Zelda termangu. Kalimat demi kalimat yang keluar lembut namun penuh percaya diri dari seorang gadis bergamis abu beberapa menit lalu telah mengisi sebuah ruangan di dalam kalbu. Ungkapan mencintai dalam do’a seharusnya tak lagi tabu bagi Zelda. Tetapi, ini berbeda. Gadis itu membuatnya tergugu, diam seribu kata. Membuatnya bingung harus membalas bagaimana.
Semilir angin malam berhembus. Malam mulai menyergap kekuatan untuk bertahan. Kantuk menyandera Zelda, mungkin juga gadis di sebelahnya. Aira sudah terdiam dari sekitar 60 detik yang lalu. Manik matanya yang berbinar, masih memantulkan pernak-pernik angkasa. Bersinar bak mutiara. Zelda tersenyum, lantas tersadar bahwa gadis di hadapannya baru saja membuatnya terlena, ia tersihir rasa kagum yang entah sejak kapan berubah menjadi sebuah rasa aneh. Zelda suka berada di sini, mungkin di mana saja, asalkan ada Aira, ia bahagia. Tak peduli sebesar apa kantuk memaksa kelopak matanya untuk tertutup.
“Kak Zelda”.
Zelda menoleh. “Iya?”.
“Gak ke asrama? Udah malem loh”.
Zelda menatap langit. Hanya ada gelap tanpa ujung.
“Iya,” Zelda bangkit, begitu juga Aira.
“Maaf ya udah ngebuat Kak Zelda jadi begadang buat dengerin perkataan Aira, hehe,” Aira tersenyum.
Kepala Zelda menggeleng, “Gak masalah. Saya suka”.
Aira mengernyit.
“Ma-maksudnya, suka sama apa yang kamu bilang tadi. Satu-satunya jalan untuk menyalurkan rasa cinta ketika belum sampai pada waktu untuk menikah adalah berdo’a,” Zelda tergagap, ia melanjutkan, “Iya kan?”.
Aira tertawa kecil, kepalanya mengangguk. “Tapi, jangan pernah salahkan cinta!”.
Kini Zelda yang mengangguk. Ia akan mulai pergi, jika saja suara tidak estetik dari dalam perutnya tidak seenaknya berbunyi. Wajah Zelda memanas, memerah. Kedua matanya melebar, berusaha keras menahan malu. Sedangkan gadis di hadapannya hanya tersenyum sedikit terkikik.
“Kak Zelda lapar?”.
Zelda bingung. Ia ingin menjawab jujur, namun rasa malu mengunci mulutnya.
“Sebentar!” Aira melangkah memasuki Bapenta akhwat, dan kembali dengan sebuah cokelat berbentuk persegi panjang yang masih baru dengan bungkus berwarna emas mengkilap tergenggam di tangannya.
Menyodorkan cokelat itu, Aira justru membuat Zelda tak mengerti.
“Apa ini?”.
“Cokelat lah. Nih, buat Kak Zelda! Kasian perutnya, itu juga ciptaan Allah, harus disayang”.
Ragu-ragu, Zelda mengambil persegi panjang mengkilap itu dari tangan Aira. Menatap Aira, ia masih tidak mengerti.
“Maaf cuma cokelat, tapi lumayan lah buat ganjel”.
Zelda tersenyum kecil, “Iya gapapa”. Ia melanjutkan, “Saya pergi ya, assalamu’alaikum!”.
“Wa’alaikumussalam!”. Aira mengangguk sopan.
Memeluk bukunya, Zelda mulai melangkahkan kaki. Bapenta akhwat mulai jauh dari pandangannya. Aira yang masih berdiri, mulai tampak mengecil. Seiring dengan langkah kakinya yang jenjang, Zelda berusaha meredam degupan jantungnya. Menormalkan kembali sirkulasi pernapasannya. Sebab jika itu semua Zelda biarkan terus ada, akan membuatnya hilang kendali. Contohnya saja tadi, ia sampai lupa mengucapkan terimakasih pada sang pemberi cokelat. Hanya karena gugup. Sangat tidak sopan!
Zelda bahagia bisa mendengarkan apa yang Aira ucapkan meski hanya beberapa menit. Namun di sisi lain, ada ketakutan menyelinap. Ini tentang hafalan. Ia merasa terancam. Tetapi, beda dengan rasa yang menghantuinya beberapa jam lalu sebelum berbincang dengan Aira. Zelda masih takut memang, tapi berkurang. Ia telah menemukan titik temu. Titik berkilau di mana Zelda akan melampiaskan seluruh rasa yang menggebu. Tanpa harus kehilangan hafalannya perlahan-lahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'a
Teen FictionIslam itu kaffah. Sempurna dalam mengatur segala tatanan kehidupan. Bukan sebatas bagaimana caranya sholat-menyolati. Tapi juga, menceritakan seperti apa itu mencintai. Tentu cinta dalam kacamata yang sebenarnya. Bukan semata-mata nafsu yang menjelm...