ini Aira Putri Molydina. Umi kenalan sama dia di Bapenta tadi. Katanya, kakaknya juga di sini, kelas 6 lagi! Aira, ini Muhammad Zelda, anak Umi satu-satunya”.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'a
Ficção AdolescenteIslam itu kaffah. Sempurna dalam mengatur segala tatanan kehidupan. Bukan sebatas bagaimana caranya sholat-menyolati. Tapi juga, menceritakan seperti apa itu mencintai. Tentu cinta dalam kacamata yang sebenarnya. Bukan semata-mata nafsu yang menjelm...