Ruang makan itu lengang. Piring-piring kotor sudah berpindah tempat sejak beberapa jam yang lalu. Tertata elegan di rak besi berwarna putih. Empat orang duduk terdiam di sekeliling meja. Sibuk dengan kemelut pikiran masing-masing.
Aira menunduk, memainkan kuku-kuku jemari tangannya. Sepulang dari tempatnya berkuliah, Aira disambut hangat seperti biasa oleh ayah yang selalu menghabiskan senjanya dengan duduk menyesap secangkir kopi di depan rumah. Selanjutnya melakukan kegiatan apa saja yang ia inginkan sepanjang malam. Entah itu bergelut dengan tugas, atau menulis melanjutkan proyek novel ke-3 nya. Tetapi, malam itu berbeda. Selepas makan malam, atmosfer berlangsung menegangkan. Apalagi ketika ayah memanggilnya untuk duduk, mau berbincang sekejap, Aira tahu ada sesuatu.
Udara dalam ruangan kotak yang tak terlalu besar itu seolah menekan dada Aira hingga sesak. Ayah membuat Aira terkejut, tidak menyangka. Menatap ayah lekat-lekat, Aira masih tidak percaya. Berharap apa yang ia dengar itu salah, ayah tak menginginkan dirinya bergegas menikah. Namun, ternyata tidak. Ini kenyataan, seratus persen benar. Wajah sendu dengan kerutan-kerutan tanda tak lagi muda tampak kukuh pada pendiriannya. Mata yang tak lagi awas, memicing namun penuh permohonan, permintaan agar Aira setuju dengan keputusan tiba-tiba itu.
Cita-citanya untuk menjadi dokter sudah tentu tak akan terjadi setelah namanya tiada dapat ditemukan dalam daftar peserta SBMPTN Kedokteran UNPAD yang diterima. Tidak bisakah ayah membiarkan dirinya istirahat, sekedar memberinya ruang untuk menarik napas, berusaha mengobati besarnya kepedihan. Bukannya Aira tidak mau menerima pemberian Allah, bukannya Aira tidak mau mensyukuri atas kelulusan dirinya di Fakultas Keperawatan UNPAD dalam ujian mandiri, hanya saja, ikhlas tidak semudah membalikan telapak tangan. Aira tengah berusaha.
Pada malam yang menyergap pagi, Aira terduduk tidak mengerti. Sebagai anak yang berusaha untuk tak menyakiti hati orang tua, jika seperti ini situasinya, Aira bisa apa? Haruskah dirinya menolak permintaan ayah dan membuat orang yang Aira janjikan selepas bunda pergi untuk tidak pernah lagi merasakan seperti apa itu sakit hati, justru kecewa? Atau, menerima, mengikuti apa yang ayah mau, dan untuk kedua kalinya mimpi Aira tertunda, sedikitnya tersendat. Mungkin akan tetap tercapai, tetapi Aira ragu jika itu akan sesuai ekspektasi dan target.
Aira menarik napas. Kakak iparnya merangkul, memberi senyuman, mentransfer energi positif. Aira membalas. Ayah menunggu jawabannya, lebih tepatnya menunggu keinginannya terpenuhi. Ketara sekali cahaya harapan memancar terang benderang dari pupil mata ayah. Tetapi, menikah bukan hal yang ringan. Ini ibadah terpanjang. Akan sulit bagi Aira. Pandangannya berpaling. Rois menatapnya pula, namun berbeda. Laki-laki yang sudah menjadi dosen dan memiliki istri ini lebih seolah menyerahkan segala keputusan pada Aira. Rois percaya, Aira tahu mana yang terbaik untuk dirinya. Aira sudah dewasa.
“Nanti Aira pikirkan dulu ya, Yah”.
Wajah ayahnya melunak, tersenyum lantas mengangguk.
“Mau bagaimana pun, keputusan emang ada di tangan Aira, Yah,” Rois menimpali.
“Tapi ayah sangat berharap”.
Aira terdiam.
“Aldam itu laki-laki yang baik, Ai, insyaallah,” ayah menatap Aira penuh keyakinan.
Terdiam lagi. Sungguh Aira tak dapat berkutik, terlampau bingung. Seakan ada dua jalan yang ada di hadapan Aira sekarang, persimpangan. Ia harus memilih jalan yang tepat. Kalau tidak, ia akan tersesat dan takutnya penyesalan yang menyambutnya kemudian. Dan itu terus menghantui pikirannya. Aira berniat untuk shalat istiharah. Percakapan diakhiri tanpa keputusan. Ayah berlalu ke ruang tv, duduk santai meraih koran lagi, masih dengan sisa-sisa harapan.
Menjelang tidur, pintu kamar Aira diketuk. Seseorang masuk dengan cengiran khasnya yang tak kunjung berubah dari bertahun-tahun yang lalu. Duduk di ujung ranjang, menepuk kaki Aira, bermaksud membangunkan padahal Aira sama sekali belum terpejam. Terduduk, Aira berusaha tersenyum pada kakak iparnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'a
Teen FictionIslam itu kaffah. Sempurna dalam mengatur segala tatanan kehidupan. Bukan sebatas bagaimana caranya sholat-menyolati. Tapi juga, menceritakan seperti apa itu mencintai. Tentu cinta dalam kacamata yang sebenarnya. Bukan semata-mata nafsu yang menjelm...