Bidadari di Kediri

333 65 89
                                    

Taksi online melaju, membelah jalan raya besar Kediri. Di tangan Aira tergenggam sebuah plastik berisi jam tangan yang baru dibelinya di pasar Kediri beberapa jam lalu. Jam tangan itu khusus untuk kakaknya. Roisul, santri senior itu rupanya kerusakan arlojinya sejak beberapa bulan lalu. Hanya saja, tak sampai hati untuk meminta kembali, apalagi terpikir untuk membeli lagi sendiri. Sebagai orang yang begitu menghargai waktu, Ayah berinisiatif untuk membelikan Rois jam tangan baru tanpa sepengetahuan anak itu. Biarlah menjadi kejutan nanti.

Di jok kedua, Aira tengah menyandarkan tubuhnya rileks. Matanya menatap keluar jendela, menikmati setiap kendaraan yang melintas. Seharian penuh ia berjalan-jalan keliling Kota Kediri bersama Ayah. Puas sekali. Hingga waktu rasanya berjalan sangat cepat. Padahal baru tadi pagi Aira duduk melingkar di teras Bapenta Akhwat bersama Ayah, Rois, Zelda dan Bu Rahmah. Memperbincangkan apa saja. Bahkan Aira yang sempat merasa canggung pada Zelda, kini menjadi cukup akrab. Ya, setidaknya Aira mampu bertanya sepatah-dua patah kata pada santri dengan hafalan 29 juz nya itu. Tidak lagi hanya memilin kain khimar. Aira juga jadi tahu, mengapa Zelda selalu memanggil Rois dengan embel-embel ‘Kak’ walaupun mereka satu angkatan. Itu karena ternyata memang usia Zelda lebih muda setahun dibandingkan Rois. Mereka bisa menjadi kawan satu angkatan sebab Rois pernah tinggal kelas satu tahun.

Aira mendapat banyak pelajaran dari perbincangan tadi pagi. Zelda yang pernah menjuarai lomba pidato Bahasa Arab antar Gontor dan menjadi Qori terbaik seindonesia itu berhasil membuat Aira takjub. Sosok santri yang satu ini bisa Aira tiru. Semangatnya, sikap pantang menyerahnya, keshalihannya, kegigihannya, kesabaran serta ketekunannya, semuanya harus Aira ikuti. Tetapi, seperti halnya manusia biasa, seorang Muhammad Zelda yang hebat itu juga memiliki kekurangan, mau bagaimana pun, manusia tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Bu Rahmah berkata bahwa, Zelda memiliki kendala dalam bergaul, ia sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang baru. Mirip dengan Aira. Muhammmad Zelda ini juga rupanya sering salah tingkah dan blank jika dihadapkan dengan orang tak dikenal atau baru dikenal, terutama perempuan.

***

Selepas shalat Ashar, seorang santri berkulit putih bersih melangkah menuju La Tansa market – mini market milik Gontor 3 yang berada beberapa meter dari gerbang. Yang karyawan-karyawannya adalah para santri Gontor pengabdi, berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Sore-sore begini seharusnya ia masih berkecimpung mesra bersama tugas-tugas dan hafalan. Namun, karena Gontor masih mengadakan Khutbatul Arsy – Acara penerimaan santri-santri baru dan pengenalan lingkungan Pondok, mirip MPLS di sekolah-sekolah umum. Jadi, para santri senior bisa sedikit lebih santai.

Tangan panjang miliknya meraih sebuah roti isi kemudian membayarnya di kasir. Selepas itu, ia bergabung dengan para santri yang tengah bersantai di Gazebo di depan La Tansa market  dekat Gazebo tempat wali murid menginap. Pondok Modern Gontor ini memang memiliki 2 fasilitas untuk wali murid. Yang pertama adalah Bapenta yang terletak di dalam lingkungan pondok dan gratis. Yang kedua adalah Gazebo yang berada sedikit di luar lingkungan pondok dan berbayar. Wali murid bebas memilih, mana yang mereka suka. Bedanya, di Bapenta mereka harus berbagi dengan wali murid lainnya, beramai-ramai. Sedangkan di Gazebo mereka bisa sendiri, memiliki privasi.

“Assalamu’alaikum!” ucapnya sembari menempatkan diri di sebelah santri bersarung motif garis-garis.

“Wa’alaikumussalam! Hei, Dam! Kemana saja ente? Seharian ini ane tak lihat ente!” ucap seorang santri berbadan tinggi besar.

Ia tertawa kecil, lalu menepuk pundak santri tinggi besar itu, “Ada saja lah sekitaran sini!”.

Santri bersarung motif garis-garis mendecak, “Halah! Ente sibuk jadi panitia Khutbatul Arsy kan sama si Roisul?”.

[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang