Fiiamanillah

170 14 16
                                    

Pukul 13.30, tepat selepas shalat dzuhur, Aira menarik kopernya keluar dari Bapenta akhwat. Sebuah mobil berwarna hitam telah menunggunya di gerbang masuk. Aira telah memesan taksi online dari beberapa menit yang lalu, dan kini sudah sampai. Tujuannya adalah stasiun kereta api Kediri. Aira menarik napas dalam. Tangisnya sudah berhenti, walau sedih belum berganti. Siluet senyuman bunda, kembali tergambar lebih nyata di hadapan pupil Aira. Ia tak boleh menangis lagi, sudah cukup. Toh masih ada banyak harapan. Aira yakin, bunda sudah dapat memeluknya erat kala ia sampai di kota tercinta. Sembari tertawa gembira, saling berbagi cerita.

Kakinya akan melangkah, ketika suara seseorang menahannya. Bu Rahmah menghampiri Aira, tersenyum keibuan, lantas memeluk Aira. Seolah ada ketenangan yang merambat, Aira merasa tubuhnya hangat. Padahal cuaca di luar tengah hujan, besar sekali lengkap dengan kilat yang saling sambar. Sebelumnya hari-hari begitu indah, dengan sinar matahari cerah ceria. Namun, hari ini, seakan menyesuaikan dengan keadaan hati, awan mendung seketika berkumpul, membentuk formasi untuk sama-sama menurunkan hujan, berkolaborasi dengan guntur, kilat dan sebagainya.

Para santri yang selalunya berlalu-lalang di lapangan, kini menghilang. Bahkan Bapenta akhwat saja teramat sepi.

Bu Rahmah melepas pelukannya, diusapnya pipi putih lembut Aira yang mulai basah oleh cairan dari mata. Aira tak kuasa, ia menangis lagi.

“Berdo’a lah yang terbaik untuk bundamu”.

Aira mengangguk, “Maaf tadi subuh Aira udah gak sopan sama ibu”.

Bu Rahmah menggeleng, “Gak papa, Nak” ia melanjutkan, “Oh iya, ada sesuatu!” wanita separuh baya itu melangkah masuk ke dalam Bapenta dan kembali dengan sebuah buku tebal yang di sampulnya bertuliskan huruf besar-besar, ‘La Tahzan’. Ia menyodorkannya pada Aira.

“Untuk Aira, dari Zelda”.

Aira menerimanya sembari tersenyum lembut, penuh terimakasih, “Makasih, Ibu”.

“Makasihnya ke Zelda!”.

Aira tertawa kecil.

Fiiamanillah ya, dan…--”

Bu Rahmah melanjutkan, “Seseorang yang Zelda tanyain waktu itu, adalah kamu”.

Aira terdiam. Ia tidak percaya. Tak mengerti juga. Ia akan bertanya mengapa jika saja ponselnya tak seketika berdering. Ayahnya memanggil. Menyuruhnya untuk bergegas ke Bapenta Ikhwan berpamitan dengan kawan-kawan Rois. Dengan penuh permohonan maaf, ia meninggalkan Bu Rahmah yang terus memandanginya sampai tidak dapat lagi terlihat.

Di Bapenta Ikhwan, sudah ramai orang menunggu. Ada Said, Diaz, Aldam, Ashil, Hamdan, ayah dan Rois. Semuanya memasang raut kesedihan. Terlebih lagi Aldam. Ia mendapat kesedihan dua kali lipat. Ditinggalkan Aira, dan mendengar kenyataan bahwa orang yang Aira amat sayangi sedang dalam bahaya. Jadi, tidak mengada-ada jika saat itu air mata Aldam jatuh begitu saja.

“Kak Aldam, Aira pulang ya,” Aira tersenyum.

Aldam menyeka air matanya, “Janganlah Aira menangis”.

“Kak Aldam yang menangis!”.

Aldam terdiam. Apa yang Aira katakan benar. Yang menangis adalah dirinya. Ia bergegas menghapus air mata, menarik ingus.

“Sudah tak”.

Aira tertawa, “Dah, assalamu’alaikum semuanya!”.

"Wa’alaikumussalam!”.

Rois menghampiri Aldam, memeluknya sekilas, “Jadikan apa yang ente lakukan adalah karena Allah. Ane gak tau, apa ane bisa datang lagi atau engga ke sini, Bro!” setelah itu, Rois berlari menyusul Aira dan ayah yang lebih dulu berjalan.

[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang