Evhie Bercerita, Aira Insomnia

327 61 163
                                    

Aira memasuki Bapenta Akhwat. Ia mengucapkan salam dan dijawab oleh seorang wanita paruh baya yang begitu ramah padanya. Bu Rahmah masih terjaga, ia melayangkan senyuman pada Aira. Senyuman keibuannya sejenak mengingatkan Aira pada bunda, menimbulkan rasa rindu pada wanita mulia itu. Aira jadi ingin menelponnya. Tetapi, Aira memutuskan untuk wudhu dahulu, lantas melaksanakan shalat isya. Selepas shalat isya, ia meraih kitab suci Al-Qur’an kemudian membacanya beberapa ‘ain. Ia berdoa, meminta kepada Allah kuasa. Kemudian, mengucapkan ‘Aamiin’ dan melipat mukenanya lalu meletakkannya di atas sebuah tas koper besar berwarna cokelat.

Aira menoleh, ketika mendengar namanya dipanggil. Bu Rahmah, memberinya isyarat untuk mendekat. Aira menurut, kemudian terduduk di depan Bu Rahmah, menunda dahulu keinginan untuk menelpon bundanya. Aira menyunggingkan senyuman manisnya, sebagai balasan untuk Bu Rahmah yang suka rela tersenyum padanya.

“Ibu, belum tidur?” tanya Aira.

Bu Rahmah masih tersenyum, “Belum,” ia menghela napas, “Ibu kepikiran Zelda, Ai. Dia gak seperti biasanya”.

Aira mengernyitkan keningnya. Berusaha menebak-nebak apa yang terjadi pada Zelda—hafidz 29 juz yang hebat itu.

“Kak Zelda kenapa, Bu?”.

Bu Rahmah kembali menghela napas. Namun, perlahan senyumnya tersungging. Semakin lebar, semakin lebar, tampak senang, seperti baru mendapat kabar bahagia. Membuat kernyitan di kening Aira semakin dalam. Menandakan rasa bingung Aira yang semakin dalam pula.

“Baru kali ini Zelda nanyain perempuan, Ai!”.

Bingung Aira belum mereda. Justru semakin menjadi.

Bu Rahmah terdiam sebentar, matanya menatap lelangitan, “Ibu seneng deh, akhirnya ada perempuan yang Zelda suka. Akhirnya ibu bakalan dengerin curhatan Zelda tentang perempuan yang dia suka. Alhamdulillah!”.

Dalam kebingungan, dan ketidakmengertian, Aira menangkap manik mata Bu Rahmah yang berbinar terang. Baru kali ini ia menemukan orang tua yang bahagia ketika anaknya jatuh cinta di waktu yang tidak tepat. Maksud Aira, jatuh cinta sebelum pernikahan terlalu banyak mudhorotnya, jadi jatuh cinta di masa itu, adalah salah. Tetapi, Bu Rahmah justru senang ketika putranya seperti itu. Aira hanya tersenyum geli, ia harus tampak turut bahagia.

“Ibu keliatannya seneng banget,” ucap Aira.

“Alhamdulillah, Ai. Seneng banget, soalnya Zelda selama ini, terlalu fokus pada pelajarannya, cita-citanya. Gak pernah tuh kepikiran tentang pasangan!”.

“Bukannya, bagus seperti itu ya, Bu?”.

Bu Rahmah berpikir sejenak, ia mengangguk setuju, “Bagus sih, tapi untuk awal-awal. Ini kan Zelda udah dewasa, udah mateng. Insyallah udah siap. Masa belum ada satu pun perempuan yang dia taksir? Masa setelah lulus dari sini masih mau jomblo? Ya setidaknya, harus ada lah orang yang ditandain buat diperjuangin di dalem do'a. Kalo gak ada, ya keburu tua aja nanti, ibu kan pengen cepet gendong cucu. Inget, nikah juga kan ibadah, sunnah!”.

Aira manggut-manggut mengerti. Ia akan terus berbincang bersama Bu Rahmah jika ponselnya tidak tiba-tiba berdering. Terpampang rangkaian huruf yang membentuk sebuah kata.

Bunda

Seseorang yang memang sudah sedari tadi Aira ingin telepon. Ia meminta izin pada Bu Rahmah untuk mengangkat panggilan dari bundanya. Dengan senang hati, Bu Rahmah mengizinkan. Aira melangkah keluar dari Bapenta Akhwat lantas memulai percakapan yang dihiasi ribuan rasa rindu bersama sang bunda. Diawali dengan saling bertanya kabar, hingga bercerita apa yang telah terjadi seharian ini. Tergelak bersama, anak dan bunda itu seolah teman sebaya.

[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang