Perseteruan

281 54 130
                                    

PLAK!

Aldam meringis, mengusap lengan kirinya yang terasa nyeri akibat hantaman keras sepatu Said di sana.

“Apa yang ente perbuat nih, haa?” tanya Said tinggi.

Aldam mengernyit, tidak mengerti, “Apa?!! Sakit tangan ane! Main lempar-lempar saja!”. Aldam meraih sepatu Said, kemudian melemparkannya kembali sekuat tenaga pada sang pemilik. Sepatu itu mendarat kurang mulus, mengenai dada Said, membuatnya meringis kesakitan.

“Berani ente ya!!” Said melangkah maju menuju Aldam. Kedua tangannya mengepal kuat. Siap kalau-kalau harus menghajar seseorang.

“Sabar, Id, sabaar!!” Rois menghalau Said.

Diaz turun tangan. Ia mencengkeram Said kuat-kuat agar Said tidak melanjutkan langkahnya. Sedangkan Hamdan, mendekati Aldam. Sama seperti Rois pada Said, Hamdan meredakan amarah Aldam. Santri-santri baru yang mulanya membuat sebuah lingkaran besar, mulai tak karuan, kacau. Mereka takut, bingung melihat Said yang meronta-ronta, sembari mengarahkan telunjuknya pada Aldam. Ditambah wajah Said yang memerah, bersama urat-urat yang menonjol di dahinya. Situasi menjadi kalut. Bahkan beberapa santri cilik sudah ada yang kabur, melarikan diri pergi dari lapangan sepak bola.

Rontaan Said berhenti kala suara Jaros berdenting nyaring beberapa kali. Said menghempaskan seluruh cengkeraman dari tubuhnya, melangkah cepat meninggalkan lapangan setelah menatap Aldam penuh ancaman. Membawa pergi napasnya yang masih memburu.

Rois menghela napas. Said sudah sepenuhnya menghilang. Rois melirik Aldam, kemudian menghampirinya. Meletakan tangan di bahu Aldam.

“Kenapa si Said tuh? Tiba-tiba ngelempar sepatu ke ane, lalu marah-marah tidak menentu, aneh!” gerutu Aldam, kesal.

“Nanti kita bicarakan lagi, Dam,” Rois mengangguk, “Udah Jaros,” lalu melangkah menuju keluar lapangan. Disusul oleh Diaz dan Hamdan.

Aldam masih terdiam, mengangkat kepalanya. Menatap ke atas, ke sebuah objek yang sedari tadi membuatnya tidak mengerti pada apa yang ia sendiri rasakan. Di sana, di salah satu sisi bangku Stadion, Aldam masih melihat walau pada akhirnya Aldam menyesal, kenapa harus melihat. Bidadari itu berbincang akrab, lama… tersenyum manis. Seharusnya indah. Namun, seketika menjadi tidak indah, sama sekali tidak, sedikit pun tidak. Setelah Aldam menyaksikan bahwa senyum itu bukan diberikan untuknya. Melainkan untuk santri di sebelah sang bidadari. Untuk Zelda.

Melangkah, sedikit ia hentakan kakinya di rerumputan lapangan. Sebal, kesal, ingin marah namun pada siapa? Aldam meninggalkan tanah lapang itu, dan berharap rasa kesalnya bisa turut tertinggal di sana.

***

“Tetapi…,” Aira melanjutkan, “Bagaimana jika, sebelum umur 27 tahun, Kak Zelda telah jatuh cinta?”.

“Astaghfirullahal’adziim…,” Zelda mengusap wajahnya perlahan. Menghembuskan napas, matanya tertutup penuh permohonan ampun. Konsentrasinya telah beberapa kali buyar, ia sulit fokus. Pertanyaan Aira seolah bergelayut dalam puing-puing kepalanya. Bersaut-sautan dengan suara para santri di sekelilingnya yang tengah sibuk melantunkan ayat-ayat indah dari kitab suci Al-Qur’an. Matanya ia lirikkan kepada sekitar. Tak ada yang macam orang ling-lung selain dirinya. Semua orang tampak menikmati bacaannya masing-masing. Sungguh itu membuat Zelda semakin merasa bersalah. Bagaimana mungkin sepenggal pertanyaan dari Aira beberapa jam lalu dapat menghancurkan konsentrasi dirinya yang tengah membaca firman Allah?

Ini tidak boleh. Ini bukan Zelda yang biasanya. Zelda tak pernah begini sebelumnya. Zelda beristighfar untuk yang ke sekian kalinya. Menarik napas lagi, berusaha menenangkan jiwa, memindahkan pertanyaan Aira dari pikirannya ke tempat lain. Ini bukan saatnya untuk sibuk merenungkan hal itu. Zelda harus membaca Al-Qur’an dengan khusyuk. Pendengarannya ia pertajam, dan seketika seluruh dirinya seolah penuh oleh ayat-ayat suci dari firman Allah. Zelda dapat fokus. Ia akan kembali membaca ayat perayat, ketika matanya tak sengaja membaca sesuatu.

[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang